Mohon tunggu...
Muhammad Mufti Faiq Kamal
Muhammad Mufti Faiq Kamal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa || Study Forever

Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, aktivis HMI Cabang Ciputat, dan guru Tahfidz Pesantren Al-Adzkar Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Watak Kosmopolitanisme Islam Terhadap Tantangan Konservatisme Kultural

26 September 2024   20:04 Diperbarui: 26 September 2024   20:05 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kosmopolitanisme Islam adalah sebuah konsepsi yang mengkorelasikan prinsip-prinsip kosmopolitanisme dengan ajaran-ajaran Islam. Kosmopolitanisme sendiri secara umum merujuk pada ide bahwa semua manusia, terlepas dari latar belakang nasional, etnis, atau budaya mereka, memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang seharusnya diperlakukan setara di seluruh dunia.

Dalam konteks Islam, kosmopolitanisme ini menekankan pada nilai-nilai universal yang terdapat dalam ajaran Islam, seperti persaudaraan, keadilan, dan rasa saling menghormati di antara semua umat manusia. Hal ini termanifestasikan dalam ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Hadist yang mendukung persatuan umat manusia dan hubungan harmonis antara berbagai kelompok.

Rangkaian ajaran-ajaran yang termanifestasikan tersebut meliputi berbagai aspek, seperti yurisprudensi Islam (fiqih), keimanan (tauhid), etika (akhlak), dan sikap hidup yang mencerminkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama kemanusiaan (al-insaniyyah). Sikap kepedulian terhadap unsur kemanusiaan tersebut juga sekiranya harus diimbangi dengan kearifan yang muncul atas keterbukaan peradaban Islam sendiri. 

Keterbukaan yang menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak perabadan-peradaban lain. Keterbukaan terhadap ide-ide baru inilah yang menjadi watak kosmopolitanisme Islam yang menekankan nilai-nilai inklusivitas, toleransi, dan solidaritas antar umat, terlepas dari perbedaan budaya, etnis, atau agama.

Ketegangan Intelektual Sebagai Promotor Universalisasi Ajaran Islam

Selama empat abad pertama sejarah Islam, para pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka. Kaum Mu'tazilah yang eksis pada kala itu tampil dengan bebas dalam sebuah dialog yang mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-Qur'an itu diturunkan dalam bentuk huruf dan menganggap Kitab Suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka. 

Sesuatu yang mungkin sekarang akan diklaim sebagai sikap seorang yang murtad dari agama Islam, adalah pertanda bahwa kuatnya watak kosmpolitan dari peradaban Islam itu sendiri. Dari proses dialog serba dialektik inilah pada akhirnya memunculkan koreksi budayanya sendiri yang dalam kasus Mu'tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy'ari dan al-Maturidi yang berujung pada ilmu kalam dari kaum Sunni.

Koreksi itu-pun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai sebuah tuntutan, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Walaupun pada akhirnya, seiring berjalannya zaman, watak kosmopolitanisme Islam mulai terputus ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah dan memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy'ari sebagai kebenaran ajaran Islam.

KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal sebagai Gusdur (seorang tokoh yang mempelopori Islam kosmopolitan di Indonesia) menyimpulkan dalam tulisannya,

Kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim).

Kosmopolitanisme seperti inilah disebut kosmopolitanisme yang kreatif karena masyarakat di dalamnya bisa melakukan inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari kebenaran yang dipegang.

Maka dari ketegangan intelektual yang seperti ini, pada akhirnya memotori kosmopolitanisme bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara komprehensif. Spirit inilah yang membuat para zahid Muslim terdahulu mengembangkan peradaban Islam. Misalnya Imam Hasan al-Bashri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga ilmuwan di bidang bahasa. 

Imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang ahli dalam bidang bahasa ini juga ternyata adalah seorang peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya beliau, Qamus al-A'in, yang klasifikasi ilmunya melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'i seorang mujtahid di bidang hukum agama (fiqh) yang proses pengambilan hukum agamanya (istinbat al-ahkam) dari sejumlah metodologis tertentu, bukan hanya sekadar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka.

Tantangan Terhadap Globalisasi dan Modernitas

Tantangan kosmopolitanisme Islam meliputi perbedaan interpretasi ajaran Islam, yang dapat memengaruhi penerimaan pada prinsipnya. Selain itu, konflik antara nilai-nilai universal dan tradisi lokal sering kali sulit diatasi. Faktor lain termasuk resistensi terhadap perubahan dari kelompok konservatif dan kesulitan dalam membangun konsensus global di tengah beragam latar belakang budaya dan sosial.

Dalam konteks globalisasi, kosmopolitanisme Islam menekankan pada kemampuan untuk menavigasi antara identitas lokal dan global. Namun, konservatisme kultural sering kali bersikap skeptis terhadap modernitas dan globalisasi, karena keduanya dianggap dapat merusak nilai-nilai tradisional.

Di masyarakat Muslim konservatif, perubahan sosial yang terkait dengan modernitas seperti perubahan peran gender, teknologi, atau ekonomi global sering dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas sosial dan moralitas. Kalau kita merujuk pada perkembangan peradaban islam dahulu, justru hal-hal seperti itu bisa menjadi pintu menuju peradaban Islam yang berkualitas karena inherent dengan kehidupan manusia.

Benang Merah Solutif Dari Dua Arah

Meskipun konservatisme kultural bisa menjadi penghambat kosmopolitanisme Islam, tidak selalu demikian dalam semua konteks. Ada bentuk konservatisme yang dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan bersikap toleran terhadap variabel lain, selama nilai-nilai inti tidak dianggap terancam. Di Indonesia misalnya, banyak komunitas Muslim yang konservatif dalam hal keagamaan tetapi tetap terbuka terhadap interaksi lintas budaya dan partisipasi dalam diskursus global, asalkan mereka dapat memfilter pengaruh luar sesuai dengan norma-norma lokal.

Konservatisme kultural dapat menjadi penghambat kosmopolitanisme Islam ketika ia mendorong penolakan terhadap pembaruan, eksklusivisme, dan sikap skeptis terhadap modernitas. Namun, pengaruh ini tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu, hubungan antara konservatisme dan kosmopolitanisme dalam Islam sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Pendekatan yang seimbang dan dialog terbuka dapat membantu menciptakan harmoni antara tradisi dan modernitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun