"Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga." Bunyi lirik awal lagu 'Kata Pujangga' ciptaan Rhoma Irama itu sangat populer terutama di kalangan anak muda lintas zaman.
Lagu itu ternyata bukan cuma klise, sebagai metafora ia sangat bagus menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Kalau boleh dibuat plesetan, rasa-rasanya tepat untuk mengatakan kuliah tidak lengkap rasanya tanpa jatuh cinta. Kuliah tanpa jatuh cinta bagai taman tak berbunga. Aduhai begitu kata para mahasiswa yang hatinya saling terpaut dalam dawai-dawai asmara.
Omong-omong soal jatuh cinta, saya perlu mengutarakan terima kasih tak terhingga kepada Muhammadiyah, persyarikatan yang dilahirkan karena spirit cinta, juga tumbuh dengan cinta yang tak luntur dimakan zaman, yang satu abad lebih delapan tahun konsisten menebar cinta, dan selama matahari masih timbul dan bulan menggantung manis, akan terus seperti itu.
Saya sebenarnya punya garis sejarah dari keluarga yang cukup kental dengan Muhammadiyah, terutama jika ditarik dari keluarga Ayah. Kakek saya dulunya adalah Ketua ranting Muhammadiyah di desa Pahonjean, Cilacap, Jawa Tengah
Sementara Ayah saya pernah diamanahi sebagai Ketua panti asuhan laki-laki Muhammadiyah. Dan ibu hingga kini aktif di organisasi perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Meski begitu, saya sendiri tergolong biasa saja dalam beragama, tidak Nahdatul Ulama (NU) ataupun Muhammadiyah. Jadi sentuhan saya dengan Muhammadiyah hanya sepintas lalu dan secara tidak langsung dan mungkin diam-diam tidak saya sadari. Agak terdengar aneh memang, tapi begitulah faktanya.
Tetapi semenjak kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) seketika saya dibuat takjub dan merasakan jatuh cinta dengan dan karena Muhammadiyah.
Bagaimana cara menjelaskan maksud dari kalimat di atas? Begini, ketika kuliah di UMY ada begitu banyak majelis-majelis ilmu yang digelar, dan bergaul dengan aktivis persyarikatan menjadikan cakrawala berpikir saya tidak lagi sempit.
Saya mulai tergerak untuk melaksanakan sholat dan menjadi mengerti bagaimana tata cara sholat seusai tuntutan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam karena mengikuti salah satu program wajib kampus bernama KIAI ( Kuliah Intensif Al Islam), dalam program itu saya dan tentunya banyak mahasiswa lainnya juga diajak berkenalan lebih dalam dengan Muhammadiyah.
Berkenalan dengan Muhammadiyah semacam jadi oase ditengah padang kehidupan spiritual saya yang kering. Satu contoh lainnya, di kampus, para mahasiswa difasilitasi untuk belajar membaca Al Qur'an, dimana para fasilitator sangat telaten dalam membimbing para mahasiswa yang dibagi dalam beberapa kelompok kecil.
Hal-hal semacam itu menstimulus saya untuk pelan-pelan belajar agama, dan yang menggembirakan lagi Muhammadiyah sangat terbuka terhadap berbagai cara pandang. Ketika saya belajar dengan para dosen, dan tokoh-tokoh top Muhammadiyah, saya makin sadar kalau sifat indoktrinasi bukanlah karakter dari persyarikatan ini.
Nuansa dialogis menjadikan Muhamadiyah sebagai rumah besar yang penuh kehangatan. Saya mendapati Muhammadiyah paket komplit, bukan cuma soal fiqih dan muamalah, untuk saya pribadi nilai-nilai keislaman berupa ijtihad pemikiran juga membuat daya tarik Muhammadiyah makin bernilai besar di mata saya yang fakir sekaligus haus ilmu pengetahuan ini.
Merengkuh banyak hal dari tokoh-tokoh yang say idolakan, sebutlah beberapa diantaranya: Ahmad Syafi'i Ma'arif alias Buya Syafii, Â Ahmad Najib Burhani, Faturahman Kamal, dan tentu Haedar Nashir
Beralih ke urusan hati alias cinta yang lainnya. Dalam petualangan saya mengenal Muhammadiyah tentu tak terelakkan momen-momen ketika saya bercakap-cakap dan berteman dengan kader perempuan Muhammadiyah.
Jujur saja, saya agak payah dalam urusan yang satu ini. Dari sekian banyak kader perempuan Muhammadiyah di 'persimpangan jalan' yang saya kenal ada satu yang begitu melekat di ingatan dan tidak pernah gagal membuat saya berdebar.
Andai menyebut namanya jadi sebuah kepastian perasan saya berbalas pastilah sudah saya lakukan, tetapi saya terlalu pemalu dan tidak percaya diri melakukan itu.
Jadi, dengan berat hati, kawan-kawan pembaca tidak akan mengetahui cerita ini secara detail. Momen-momen seperti itu biarlah saya kenang dan tanggung sendiri pahit dan manis nya. Sebab bagi saya jatuh cinta adalah tentang dua pilihan. Pertama, untuk menyimpan rapat-rapat atau kedua mengumbarnya dalam sebuah romantisme. Saya memilih untuk menyimpannya rapat-rapat.
Â
Namun yang jelas, pada titik ini saya berani katakan, saya jatuh cinta dengan dan karena Muhammadiyah. Saya rasa kalimat tersebut tepat untuk menggambarkan kalau kuliah di UMY pada akhirnya menjadi obat paling mujarab dari kegagalan demi kegagalan saat menembus perguruan tinggi negeri. Ceritanya akan tidak seindah ini kalau saja saya diterima di UGM atau UNDIP. Tentu disana ada Muhamadiyah, tapi jalan untuk menemukan Muhammadiyah pasti tidak semulus seperti di UMY.
Saya rasa, inilah rasa syukur yang paling besar saya saat ini, ketika mengawali, menjatuhkan pilihan, dan menjalani kisah cinta dalam naungan persyarikatan di kampus terbaik milik Muhamadiyah, apalagi kalau bukan kampus dengan slogan "Muda Mendunia Unggul Islami,"
yang belum lama ini merayakan hari Milad yang ke-41 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H