Mohon tunggu...
Muhammad Mufti Faiq Kamal
Muhammad Mufti Faiq Kamal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa || Study Forever

Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Meneladani Sikap Tasawuf Imam Hatim Al-Asham

28 Juli 2024   23:00 Diperbarui: 15 Agustus 2024   09:33 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(faidah keempat): “Kuperhatikan sebagaian manusia beranggapan bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pengikut dan famili, lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Yang lain mengatakan terletak pada harta yang melimpah dan anak yang banyak, lalu mereka bermegah-megah dengannya. Sebagian yang lain mengira terletak dalam merampok harta orang lain, menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Dan sebagian lagi menyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak dalam menghambur-hamburkan dan memboroskan harta. Aku lalu merenungkan wahyu Allah Ta’ala: "...sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian." (QS al-Hujurat: 13). Lalu kupilih taqwa karena aku yakin bahwa Qur’an itu haq dan benar, sedang pemikiran dan pendapat mereka keliru dan dugaan mereka bathil.”

Standarisasi dari kemuliaan manusia yang bahkan sampai saat ini masih kerap kita temukan adalah materi. Kaum-kaum materialis yang gila akan pengikut dan harta. Maka Allah Ta’ala telah menegaskan dengan memberikan standarisasi dari kemuliaan di sisi-Nya adalah ia yang paling bertakwa. Bukan yang paling banyak hartanya atau pengikutnya, atau bukan juga pada orang-orang yang sengaja flexing dirinya agar ribuan orang yang lain mengetahui kemegahannya. Maka Imam Hatim al-Asham memilih al-Quran sebagai landasan kepercayaannya dan mengingkari pendapat orang-orang tersebut.

(faidah kelima): “Kuperhatikan manusia sering saling menghina dan bergunjing (ghibah). Perbuatan buruk itu ditimbulkan oleh perasaan dengki (hasad) sehubungan dengan harta, kedudukan, dan ilmu. Kemudian kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "...Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia.." (QS az-Zukhruf: 32). Maka tahulah aku, bahwa pembagian itu telah ditentukan oleh Allah sejak di alam azali. Oleh karena itu, aku tidak boleh mendengki siapa pun dan harus ridha dengan pembagian yang telah diatur oleh Allah Ta’ala.

Iri dengki merupakan satu penyakit hati yang memiliki dampak buruk terhadap pelakunya. Sejarah membuktikan bahwa hampir seluruh konflik yang terjadi, sebab pertamanya karena adanya kedengkian yang melekat di hati. Maka renungan Imam Hatim tentang hal ini yang beliau komparasikan dengan ayat tersebut membuka kembali mata hati kita untuk ridha dengan apa yang sudah Allah Ta’ala tentukan.

(faidah keenam): “Kuperhatikan manusia saling bermusuhan satu dengan lainnya karena berbagai sebab dan tujuan. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian)... " (QS Fathir: 6). Maka sadarlah aku, bahwa aku tidak boleh memusuhi siapa pun kecuali setan.”

Berangkat dari faidah sebelumnya bahwa Ketika seseorang merasa dengki atau penyakit hati yang lain, maka sudah dapat dipastikan bahwa syaitanlah yang membisikkan perasaan tersebut. Maka Imam Hatim telah mengingatkan umat dengan klaim Allah bahwa syaitan adalah musuh bagi para manusia dan pada hakikatnya syaitan lah musuh nyata untuk manusia, bukan manusia yang lain, bahkan saudaranya sendiri.

(faidah ketujuh): “Kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara yang dapat menghinakan diri dan mengurangi kehormatannya. Lalu kerunungkan wahyu Allah Ta’ala: "Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya." (QS Hud :6). Maka sadarlah aku, bahwa sesungguhnya rezeki ada di tangan Allah Ta’ala, dan Ia telah memberikan jaminan. Oleh karena itu, aku lalu menyibukkan diri dengan ibadah dan tidak meletakkan harapan pada selain-Nya.”

Jaminan Allah Ta’ala tentang rezeki sudah sangat ditegaskan pada ayat tersebut. Secara semantik Bahasa Arab, apabila ada kalimat yang memiliki unsur penafian (an-nafyu) dan pengecualian (al-istitsna), maka memiliki makna pengkhususan (al-qashru). Allah bermaksud untuk mengkhususkan setiap makhluknya di muka bumi ini dengan tanggungan rezeki dari Allah langsung. Maka Allah Ta’ala sendirilah yang menyematkan makhluknya dengan rezeki yang ia peroleh dari Allah tersebut. Maka apa masih pantas seorang hamba mengorbankan harga diri, kehormatan, bahkan keimanannya padahal Allah sudah memberikan tanggungan atas hal itu?

(faidah kedelapan): “Kuperhatikan sebagian orang yang menyandarkan diri pada benda-benda buatan manusia, sebagian orang bergantung pada dinar dan dirham, sebagian pada harta dan kekuasaan, sebagian pada kerajinan dan industri, dan sebagian lagi pada sesama makhluk. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "....dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu." (QS at-Thalaq: 3). Maka aku pun lalu bertawakal kepada Allah Ta’ala dan mencukupkan diri dengan-Nya, karena Ia adalah sebaik-baik Dzat yang bisa kupercaya untuk mengurus dan melindungi semua kepentinganku.”

Maka pada puncak faidahnya, Imam Hatim al-Asham meletakkan kezuhudannya yang sangat luar biasa dimana banyak manusia yang mungkin ia sudah ridha dengan ketetapan Allah, tapi tidak bisa luput dari sandaran hidupnya yang masih mengandalkan harta dan jabatan. Ini menjadi puncak tasawuf Imam Hatim yang mengkomparasikan latar belakang masalah tadi dengan seruan Allah untuk tawakkal dan berserah diri. Apakah pantas seorang manusia menyandarkan sesuatu kepada selain Allah jika ternyata yang selama ini menjadi sandaran mutlaknya adalah Allah Ta’ala? Maka ini menjadi tamparan untuk semua manusia.  

Kesimpulannya, sikap tasawuf Imam Hatim al-Asham sangat sederhana menjadikan al-Quran sebagai landasan sentral untuk membongkar kedok orang-orang munafik atau orang-orang yang sedang tersesat dan jauh dari Allah Ta’ala. Beliau sering mengkomparasikan keresehan-keresehan yang beliau renungi terhadap ayat-ayat Allah yang secara definitif mampu memberikan jawaban yang esensial. Karena agama Islam adalah agama yang komprehensif (syumul). Dengan demikian, penting bagi kita semua untuk bisa meneladani sikap tasawuf beliau yang sederhana namun sangat mandalam dan menyentuh qalbu nurani kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun