Seorang ibu bergegas naik ke atas angkot yang saya tumpangi. Dua anaknya yang paling besar telah lebih dulu naik dan duduk di samping ibunya. Sementara yang terkecil, usianya kira-kira 2 tahun naik paling belakang. Si bungsu terjatuh karena pijakan angkot masih terlalu tinggi untuk badannya yang mungil. Si bungsu menangis. Keras sekali.
Saat melihat ibu itu naik lebih dulu dan membiarkan bungsunya naik setelah dirinya, mata saya setengah membelalak mengamatinya. Masa sih ada seorang ibu yang berlaku demikian? Di mana-mana di belahan bumi ini, seorang ibu pasti mendahulukan anak kecilnya naik ke atas mobil sebelum ia sendiri naik. Tapi ini, kebalikannya!
[caption caption="Sumber: allwallpapersdesktop.blogspot.com"]
[/caption]
Realitasnya: Ketaksadaran di Sekitar Kita
Mungkin agak sedikit berlebihan kalau saya mengatakan ibu itu sedang tak sadar diri. Okelah, saya turunkan sedikit. Ibu itu sepertinya sedang melamun. Tapi melamun kan juga berarti “kehilangan kesadaran sesaat”? Sama-sama tak sadar diri juga, kan? Nah, alarm “keibuan” si ibu itu jadinya tak berfungsi.
Ada ketaksadaran yang lebih besar daripada itu. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh kasus yang ramai diberitakan di stasiun-stasiun televisi, media online, dan media massa lainnya. Kasus penelantaran 5 anak oleh kedua orang tua mereka sendiri di Cileungsi. Kasus itu terkuak setelah salah seorang anak mereka hidup luntang-lantung di sekitar kompleks perumahan yang mereka tempati sebulan lamanya dan hidup dari belas kasihan para tetangga.
Masih banyak lagi contoh di sekitar kita, tentang ayah dan ibu yang tak menyadari peran mereka dalam berkeluarga. Alarm keayahan dan keibuan mereka lenyap ketika sindroma ketaksadaran melanda.
Pertanyaannya, mengapa memutuskan menikah? Apakah sekadar menuntaskan hasrat biologis? Sekadar ingin mendapatkan keturunan? Ataukah ada tujuan yang lebih mulia yang diketahui?
Fiyuh, memulai tulisan dengan masalah bukanlah hal ringan. Tapi saya mencoba membeberkan fakta yang kita bersama ketahui ini dulu, lalu mengaitkannya dengan “tujuan pembangunan keluarga” yang seharusnya disadari setiap orang yang berumah tangga. Bukankah memang sebarusnya kita mengetahui apa tujuan kita melakukan sesutu yang penting lagi sakral dan mulia?
Tujuan Pembangunan Keluarga Tecapai Jika Orang Tua Memiliki Kesadaran
Tujuan pembangunan keluarga yang dirumuskan BKKBN adalah:
- Terbangunnya Ketahanan Keluarga Balita dan Anak serta Kualitas Anak dalam memenuhi Hak Tumbuh Kembang Anak.
- Terbangunnya Ketahanan Keluarga Remaja dan Kualitas Remaja dalam menyiapkan Kehidupan Berkeluarga.
- Meningkatnya kualitas Lansia dan Pemberdayaan Keluarga Rentan sehingga mampu berperan dalam Kehidupan Keluarga.
- Terwujudnya Pemberdayaan Ekonomi Keluarga untuk meningkatkan Kesejahteraan Keluarga.
Sementara itu, dalam Islam, tujuan berkeluarga bukan semata-mata untuk kebahagiaan di dunia, melainkan juga untuk beribadah atau dalam rangka mewujudkan kebahagiaan di akhirat. Bahkan anak menjadi investasi akhirat bagi kedua orang tuanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Di hari kiamat nanti orang-orang disuruh masuk ke dalam surga, namun mereka berkata: wahai Tuhan kami, kami akan masuk setelah ayah dan ibu kami masuk lebih dahulu. Kemudian ayah dan ibu mereka datang. Maka Allah berfirman: Kenapa mereka masih belum masuk ke dalam surga, masuklah kamu semua ke dalam surga. Mereka menjawab: wahai Tuhan kami, bagaimana nasib ayah dan ibu kami? Kemudian Allah menjawab: masuklah kamu dan orang tuamu ke dalam surga” (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya).
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka keluarga menjalankan ke-8 fungsi keluarga ini: fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi perlindungan, fungsi ekonomi, fungsi sosialisasi & pendidikan, fungsi lingkungan, fungsi reproduksi, dan cinta dan kasih sayang.
Berjalannya fungsi keluarga untuk mencapai tujuan berkeluarga mengharapkan hasil akhir berupa: keluarga yang berketahanan dan sejahtera. Peran terbesar ada pada orang tua yang siap menjadi orang tua. Orang tua memahami peran pentingnya sebagai orang tua dan memahami konsep dirinya. Peran ayah juga terlibat langsung dan aktif, bukan hanya ibu.
Dengan demikian, baik ayah dan ibu dapat mendorong dan membantu tumbuh-kembang yang baik bagi anak-anaknya, menjauhkannya dari pengaruh negatif media, menjaga kesehatan reproduksi anak, dan membentuk karakter anak sejak dini.
Namun, sekali lagi, fungsi keluarga tak dapat berjalan baik tanpa kesadaran penuh kedua orang tua yang menjadi pemain utamanya. Membentuk karakter berkualitas pada anak hanya dapat dilakukan oleh orang tua yang juga punya karakter berkualitas. Sebelum membentuk karakter anak, kembali lagi orang tua dituntut memiliki kesadaran penuh untuk dapat mengukur karakter dirinya. Bila masih ada kekurangan, harus diatasi dulu sebelum menuntut anaknya berkarakter baik.
[caption caption="Orang tua berperan besar sebagai sistem Mikro"]
4 Cara Meningkatkan Kesadaran Diri
Bagaimana agar bisa meningkatkan kesadaran diri?
Ya, bagaimana caranya?
Ini dia, 4 cara meningkatkan kesadaran diri:
- Senantiasa mengintrospeksi/mengevaluasi diri dengan jujur. Di dalam Islam, istilah ini dikenal dengan “muhasabah”. Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [hadits riwayat Tirmidzi].
- Memahami diri sendiri dengan baik. Mengenali dengan baik apa kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
- Memahami situasi dengan baik. Memahami apa yang sedang dan akan dihadapi, termasuk orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pahami tantangan dan ancamannya. Cari informasi sebanyak-banyaknya dan bersiap menghadapi berbagai kemungkinan.
- Fokuslah dengan apa yang sedang dikerjakan atau dialami. Fokuslah pula kepada siapa kita sedang berkomunikasi. Lakukan dengan seksama dan penuh konsentrasi. Adjie Silarus – seorang trainer dan konsultan psikologi dan lebih dari 1.000 penelitian (secara psikologi dan medis) sejak tahun 1970-an menawarkan mindfulness. Mindfulness adalah cara sederhana untuk melatih diri agar sadar penuh, hadir utuh “di sini dan saat ini”, lebih menyadari kehidupan dengan segala yang terjadi setiap saat.
***
Kesadaran diri yang penuh akan membuat ayah dan ibu lebih menyadari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan lakukan, juga lebih menyadari apa yang terjadi di dalam pikiran dan tubuhnya. Dengan demikian, ayah dan ibu – selaku pemain utama dalam mencapai tujuan pembangunan keluarga dapat menciptakan stimulus sehingga mengeluarkan tanggapan/reaksi agar dapat memilih, melihat, dan mengambil tindakan dengan lebih bijaksana. Hal ini sejalan dan mendukung kebijakan pembangunan keluarga sebagai implementasi revolusi mental.
Makassar, 6 Agustus 2015
Keterangan:
- Sumber gambar paling atas: allwallpapersdesktop.blogspot.com
- Sumber gambar kedua: Materi presentasi KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEBAGAI IMPLEMENTASI REVOLUSI MENTAL. Disampaikan oleh Dr. Sudibyo Alimoeso, MA – Deputi Bidang KSPK BKKBN di Tangerang Selatan, pada peringatan Harganas XXII (1/8/2015)
Bahan bacaan lain:
- Sadar Penuh Hadir Utuh. Ditulis oleh Adjie Silarus. Diterbitkan oleh Trans Media Pustaka, 2015.
- Materi presentasi KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEBAGAI IMPLEMENTASI REVOLUSI MENTAL. Disampaikan oleh Dr. Sudibyo Alimoeso, MA – Deputi Bidang KSPK BKKBN di Tangerang Selatan, pada peringatan Harganas XXII (1/8/2015).
- http://www.dakwatuna.com/2013/11/09/41935/tujuan-tujuan-mulia-menikah-dan-berkeluarga/
- http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/introspeksi-diri-akhlak-yang-terlupa.html
- http://segiempat.com/tips-dan-cara/umum/pengembangan-diri/meningkatkan-kesadaran-diri/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H