Mohon tunggu...
Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi Mohon Tunggu... Human Resources - Penikmat Kopi

Hanya manusia biasa yang ingin mati dengan damai, sebab hidup adalah proses panjang dari bagaimana cara kita mati.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masalah Pendidikan Kita: Drama Wajib Belajar

20 Desember 2020   13:49 Diperbarui: 20 Desember 2020   14:04 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Penulis (Muh Fahrurozi; Kanan Bawah)

"Akses dan fasilitas pendidikan adalah hal yang fundamental sekaligus pintu awal bukti hadirnya negara dalam memberikan layanan pendidikan kepada seluruh anak bangsa."

Pada tahun 1948, PBB pernah mengeluarkan suatu deklarasi terkait tentang Hak Asasi Manusia (HAM), namanya Universal Declaration of Human Rights (UDHR), isinya adalah pondasi-pondasi utama terkait HAM yang harus dilaksanakan oleh setiap negara. Dari deklarasi tersebut, dibuatlah beberapa perjanjian internasional terkait HAM, salah satunya adalah International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR) yang kemudian ditetapkan pada tahun 1966.

Indonesia sendiri sudah meratifikasi ICESCR tersebut ke dalam UU 11 Tahun 2005, salah satunya menyorot tentang pendidikan, seperti di Pasal 13 ayat (2) huruf a: setiap negara menyediakan layanan wajib belajar pada pendidikan dasar secara cuma-cuma bagi semua orang. Namun jauh sebelum hal itu, Indonesia sudah lebih dahulu membuat norma-normanya sendiri terkait HAM dalam UUD 1945 kita; dalam Pasal 31 ayat (2) menyebutkan "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".  Ketentuan ini pun diejawantahkan dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang intinya menyebutkan bahwa pendidikan dasar ini artinya untuk jenjang di SD dan SMP.

Pada tahun 1950, pertama kalinya ada UU terkait pendidikan, pemerintah menerapkan wajib belajar 6 tahun (SD), sejak tahun 1989 seiring diubahnya UU Sisdiknas, wajib belajar menjadi 9 tahun, dimana pendidikan dasar tersebut adalah SD dan SMP.

Pasal 13 ayat (2) merupakan pondasi berbasis internasional yang menyampaikan konten terkait "wajib belajar", sehingga pendidikan dasar itu harus diberikan oleh negara, secara gratis. Dari dasar-dasar hukum tersebut, kita bisa membuat kriteria apa saja yang bisa dilakukan untuk memenuhi wajib belajar tersebut ke dalam beberapa poin: 1). Daya tampung dengan anak usia wajib belajar tercukupi; 2). Pembiayaan oleh negara; dan 3). Orangtua memastikan anak-anaknya masuk ke jenjang SD dan SMP paling minimal.

Tentu untuk mewujudkan hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebab sampai hari ini masih banyak ditemukan permasalah dalam tiga pembagian di atas, terutama pada poin nomor satu dan dua. Untuk membuktikan pernyataan ini, mari kita bedah satu per satu.

Daya Tampung

Berdasarkan olahan data dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (Susenas BPS) dan Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dapodik Kemdikbud) terlihat bahwa untuk penduduk usia 7-12 tahun (Usia SD) berjumlah 28 juta jiwa, daya tampungnya sebanyak 27 juta untuk sekolah negeri, dan 4 juta untuk sekolah swasta. Terlepas masih banyaknya permasalahan akses dan fasilitas pendidikan, pada jenjang SD, digabung dengan swasta, daya tampung terlihat tercukupi. Namun untuk SMP lebih parah, anak usia 13-15 tahunnya ada sebanyak 13,6 juta jiwa, tapi daya tampungnya untuk sekolah negeri hanya sebanyak 8 juta, dan 3 juta untuk sekolah swasta. Jika dijumlahkan menjadi 11 juta, yang artinya masih kurang sebanyak 2,6 juta daya tampung.

