Mohon tunggu...
Mugiarni Arni
Mugiarni Arni Mohon Tunggu... Guru - guru kelas

menulis cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Cinta yang Tertinggal

22 November 2023   17:34 Diperbarui: 22 November 2023   17:35 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar pixabay.com gratis 

Cinta yang Tertinggal

OLeh:  Mugiarni 

Pagi itu, seperti biasa, aku bangun pukul 05.00 WIB untuk bersiap-siap berangkat kerja. Namun, kali ini rasanya berbeda. Ada perasaan yang mengganjal di dadaku. Aku merasa ada yang hilang.

Aku pun turun ke bawah untuk membuat kopi. Saat sedang menyiapkan kopi, aku melihat foto suamiku di dinding. Aku tersenyum memandangi fotonya. Suamiku, namanya Ilham, adalah pria yang paling aku cintai di dunia ini.

Kami menikah sudah sepuluh tahun dan memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Ilham adalah sosok suami yang sempurna. Dia selalu sabar dan pengertian, baik kepadaku maupun kepada anak-anak kami.

Aku pun meminum kopiku sambil terus memandangi foto Ilham. Aku teringat kembali bagaimana kami pertama kali bertemu. Saat itu, aku sedang menghadiri sebuah acara kampus. Ilham adalah salah satu mahasiswa yang ikut serta dalam acara tersebut.

Aku langsung jatuh hati pada pandangan pertama. Ilham adalah pria yang tampan, pintar, dan memiliki kepribadian yang baik. Kami pun mulai berkencan dan akhirnya menikah.

Kehidupan kami pun bahagia. Kami selalu saling mencintai dan mendukung satu sama lain. Kami membangun keluarga yang harmonis dan bahagia.

Namun, kebahagiaan itu harus berakhir secara tragis. Dua tahun yang lalu, Ilham meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana aku menerima kabar tersebut.

Aku seperti orang yang kehilangan akal. Aku tidak percaya bahwa Ilham sudah tiada. Aku pun menangis sejadi-jadinya.

Sejak saat itu, hidupku berubah. Aku menjadi orang yang pendiam dan tertutup. Aku tidak lagi memiliki semangat hidup. Aku hanya menjalani hidupku sehari-hari tanpa tujuan.

Anak-anakku pun ikut merasakan kesedihanku. Mereka menjadi pendiam dan sering menangis. Aku merasa bersalah karena telah membuat anak-anakku kehilangan ayah mereka.

Suatu hari, aku sedang duduk di taman sambil memandangi anak-anakku yang sedang bermain. Aku pun teringat akan pesan terakhir Ilham kepadaku.

"Jagalah anak-anak kita," kata Ilham. "Mereka adalah harta kita yang paling berharga."

Aku pun tersadar bahwa aku harus bangkit dari keterpurukanku. Aku harus menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Aku harus melanjutkan hidupku untuk Ilham dan anak-anakku.

Aku pun mulai mencoba untuk membuka diri kembali. Aku mulai bergaul dengan teman-temanku dan ikut kegiatan-kegiatan sosial. Aku pun mulai mencari pekerjaan baru.

Anak-anakku pun mulai terlihat lebih bahagia. Mereka sering tersenyum dan bercanda denganku. Aku merasa bersyukur karena anak-anakku bisa menjadi penyemangatku.

Sekarang, sudah hampir tiga tahun sejak kepergian Ilham. Aku masih sering merindukannya, tapi aku sudah tidak sesedih dulu. Aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa Ilham sudah tiada.

Aku pun mulai menata hidupku kembali. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik lagi. Aku ingin menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku.

Aku yakin bahwa Ilham akan selalu ada di dalam hatiku. Cinta kami akan selalu abadi.

Cinta yang Tertinggal

Namun, meskipun sudah berusaha bangkit, aku masih sering merasa sebagai istri yang tak sempurna. Aku merasa bahwa aku tidak bisa menggantikan Ilham di hati anak-anakku.

Aku sering melihat anak-anakku merindukan Ilham. Mereka sering bertanya tentang Ilham dan ingin tahu apa yang dilakukan Ilham di surga.

Aku pun merasa bersalah karena tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan kepada anak-anakku. Aku merasa bahwa aku tidak bisa menjadi ibu yang sempurna bagi mereka.

Suatu hari, aku sedang duduk di ruang keluarga bersama anak-anakku. Kami sedang menonton film bersama. Tiba-tiba, anak perempuanku bertanya kepadaku.

"Mama, apa Mama pernah menyesal menikah dengan Papa?" tanya anak perempuanku.

Aku terkejut mendengar pertanyaan anak perempuanku. Aku pun terdiam sejenak untuk mencari jawaban yang tepat.

"Mama tidak pernah menyesal menikah dengan Papa," jawabku akhirnya. "Papa adalah suami yang baik dan ayah yang hebat. Mama sangat mencintai Papa."

Anak perempuanku tersenyum mendengar jawabanku. Dia pun memelukku erat.

"Mama, Mama adalah ibu yang terbaik," kata anak perempuanku. "Mama tidak perlu menjadi sempurna. Mama hanya perlu menjadi Mama."

Kata-kata anak perempuanku membuatku terharu. Aku pun menyadari bahwa aku tidak perlu menjadi sempurna untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku.

Aku hanya perlu menjadi diri sendiri dan memberikan cinta terbaikku kepada mereka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun