Di depan rumah paman Usman ada pohon jambu yang berbuah dua kali setahun. Ada buah bergelantungan jauh diatas dan sulit dijangkau ada juga buah yang bertengger pada dahan yang rendah. Ina dan Isa tak sabar ingin memetik buah jambu yang kemerahan, mereka berdua berani memanjat pohon jambu meskipun awalnya dibantu kursi plastik sebagai tumpuan untuk mencapai dahan yang rendah. Isa merangsek ke dahan yang kanan, dan Ina ke dahan sebelah ke kiri. Kedua dahan menggelantung buah jambu yang bergerombol ditangkainya dan siapapun yang melihatnya pasti tergoda untuk memetiknya.
Seperti tak bosan, dua sepupu itu sepulang sekolah esok harinya, kembali memanjat pohon jambu, buah yang dekat sudah habis di petik, tapi masih banyak lagi diatas kepala mereka. “ Ayo Ina, diatas lebih banyak”, teriak Isa . Ina pun dengan semangat menggapai dahan disebelahnya, dahan pijakan untuk naik ke dahan yang lebih tinggi. “ Saya dapat !, saya dapat! “, balas Ina kegirangan sambil memegang tangkai Jambu yang bergerombol. “Jatuhin saja, biar kamu bisa turun”, teriak Isa lagi. Jambupun dijatuhkan, agar tangannya leluasa memegang dahan dan membantunya turun.
Saat kakinya masih menggelantung mencari-cari pijakan yang tepat untuk turun sembari tangannya masih berpegang erat pada dahan, seekor tawon menghampirinya dan hinggap di dadanya, tawon bergerak terus dan masuk ke dalam bajunya, seketika Ina menjerit kencang, ia panik. Tanganya spontan terlepas dari dahan, tubuhnya seketika jatuh , satu, dua , tiga dan entah berapa dahan ditubruknya, ada dahan yang patah jatuh ke tanah bersamanya. Ina pingsan. Seisi RT heboh hingga ke RT sebelah karena teriakan Isa yang histeris sambil berlari memanggil orang-orang.
Ruang UGD sebuah klinik 24 jam yang biasanya sepi kini ramai, satu dokter dan dua perawat dengan sigap menolong Ina. Setelah dipastikan tidak ada masalah yang mengancam jiwa, perawat membersihkan beberapa luka lecet dan luka yang terbuka dari serpihan kayu pohon yang masih tersisa. Perawat menjahit bagian telapak kaki yang sobek, tidak lebar tapi butuh dua jahitan.
Dokter Andi tetap mengamati pasiennya, matanya tertuju pada darah yang keluar dari sela paha Ina, tidak banyak tapi ia tahu sumber keluarnya.
Ina sudah sadar tapi masih lemas. Dokter Andi memanggil ibu Ina, menerangkan beberapa hal, termasuk pendaharan yang ia temukan, kemudian menjelaskan beberapa obat yang harus diminum sampai 3 hari kedepan. “Ibu, ini ada surat rujukan ke Rumah sakit Umum kota, ada pemeriksaan ke bagian Obgyn*) yang sebaiknya dilakukan.” Jelas dokter Andi ke Ibu Ina.
* * *
“Dek Bayu, ada di Kendari dek. Dua bulan lalu ia baru saja menikah di sana. Istrinya masih muda baru setahun tamat SMA nya. Sejak ia pisah dari kamu, ia sudah tiga kali menikah dan semua berakhir cerai.” Ungkap Mega adik Bayu yang tak sengaja bertemu di salah satu halte bus. Pertemuannya dengan Mega yang kedua kalinya sejak menikah dengan Bayu. Pertama saat acara pernikahan. Kedua ya di halte ini. Ina nyaris tak mengenalnya. Beda dengan Mega, ia ingat benar mantan adik Iparnya.
Mega mengajak Ina untuk ke kafe yang tak jauh di belakang halte. “ayo dek, lama baru kita ketemu, gak buru-buru kan?”. Ina mengangguk.
“Pernikahannya yang terakhir sempat saya hadiri, ia beliin saya tiket PP. Tapi suami saya tidak ikut. “ Mega memulai pembicaraan, sambil menyodorkan secangkir kopi ke Ina.
Ina diam dibalut rasa penasaran. Ia ingin mendengar kabar lebih banyak lagi dari Mega tentang mantan suaminya.