Bisa dibayangkan, dari data di atas negara secara sistematis "telah membiarkan" 2 juta anak Indonesia tidak bisa masuk ke jenjang SMP/sederajat, padahal SMP adalah bagian dari mandat wajib belajar yang juga dilindungi oleh konstitusi. Ini pun masih dibantu oleh swasta yang operasionalnya dibiayai sendiri oleh yayasan sekolah, jadi seharunya sekolah swasta hanya menjadi opsi saja ketika orang tua atau si anak tidak ingin masuk di sekolah negeri dengan berbagai alasannya.

Anggaran Pendidikan

Sekarang kita masuk ke anggaran, kita bedah berapa besar anggaran pendidikan dasar (SD dan SMP) yang disiapkan oleh negara?

Menurut estimasi World Bank tahun 2012, besaran anggaran Pendidikan untuk SD dan SMP rata-rata sebesar 56,8% dari total anggaran pendidikan, dimana jika dikonversikan dengan anggaran Pendidikan saat ini yang sebesar 508,1 Triliun Rupiah, maka besaran anggaran Pendidikan untuk jenjang Pendidikan dasar di SD dan SMP hanya sebesar 288 Triliun Rupiah, sedangkan menurut penelitian dari Technical Assistance for Education System Strengthening (TASS) pada tahun 2018, total biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi wajib belajar 9 tahun bagi seluruh anak usia 7-15 tahun yakni sebesar 422 Triliun Rupiah, sehingga masih ada selisih kekurangan sebesar 32% untuk pembiayaan pendidikan dasar.

Anggaran tersebut belum termasuk kemungkinan adanya kebocoran (dikorupsi), ditambah penyakit birokrasi kita yang belanja adminsitratifnya lebih besar dibanding belanja program.

Menyekolahkan Anak

Di beberapa negara terutama negara-negara maju, orang tua bisa dikenakan sanksi hingga pengambilan hak asuh anak kepada negara jika anaknya tidak disekolahkan, minimal pada jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Sementara di Indonesia tidak ada sama sekali penerapan sanksi seperti itu, justru di beberapa kasus si anak diakomodir untuk tidak menerima layanan pendidikan, padahal apapun alasannya, selama usia anak tersebut adalah usia wajib belajar, mereka harus menerima layanan pendidikan.

Sementara di beberapa daerah kini telah menerapkan wajib belajar 12 tahun, hal ini didasarkan pada Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014, namun ketentuan wajib belajar 12 tahun sifatnya open legal policy atau kewajiban hukum terbuka, yang wajib adalah "minimal pendidikan dasar", tapi hal tersebut bisa diterapkan selama pemda setempat mampu melaksanakannya. Sebagaimana penyataan hakim MK saat menolak wajib belajar 12 tahun untuk diterapkan secara nasional. Bahwa dalam penyusunan suatu peraturan, maka harus berlandaskan asas 'dapat dilaksanakan' sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga "jika pemerintah dan pemerintah daerah membuat ketentuan wajib belajar, harus menyesuaikan dengan ketersediaan sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran yang disiapkan secara baik agar tidak menggerogoti marwah lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan dan tidak menimbulkan kekecewaan pada harapan masyarakat."

Permasalahan-permasalahan di atas menurut saya terjadi karena Indonesia tidak pernah membuat gradasi pemenuhan akses pendidikan yang jelas, semuanya pakai istilah "wajib belajar" tapi syarat-syarat untuk menjalankan wajib belajarnya tidak dipenuhi.

Kita bisa lihat contoh metode pemenuhan akses pendidikan yang pernah dibuat oleh European Commission (Badan Eksekutif Uni Eropa), mereka membuat 3 gradasi: compulsory (wajib belajar), guaranteed/legal entitlement (jaminan ketersediaan), dan no guarantee. Perbedaan signifikan dari compulsory dengan guaranteed itu sangat jauh, guaranteed artinya mereka menyediakan daya tampung untuk anak-anak yang mau masuk ke jenjang pendidikan tersebut, jadi tidak harus daya tampung linier dengan anak usia jenjang pendidikan tersebut. Skema metode pemenuhan akses pendidikan seperti ini bisa lebih fair, karena ekspektasi masyarakat tidak merasa dipermainkan. Selain itu akses dan fasilitas pendidikan tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan, kedua hal tersebut adalah hal yang paling fundamental sekaligus pintu awal bukti hadirnya negara dalam memberikan layanan pendidikan kepada seluruh anak bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun