Kosmopolitanisme seperti inilah disebut kosmopolitanisme yang kreatif karena masyarakat di dalamnya bisa melakukan inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari kebenaran yang dipegang.
Maka dari ketegangan intelektual yang seperti ini, pada akhirnya memotori kosmopolitanisme bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara komprehensif. Spirit inilah yang membuat para zahid Muslim terdahulu mengembangkan peradaban Islam. Misalnya Imam Hasan al-Bashri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga ilmuwan di bidang bahasa.Â
Imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi yang ahli dalam bidang bahasa ini juga ternyata adalah seorang peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya beliau, Qamus al-A'in, yang klasifikasi ilmunya melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi'i seorang mujtahid di bidang hukum agama (fiqh) yang proses pengambilan hukum agamanya (istinbat al-ahkam) dari sejumlah metodologis tertentu, bukan hanya sekadar menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah Nabi belaka.
Tantangan Terhadap Globalisasi dan Modernitas
Tantangan kosmopolitanisme Islam meliputi perbedaan interpretasi ajaran Islam, yang dapat memengaruhi penerimaan pada prinsipnya. Selain itu, konflik antara nilai-nilai universal dan tradisi lokal sering kali sulit diatasi. Faktor lain termasuk resistensi terhadap perubahan dari kelompok konservatif dan kesulitan dalam membangun konsensus global di tengah beragam latar belakang budaya dan sosial.
Dalam konteks globalisasi, kosmopolitanisme Islam menekankan pada kemampuan untuk menavigasi antara identitas lokal dan global. Namun, konservatisme kultural sering kali bersikap skeptis terhadap modernitas dan globalisasi, karena keduanya dianggap dapat merusak nilai-nilai tradisional.
Di masyarakat Muslim konservatif, perubahan sosial yang terkait dengan modernitas seperti perubahan peran gender, teknologi, atau ekonomi global sering dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas sosial dan moralitas. Kalau kita merujuk pada perkembangan peradaban islam dahulu, justru hal-hal seperti itu bisa menjadi pintu menuju peradaban Islam yang berkualitas karena inherent dengan kehidupan manusia.
Benang Merah Solutif Dari Dua Arah
Meskipun konservatisme kultural bisa menjadi penghambat kosmopolitanisme Islam, tidak selalu demikian dalam semua konteks. Ada bentuk konservatisme yang dapat beradaptasi dengan perubahan zaman dan bersikap toleran terhadap variabel lain, selama nilai-nilai inti tidak dianggap terancam. Di Indonesia misalnya, banyak komunitas Muslim yang konservatif dalam hal keagamaan tetapi tetap terbuka terhadap interaksi lintas budaya dan partisipasi dalam diskursus global, asalkan mereka dapat memfilter pengaruh luar sesuai dengan norma-norma lokal.
Konservatisme kultural dapat menjadi penghambat kosmopolitanisme Islam ketika ia mendorong penolakan terhadap pembaruan, eksklusivisme, dan sikap skeptis terhadap modernitas. Namun, pengaruh ini tidak bersifat mutlak. Oleh karena itu, hubungan antara konservatisme dan kosmopolitanisme dalam Islam sangat bergantung pada konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Pendekatan yang seimbang dan dialog terbuka dapat membantu menciptakan harmoni antara tradisi dan modernitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H