Suami Ibu Ratna juga pernah menentang karena ada penderita kusta yang sedang menjalani pengobatan datang ke rumah mereka di Desa Cukur Gondang, Kecamatan Grati, Pasuruan. Selain membuang gelas bekas mulut tamu dan menjemur kursi yang didudukinya, lelaki itu juga memarahi Ibu Ratna. Pasalnya, sang suami takut kedua anak mereka yang masih kecil tertular penyakit yang sudah tersebar di 120 negara ini. Sampai-sampai dia menyuruh Ibu Ratna memilih antara pekerjaan atau keluarga.
Dengan sabar Ibu Ratna memberikan pemahaman kepada suaminya. Butuh waktu namun akhirnya setelah diberi pemahaman bahwa orang yang datang ke rumah sedang menjalani pengobatan. Orang yang sedang dalam proses pengobatan seperti itu 99% kumannya tidak aktif menular. Sang suami pun menerima aktivitas istrinya bahkan memberi dukungan pada gerakan yang dilakukan dengan membantu mencarikan alat-alat yang diperlukan bagi pemberdayaan warga.
Pernah pula pertemuan Kelompok Perawatan Diri yang akan dilaksanakan di Balai Desa ditolak oleh salah satu perangkat desa. Perangkat desa yang kena hasut tersebut beralasan tidak mau anak-anak tertular penyakit kusta.
KPD adalah suatu kelompok yang beranggotakan (mereka) yang terkena kusta yang berkumpul untuk saling memberi dukungan satu sama lain, terutama dalam usaha mencegah dan mengurangi kecacatan serta solusi bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi setiap hari akibat kusta[8].
Tujuan dari pendirian KPD ini adalah untuk mencegah pertambahan atau mengurangi kacacatan pada para anggota KPD. Adapun manfaat KPD ini adalah agar:
- Penderita kusta dapat melakukan perawatan diri sendiri di rumah.
- Mempermudah petugas dalam melakukan monitoring kesembuhan penderita kusta.
- Sarana berbagi/sharing bagi semua penderita atau OYPMK sehingga dapat memotivasi penderita yang lain.
- Menjadi ajang silaturahmi.
Memberdayakan Penderita dan OYPMK Perempuan
Sebagai seorang perempuan, Ibu Ratna jeli melihat pentingnya OYPMK perempuan diberdayakan dengan memberikan solusi pelatihan keterampilan menjahit, menyulam, dan lain sebagainya bagi OYPMK perempuan. Hal ini menjadi solusi dari temuan dalam laporan WHO yang berjudul “The Effects of Leprosy on Men and Women: A Gender Study”. Penelitian ini menyelidiki dampak kusta pada sampel 202 pasien laki-laki dan perempuan di Ribeirão Preto, Brazil[9].
Studi di atas menemukan bahwa kusta memperburuk ketidaksetaraan gender yang ada. Diagnosis kusta menyebabkan reaksi emosional yang sangat negatif di antara jenis kelamin, tetapi stigmatisasi diri lebih besar di antara para wanita. Wanita juga menunjukkan perhatian yang lebih besar daripada pria tentang penampilan fisik mereka dan lebih sering menahan diri dari aktivitas sosial.
AKIBAT STIGMA PENYAKIT KUSTA, kegiatan ekonomi perempuan juga terkena dampak yang lebih parah, baik di dalam maupun di luar rumah. Selain itu, perempuan disebutkan lebih sering menyembunyikan penyakit ini dari keluarga mereka[10]. Yuliati yang saya ceritakan di awal tulisan ini juga menyembunyikan penyakitnya kepada keluarganya. Dia butuh waktu setahun untuk menggali informasi dan berterus terang kepada keluarganya.
Sementara itu, Ibu Ratna saat terpilih sebagai penerima Satu Indonesia Awards (SIA) 2011 adalah ketua KPD (Kelompok Perawatan Diri) bagi para penderita kusta di Puskesmas Grati, Pasuruan. Sebagai perawat dirinya dengan sepenuh hati memberikan perawatan dan edukasi kepada warga agar mau berobat sampai tuntas dan memberdayakan dirinya. Tak jarang Ibu Ratna sampai mendatangi sendiri penderita kusta di rumahnya agar mau berobat.