Mohon tunggu...
Muhammad Mufti Faiq Kamal
Muhammad Mufti Faiq Kamal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa || Study Forever

Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kakistokrasi dan Defisit Otoritas di Indonesia

15 Agustus 2024   09:32 Diperbarui: 15 Agustus 2024   09:40 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia baru-baru ini mendapatkan banyak sekali polemik mengenai isu-isu hangatnya. Misalkan baru-baru ini terdapat kasus penjebolan PDN (Pusat Data Nasional) oleh hacker yang meminta tebusan sejumlah 8 juta USD atau setara dengan Rp 131 Miliar. Dan ternyata mirisnya, teridentifikasi bahwa Menkominfo Budi Arie bukan lulusan IT. Belum lagi isu sebelumnya mengenai Tapera yang disebut-sebut sebagai Tambahan Penderitaan Rakyat. Lalu dalam kancah pilkada tentang putusan Mahkamah Agung terkait batas usia kepala daerah yang banyak dinilai probelmatik dan lainnya. Lalu kemudian dari isu-isu yang muncul tersebut kini kian terdengar lagi sebuah istilah yang disebut sebagai kakistokrasi.

Kakistokrasi adalah sebuah pemerintahan yang dijalankan oleh warga negara yang terburuk, paling tidak kompeten, dan paling tidak bermoral. Istilah ini adalah kebalikan dan istilah meritokrasi yang merupakan sistem pemerintahan yang mengedepankan otoritas kepemimpinan kepada orang-orang yang berkompeten dan memiliki kapabilitas yang mumpuni bukan karena kekayaan, atau kelas sosial, atau bahkan balas budi politik.

Kakistokrasi sendiri jika dikaitkan dengan periodisasi sejarah adalah sebuah ejekan yang tidak memiliki makna etimologi yang jelas. 

Dan karena istilah tersebut adalah berupa ejekan, maka dia benar-benar bersifat subjektif tergantung pada siapa yang mengucapkannya dan tergantung pada siapa yang dituduhnya. 

Misalkan, Donald Trump itu sempat disebut kakistokrasi pada periode awal pemerintahannya. Vladimir putin juga pernah disebut kakistokrasi pada sebuah jurnal studi di Rusia kala itu.

Namun apakah dengan demikian mereka menjadi orang yang terburuk, paling tidak berkompeten dan tidak bermoral? Tidak seperti itu juga karena itu adalah sebuah ejekan dari lawan politiknya atau dari oposisinya. 

Kita harus memahami istilah tersebut dengan dua sisi. Sisi pertama kita melihat semisalnya seorang yang sudah menjadi pemimpin, maka ia memiliki modal kepemimpinan atau setidaknya dia bisa mengatur, mengurus, dan mengeksploitasi orang-orang agar memilih dirinnya. 

Maka dalam konteks ini setidaknya itu adalah bukti bahwa ia bukan orang yang bodoh dan kesimpulannya seluruh negara di dunia ini tidak pernah menjalankan kakistokrasi karena orang yang bisa mempengaruhi orang lain saja itu sudah membatalkan kakistokrasi.

Akan tetapi, di sisi lain kakistokrasi juga berlaku untuk setiap negara yang ada di dunia saat ini. Pertimbangannya adalah bahwa setiap kekuasaan itu bukan ditujukan untuk memperkaya orang-orang yang berada di sekitarnya(rakyatnya), tetapi untuk menghegemoni kekuasaan dan kekuatan pada satu individu atau kelompok tertentu. 

Dari kekuasaan tersebut terjadi monopoli sumber daya untuk kekuatan kelompok itu sendiri. Jadi kekuasaan dalam konteks itu adalah kekuasaan yang terburuk dan itu juga termasuk kakistokrasi.

Maka pertanyaan yang muncul di benak kita apakah Indonesia menjalankan kakistokrasi? Kita dapat menilai hal tersebut pada suatu fakta bahwasannya kepemerintahan Indonesia sendiri mengalami defisit otoritas. Saya akan memberikan beberapa fakta terkait dengan defisit otoritas yang dialami oleh kepemerintahan saat ini.

Pertama contoh sederhana dari polemik BBM. Harga BBM yang sebenarnya misal kita anggap pertalite itu 13-14 ribu rupiah. Kemudian diberikan subsidi oleh pemerintah dan dijual kepada rakyat dengan harga 10 ribu rupiah. Jika diakumulasikan seluruh BBM yang ada di Indonesia beserta seluruh sumber energi yang ada, maka Indonesia itu menanggung kerugian dari subsidi sekitar 269 Triliun rupiah. Bahkan Menteri keuangan Sri Mulyani mencatat bahwa nilai kerugian tersebut naik 6,85 % pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2022.

sumber: cnbcindonesia.com
sumber: cnbcindonesia.com

Ini bisa kita komparasikan dengan pembangunan IKN. Dalam artian IKN bisa dibangun setiap tahun jika subsidi tersebut dihilangkan. Tapi sampai saat ini kita mendapatkan kerugian tersebut karena pemerintah takut adanya demonstrasi dari mahasiswa terkait hal tersebut yang mana sebenarnya mereka tau bahwa hal itu merusak.

Mereka mengalami defisit otoritas. Mereka hanya bisa mendapatkan otoritas dengan persetujuan rakyat yang tidak terdidik. Maka itu menjadikan mereka mengajukan kebijakan-kebijakan yang populis bukan konstruktif. Mereka hanya bisa menjadi orang-orang elit setelah mereka mendapatkan persetujuan dari mengemis-mengemis suara rakyat. 

Jadi mereka yang katanya terdidik itu mengikuti pikiran rakyat yang tidak terlalu terdidik. Karena mereka tidak memiliki otoritas untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan jika tidak mengemis kepada orang-orang yang tidak terdidik. Jadi sehebat apapun orang Indonesia, dia akan mengikuti orang-orang yang tidak jelas, yang paling tidak berkompeten hanya karena agar dia berkuasa. 

Jadi dia mendapatkan kekuasaannya dengan merekayasa orang-orang miskin atau orang-orang bodoh untuk mendapatkan kekuasaan dan menghancurkan ekonomi negara. Maka jadilah kemerosotan ekonomi yang tiada akhirnya hingga saat ini.

Atau misalkan contoh kedua dari kejadian baru-baru ini terkait janji politik pasangan Prabowo-Gibran yaitu makan siang gratis bagi anak-anak sekolah. Makan siang gratis itu jelas-jelas menghabisi anggaran negara. Nominal sekitar 70 T ditekan sehabis-habisnya dengan menu yang paling tidak masuk akal. Padahal tidak ada kajian ilmiah yang benar-benar bisa menjelaskan bahwa itu akan membantu Indonesia menuju Indonesia Emas tahun 2045. Itu tidak didasarkan dengan fakta-fakta ilmiah.

Alasan misalkan harus diselenggarakan makan siang gratis karena anak-anak di Indonesia banyak yang stunting dan kurang gizi. Mari kita pikirkan bersama, kalau itu alasannya karena stunting, mengatasi stunting itu di usia balita dan bukan di usia anak sekolah. Kemudian misalkan anak-anak di Indonesia kekurangan gizi dan kekurangan makan. Anak-anak di Indonesia itu benar memang kekurangan gizi tetapi bukan karena kekurangan makanan. Rata-rata anak Indonesia itu justru mengalami pola makan berlebih.

halodoc.com
halodoc.com

Mereka tidak tahu makanan yang mereka makan itu bergizi atau tidak. Dalam data dari Liputan 6, seorang ahli gizi Faisal Jalal berbicara pada sebuah workshop bahwa 30 persen anak-anak stunting itu berasal dari kalangan anak-anak orang kaya atau menengah keatas. Artinya mereka kekurangan gizi. Pendidikan mereka soal gizi itu yang bermasalah dan bukan artinya mereka kekurangan makan. Mereka banyak makannya tetapi tidak terdidik pada makanan yang mereka makan tersebut.

sumber: liputan6.com
sumber: liputan6.com

Jadi pemerintah seharusnya mendidik rakyat Indonesia agar memahami makanan mana yang sehat dan makanan mana yang tidak. Dan bukan memberikan program makan siang gratis. 

Karena itu malah membebani negara dan sama sekali tidak memilki dampak yang relevan bagi yang ditujunya yaitu anak-anak Indonesia. Atau dikatakan juga bahwa program tersebut dibutuhkan bagi rakyat Indonesia, akan tetapi jika kita melihat data obesitas di Indonesia itu mencapai sekitar 68 juta orang, sedangkan orang kelaparan di Indonesia itu sekitar 16 juta orang. 

Maka artinya, orang-orang yang kelebihan makan itu lebih banyak tiga kali lipatnya dibanding orang yang kekurangan makan. Maka seeloknya yang harus dilakukan adalah distribusi makanan. Bukan memberikan semuanya makan siang gratis. Sistem klasifikasi yang efisien yang bisa mencapai tujuan pada arah atau sasaran yang tepat.

sumber: cnnindonesia.com
sumber: cnnindonesia.com

Dengan demikian, dari kebijakan yang tidak ilmiah itu dipopulerkan kepada publik karena mereka ingin dipilih. Untuk menjadi pemerintah yang terpilih, mereka menuruti setiap kebijakan pragmatis masyarakat yang mereka mengetahui betul tingkat intelektualnya sehingga bisa merekayasa dan membodohinya agar mereka berada pada kursi pemerintahan. 

Maka dari itu, setiap kampanye-kampanye politik pada umumnya di Indonesia ini sangat template bentukannya. Misal ini demi rakyat, atau dari rakyat untuk rakyat karena mereka mengemis otoritas. Mereka tidak memilki visi misi, leadership yang mumpuni, karisma yang besar. Akan tetapi, mereka menjanjikan sesuatu kepada orang-orang agar mereka terpilih.

Maka apakah hal yang seperti ini masuk kedalam kategori karistokrasi? Iya. Mereka tidak bisa memimpin. Mereka bisa jadi pemimpin karena mereka menjanjikan iming-iming angin surga. Maka itulah hasil dari defisit otoritas yang kerap terjadi di Indonesia saat ini.

Kita sebagai rakyat biasa sangat diperlukan untuk bisa memilih pemimpin yang bijak dan tidak defisit otoritas. Pemimpin yang memiliki jiwa yang tegas dan visi misi yang baik untuk negara kedepannya. Namun apabila tidak menemukan yang seperti itu, maka jadilah pemimpin itu dan bersikaplah selayaknya, yang memiliki visi misi yang jelas, dan pemimpin yang memiliki otoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun