Mohon tunggu...
Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi Mohon Tunggu... Human Resources - Penikmat Kopi

Hanya manusia biasa yang ingin mati dengan damai, sebab hidup adalah proses panjang dari bagaimana cara kita mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masalah Pendidikan Kita: Drama Wajib Belajar

20 Desember 2020   13:49 Diperbarui: 20 Desember 2020   14:04 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Penulis (Muh Fahrurozi; Kanan Bawah)

Menurut estimasi World Bank tahun 2012, besaran anggaran Pendidikan untuk SD dan SMP rata-rata sebesar 56,8% dari total anggaran pendidikan, dimana jika dikonversikan dengan anggaran Pendidikan saat ini yang sebesar 508,1 Triliun Rupiah, maka besaran anggaran Pendidikan untuk jenjang Pendidikan dasar di SD dan SMP hanya sebesar 288 Triliun Rupiah, sedangkan menurut penelitian dari Technical Assistance for Education System Strengthening (TASS) pada tahun 2018, total biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi wajib belajar 9 tahun bagi seluruh anak usia 7-15 tahun yakni sebesar 422 Triliun Rupiah, sehingga masih ada selisih kekurangan sebesar 32% untuk pembiayaan pendidikan dasar.

Anggaran tersebut belum termasuk kemungkinan adanya kebocoran (dikorupsi), ditambah penyakit birokrasi kita yang belanja adminsitratifnya lebih besar dibanding belanja program.

Menyekolahkan Anak

Di beberapa negara terutama negara-negara maju, orang tua bisa dikenakan sanksi hingga pengambilan hak asuh anak kepada negara jika anaknya tidak disekolahkan, minimal pada jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Sementara di Indonesia tidak ada sama sekali penerapan sanksi seperti itu, justru di beberapa kasus si anak diakomodir untuk tidak menerima layanan pendidikan, padahal apapun alasannya, selama usia anak tersebut adalah usia wajib belajar, mereka harus menerima layanan pendidikan.

Sementara di beberapa daerah kini telah menerapkan wajib belajar 12 tahun, hal ini didasarkan pada Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014, namun ketentuan wajib belajar 12 tahun sifatnya open legal policy atau kewajiban hukum terbuka, yang wajib adalah "minimal pendidikan dasar", tapi hal tersebut bisa diterapkan selama pemda setempat mampu melaksanakannya. Sebagaimana penyataan hakim MK saat menolak wajib belajar 12 tahun untuk diterapkan secara nasional. Bahwa dalam penyusunan suatu peraturan, maka harus berlandaskan asas 'dapat dilaksanakan' sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga "jika pemerintah dan pemerintah daerah membuat ketentuan wajib belajar, harus menyesuaikan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran yang disiapkan secara baik agar tidak menggerogoti marwah lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan dan tidak menimbulkan kekecewaan pada harapan masyarakat."

Permasalahan-permasalahan di atas menurut saya terjadi karena Indonesia tidak pernah membuat gradasi pemenuhan akses pendidikan yang jelas, semuanya pakai istilah "wajib belajar" tapi syarat-syarat untuk menjalankan wajib belajarnya tidak dipenuhi.

Kita bisa lihat contoh metode pemenuhan akses pendidikan yang pernah dibuat oleh European Commission (Badan Eksekutif Uni Eropa), mereka membuat 3 gradasi: compulsory (wajib belajar), guaranteed/legal entitlement (jaminan ketersediaan), dan no guarantee. Perbedaan signifikan dari compulsory dengan guaranteed itu sangat jauh, guaranteed artinya mereka menyediakan daya tampung untuk anak-anak yang mau masuk ke jenjang pendidikan tersebut, jadi tidak harus daya tampung linier dengan anak usia jenjang pendidikan tersebut. Skema metode pemenuhan akses pendidikan seperti ini bisa lebih fair, karena ekspektasi masyarakat tidak merasa dipermainkan. Selain itu akses dan fasilitas pendidikan tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan, kedua hal tersebut adalah hal yang paling fundamental sekaligus pintu awal bukti hadirnya negara dalam memberikan layanan pendidikan kepada seluruh anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun