Mohon tunggu...
Mugi です
Mugi です Mohon Tunggu... Freelancer - manusia biasa

Sedang belajar

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kutukan Pantai Viral (Bagian 4)

16 Juli 2024   21:19 Diperbarui: 16 Juli 2024   21:39 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

Sore itu, Nina memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan membereskan rumah. Setelah kamarnya rapi, ia beralih ke ruang keluarga yang memang terlihat agak sedikit berantakan. Dari jendela yang ada di salah satu sisi ruangan , sinar matahari sore tampak masuk, memberikan nuansa nyaman dan terang di ruangan tersebut.

Nina membetulkan ikatan rambutnya yang panjang agar tidak mengganggu, lalu mulai merapikan buku-buku di rak, menyusun kembali bantal di sofa, dan mengelap debu yang menempel di perabotan sekitarnya.

Ia kemudian beralih ke lemari di sudut ruangan. Ketika tengah menata isinya, matanya tertuju pada sebuah album foto lama yang tampak asing baginya. Rasa penasaran yang menyelinap di benaknya membuatnya menghentikan aktivitas beres-beres sejenak. Dengan hati-hati, ia mengambil album foto itu dan meniup debu yang menutupi sampulnya. Album itu terlihat tua, dengan sampul kulit yang sudah mulai terkelupas di beberapa bagian.

Nina lalu duduk di sofa, membuka halaman pertama album dengan perasaan antusias. Di dalamnya, terdapat foto-foto yang sudah menguning, memperlihatkan kenangan masa lalu yang belum pernah dilihatnya, wajah ibunya kala masih muda. Tersenyum, ia membuka halaman berikutnya, melihat foto-foto yang menggambarkan zaman yang tampak asing, namun manis baginya.

Saat membuka halaman berikutnya, matanya terpaku pada sebuah foto yang membuat senyum di wajahnya perlahan memudar. Foto itu memperlihatkan beberapa orang, termasuk ibunya. Tepat di samping sosok ibunya yang masih belia itu, Nina melihat seorang lelaki paruh baya dengan gelang yang bentuknya sangat ia kenali. Meski tidak terlihat detail, Nina yakin gelang di pergelangan laki-laki dalam foto itu mirip seperti gelang yang dikenakan oleh sosok laki-laki yang mencengkeramnya di pondok tua.

Jantungnya berdegup kencang saat ingatan mengenai situasi yang ia alami di pondok tua beberapa waktu lalu kembali terputar di pikirannya. Ia seolah merasakan kembali dinginnya hawa saat itu, suara angin yang menembus jendela pondok, dan suasana gelap pondok tua yang selalu membuatnya merinding.

Perasaan takut merayap naik saat ia mengingat kembali detail-detail kejadian menakutkan yang terjadi di pondok itu. Suara lantai kayu yang berderit, suara bisikan-bisikan yang tak ia mengerti, dan perasaan diawasi yang begitu kuat hingga membuatnya ingin segera lari keluar dari pondok itu. Foto yang ada di hadapannya seakan-akan membawa kembali semua perasaan itu dengan begitu nyata.

Nina menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Ia merasakan bulu kuduknya meremang, dan tanpa sadar, tangannya gemetar dan terasa lemah sehingga membuat album foto yang tengah dipegangnya terjatuh ke lantai. Mata yang tadinya bersinar ceria kini terlihat penuh kecemasan. Pandangannya terfokus pada foto yang kini ada di lantai dengan tatapan yang kosong dan dalam. Ia menghela napas panjang, mencoba membuang jauh-jauh ingatan menakutkan yang ada di pikirannya. Namun, perasaan cemas tetap menggelayut.

*

Mengetahui anaknya tengah membantu membereskan rumah, hati Lis semringah. Tetapi, senyum yang semula tersungging di bibirnya langsung hilang begitu memasuki ruang keluarga. Matanya menangkap sosok putrinya tengah terdiam dalam ketakutan. Ekspresinya pun langsung berubah menjadi cemas. Alisnya mengernyit, memperjelas kerutan yang ada di dahinya. Mata yang tadinya berbinar berubah menjadi penuh kekhawatiran, pupil matanya membesar seolah mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Bibirnya yang sedikit terbuka menunjukkan kebingungan dan keprihatinan mendalam.

"Nina, ada apa?!" tanyanya dengan suara lembut, tetapi penuh urgensi, langkahnya cepat mendekati anaknya.

Nina, yang terduduk dengan tubuh kaku dan mata terbelalak, tidak merespons. Napasnya terdengar cepat dan dangkal, tanda bahwa ia terjebak dalam rasa takut yang mendalam. Tangannya mencengkeram erat celana yang dikenakannya, seakan-akan itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa memberinya rasa aman. Wajahnya pucat, dan bibirnya bergetar seolah ingin berbicara, tetapi tidak mampu.

Lis berlutut di depan Nina, berusaha menangkap pandangan anaknya.

"Sudah..., sudah..., tidak apa-apa. semuanya baik-baik saja. Ibu ada di sini," katanya dengan suara setenang mungkin. Tangannya lalu menyentuh bahu sang anak, memberikan sentuhan penuh kasih sayang yang diharapkannya bisa menenangkan.

Perlahan, Nina mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, air mata menggenang di sudut matanya. "Bu..., aku takut," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Lis memeluk anaknya dengan penuh kehangatan, menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Ibu di sini. Kamu aman," ujarnya mencoba menenangkan diri anaknya meski hatinya sendiri juga gelisah ketika melihat album lawas yang tergeletak terbuka tak jauh dari anaknya.

Dengan dukungan ibunya, ketakutan di wajah Nina mulai mereda. Meskipun masih ada sisa-sisa kecemasan, kehadiran sang ibu sungguh memberikan rasa aman yang sangat ia butuhkan. Selama beberapa saat, ibu dan anak itu tetap berpelukan, membiarkan waktu menyembuhkan rasa takut yang menghantui mereka masing-masing.

Ketika Nina dan dirinya sendiri telah lebih tenang, Lis membimbing anaknya ke sofa. Setelah duduk, ia memandang putri yang amat dicintainya itu. Matanya kemudian bertemu dengan mata Nina. Sejenak, ia merasa terbebani oleh sesuatu yang berat dan menekan.

Lis menggenggam tangan anaknya, berharap hal itu dapat memberikan rasa nyaman, bagi anaknya dan dirinya sendiri.

"Ibu tahu ini mungkin tidak mudah untuk kamu dengar. Tapi, ada sesuatu yang sudah lama ibu sembunyikan darimu. Ibu merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk membicarakannya."

Wajah Nina menampilkan ekspresi bingung dan khawatir. "Apa, Bu? Ada apa sebenarnya?"

Lis menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa semakin cepat.

"Selama ini, ibu menyembunyikan sesuatu karena tidak ingin kamu merasa terbebani atau terluka. Tapi, ibu sadar, kamu sudah cukup dewasa untuk tahu kebenarannya."

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun