Mohon tunggu...
Mufraini Hamzah
Mufraini Hamzah Mohon Tunggu... Lainnya - karyawan swasta

saya sangat menyukai traveling dan kuliner , dua hal ini kombinasi yang paling apik untuk menghilangkan penat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pasal 66 UU 32 Tahun 2009: Antara Perlindungan dan Kriminalisasi Aktivis Lingkungan

21 Juli 2024   11:24 Diperbarui: 21 Juli 2024   11:59 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menjadi landasan hukum penting dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan di Indonesia. Salah satu pasal yang krusial dalam undang-undang ini adalah Pasal 66, yang memberikan perlindungan hukum bagi individu atau kelompok yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, dalam praktiknya, pasal ini seringkali disalahgunakan untuk mengkriminalisasi aktivis lingkungan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai efektivitas perlindungan hukum yang diberikan oleh Pasal 66 UUPPLH serta tantangan yang dihadapi oleh aktivis lingkungan dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Aktivis lingkungan, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian alam, justru kerap dihadapkan pada ancaman kriminalisasi. Mereka yang menyuarakan keprihatinan terhadap proyek-proyek pembangunan yang berpotensi merusak lingkungan, seringkali dituduh melakukan tindakan melawan hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran serius mengenai nasib perjuangan lingkungan di Indonesia. Apakah Pasal 66 UUPPLH benar-benar memberikan perlindungan yang memadai bagi para aktivis lingkungan? Bagaimana fenomena kriminalisasi ini dapat terjadi, dan apa dampaknya terhadap upaya pelestarian lingkungan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pijakan awal dalam menganalisis efektivitas Pasal 66 UUPPLH dalam melindungi aktivis lingkungan. Tulisan ini mencoba akan menyampaikan kasus-kasus kriminalisasi yang terjadi, mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya, serta merumuskan solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi penguatan perlindungan hukum terhadap aktivis lingkungan dan mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi perjuangan lingkungan hidup di Indonesia.

 

II.Pembahasan

Pasal 66 UUPPLH menyatakan bahwa "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata." Pasal ini bertujuan untuk melindungi aktivis lingkungan dari ancaman hukum yang dapat menghambat upaya mereka dalam menjaga kelestarian lingkungan. Namun, interpretasi dan implementasi pasal ini seringkali tidak sesuai dengan semangat perlindungan yang dimaksudkan.

1. Kriminalisasi Aktivis Lingkungan

Dalam beberapa kasus, aktivis lingkungan justru menjadi korban kriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal lain di luar UUPPLH. Mereka dituduh melakukan pencemaran nama baik, penghasutan, atau bahkan tindak pidana lainnya yang tidak terkait langsung dengan aktivitas mereka dalam memperjuangkan lingkungan. Beberapa contoh kasus kriminalisasi aktivis lingkungan antara lain:

Kasus Golfrid Siregar: Aktivis lingkungan yang menyuarakan penolakan terhadap pembangunan pabrik semen di Kendeng, Jawa Tengah, dikriminalisasi dengan tuduhan penghasutan dan pencemaran nama baik.

Kasus Heri Budiawan (Budi Pego): Aktivis lingkungan yang menentang tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur, dipenjara dengan tuduhan menyebarkan komunisme karena mengibarkan bendera yang dianggap mirip dengan bendera Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kasus Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Aktivis HAM yang mengungkap dugaan keterlibatan pejabat tinggi dalam bisnis tambang di Papua dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa Pasal 66 UUPPLH belum sepenuhnya efektif dalam melindungi aktivis lingkungan dari kriminalisasi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

2.Interpretasi yang Bermasalah

Salah satu akar permasalahan terletak pada interpretasi Pasal 66 UUPPLH yang cenderung sempit dan terbatas. Seringkali, pasal ini hanya dipahami sebagai perlindungan bagi aktivis lingkungan yang melakukan aksi damai dan legal. Padahal, perjuangan lingkungan hidup seringkali melibatkan aksi-aksi yang kontroversial dan berisiko tinggi, seperti demonstrasi, pemblokiran proyek, atau bahkan pendudukan lahan. Aksi-aksi tersebut, meskipun bertujuan untuk melindungi lingkungan, seringkali dianggap melanggar hukum dan menjadi dasar bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan.

3.Penyalahgunaan Hukum sebagai Alat Represi

Selain interpretasi yang sempit, Pasal 66 UUPPLH juga rentan terhadap penyalahgunaan. Pasal-pasal lain di luar UUPPLH, seperti pasal pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP) atau penghasutan (Pasal 160 KUHP), kerap dijadikan alat untuk membungkam aktivis lingkungan. 

Tuduhan-tuduhan tersebut seringkali tidak berdasar dan hanya bertujuan untuk mengintimidasi dan menghentikan aktivitas mereka. Nampak jelas Asas lex specialis derogat legi generali benar-benar diabaikan oleh aparat penegak hukum, di mana Pasal 66 UUPPLH dikesampingkan oleh pasal-pasal KUHP yang bersifat umum.

4. Lemahnya Penegakan Hukum dan Perlindungan

Lemahnya penegakan hukum juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap kriminalisasi aktivis lingkungan. Aparat penegak hukum seringkali tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan. Akibatnya, mereka cenderung berpihak pada kepentingan bisnis atau pemerintah yang berpotensi merusak lingkungan, dan mengabaikan hak-hak aktivis lingkungan untuk menyuarakan pendapat dan melakukan aksi damai.

Selain itu, lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) juga belum optimal dalam memberikan perlindungan bagi aktivis lingkungan yang menjadi korban kriminalisasi. Hal ini membuat aktivis lingkungan rentan terhadap ancaman, intimidasi, bahkan kekerasan fisik.

5. Dampak Kriminalisasi terhadap Perjuangan Lingkungan

Kriminalisasi aktivis lingkungan memiliki dampak yang serius terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup. Hal ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia para aktivis, tetapi juga menghambat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Ketika suara-suara kritis dibungkam, maka ruang bagi dialog dan penyelesaian masalah lingkungan secara demokratis menjadi semakin sempit. Parahnya lagi tindakan ini nyata melanggar Undang-undang, khususnya pasal 66 UUPLH tersebut .

Kesimpulan dan Saran

Pasal 66 UUPPLH memiliki potensi besar untuk menjadi perisai bagi aktivis lingkungan, namun dalam praktiknya masih belum efektif dalam mencegah kriminalisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa langkah perbaikan, antara lain:

Revisi Pasal 66 UUPPLH: Memperjelas definisi "memperjuangkan hak atas lingkungan hidup" agar mencakup berbagai bentuk aksi dan ekspresi yang sah dalam memperjuangkan lingkungan dan tidak menimbulkan multi tafsir.

Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum: Memberikan pelatihan dan pendidikan yang memadai kepada aparat penegak hukum mengenai hak asasi manusia, prinsip-prinsip perlindungan lingkungan, dan pentingnya peran aktivis lingkungan dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Penguatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK): Memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi aktivis lingkungan yang menjadi korban kriminalisasi, termasuk perlindungan hukum, psikologis, dan sosial.

Peningkatan Partisipasi Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan penegakan hukum lingkungan, serta memberikan dukungan kepada aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak-hak mereka.

Dengan adanya langkah-langkah tersebut, diharapkan Pasal 66 UUPPLH dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebagai perisai bagi aktivis lingkungan, sehingga mereka dapat menjalankan peran pentingnya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup tanpa rasa takut akan kriminalisasi.

21 Juli 2024

Mufraini Hamzah

MIH UGM JAKARTA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun