Mohon tunggu...
Muhammad Mufti Faiq Kamal
Muhammad Mufti Faiq Kamal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa || Study Forever

Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Meneladani Sikap Tasawuf Imam Hatim Al-Asham

28 Juli 2024   23:00 Diperbarui: 15 Agustus 2024   09:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lukisan Imam Hatim Al-Asham, sumber: SINDOnews

Imam Hatim Al-Asham merupakan salah satu ulama abad pertengahan yang namanya sudah tidak asing lagi dalam dunia khazanah islam. Beliau adalah seorang sufi yang lahir pada abad ke 7 di daerah Khurasan yang sekarang dikenal sebagai Irak. Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan al-Asham. Kata al-Asham sendiri adalah suatu julukan yang disematkan kepada beliau yang kalau diartikan secara bahasa adalah seorang yang tuli. Namun, julukan tersebut bukan semata-mata karena beliau benar-benar tuli, akan tetapi beliau berpura-pura tuli demi menjaga kehormatan seseorang.

Jika kita ingin meneladani bagaimana Imam Hatim al-Asham bertasawuf dan merenungkan tentang arti dari kehidupan itu sendiri, maka selayaknya kita mengetahui tentang 8 faidah atau hikmah yang disampaikan oleh beliau dengan analisis tasawufnya yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah.

Interpretasi Imam Hatim al-Asham ini diabadikan dalam kitab karangan Imam al-Ghazali yang berjudul “Ayyuhal Walad”. Sebuah kitab tipis yang berisikan tentang nasihat-nasihat seorang guru yaitu Imam al-Ghazali sendiri kepada murid-muridnya. Maka, pada tulisan ini akan dijabarkan setiap point dari apa yang diutarakan Imam Khurasan itu.

Dikutip dari kitab tersebut bahwa suatu hari, Imam Hatim Al-Asham ditanya oleh sahabatnya, Syaqiq al-Balkhi. “Engkau telah bersahabat denganku selama 30 tahun, apa yang engkau dapatkan selama ini?” tanya Syaqiq. “Aku telah mendapatkan 8 faidah(hikmah) dari ilmu tercukupi untukku, karena aku mengharapkan keselamatanku pada 8 faidah tersebut ,” jawab Imam Hatim. Maka Syaqiq bertanya, “Apa faidah-faidah itu?”. Lalu beliau menjawab:

(faidah pertama): “Kuamati kehidupan manusia, kudapati setiap manusia memiliki kecintaan dan kesayangan. Dari beberapa kecintaannya itu, ada yang menemaninya sampai pada sakit yang menyebabkan kematiannya, dan ada yang mengantarnya sampai ke pekuburan. Setelah itu mereka semua pergi meninggalkannya seorang diri, tidak ada satu pun orang yang bersedia masuk ke dalam kubur menemaninya. Kurenungkan hal ini lalu kukatakan: "Sebaik-baik kecintaan adalah yang mau menemani seseorang di dalam kubur dan menghiburnya. Aku tidak mendapatkan yang demikian itu kecuali amal saleh". Oleh karena itu, kujadikan amal saleh sebagai kecintaanku agar dapat menjadi pelita kuburku, menghiburku di dalamnya, dan tidak akan meninggalkanku seorang diri.”

Dalam renungan tasawuf beliau tersebut, dapat dikatakan bahwa beliau berpegang terhadap sikap kezuhudan yang menafikan cintanya kepada apapun selain amal-amal shaleh. Oleh karenanya, renungan ini memberikan kita suatu point bahwasannya setiap yang kita miliki mau berupa harta, tahta, permata, bahkan keluarga pun akan meninggalkan kita, maka siapa yang bisa menemani kita saat kita wafat nanti? Dia adalah Amal Shaleh.

(faidah kedua): “Kuperhatikan bahwa manusia selalu mengikuti hawa nafsunya, dan bersegera dalam memenuhi keinginan nafsunya. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya)."(QS an-Nazi'at: 40-41). Aku yakin bahwa Al-Qur'an adalah haq dan benar, maka aku bersegera menentang hawa nafsuku dan menyiapkan diri untuk memeranginya. Tidak sekali pun aku ikuti kehendaknya sampai akhirnya ia tunduk dan taat kepada Allah.”

Definisi hawa nafsu sendiri adalah substansi jiwa manusia yang tidak dapat dihilangkan, melainkan dapat dikendalikan dan diarahkan. Esensi hawa nafsu itu sendiri adalah netral. Maka, komparasi yang direnungkan oleh Imam Hatim al-Asham yang melandaskan segala renungannya dengan ayat al-Quran lalu menjadikan ayat itu sebagai kontradiksi dari fakta yang terjadi saat itu merupakan bentuk pemikiran tasawuf yang ideal. Bentuk kepercayaan dan penghambaan yang sangat sederhana, namun memiliki makna yang sangat dalam. Seperti mengisyaratkan kita bahwa jika kita benar-benar memiliki kepercayaan yang mutlak kepada Allah Ta’ala, maka tidak ada jalan selain menghamba kepada-Nya dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.

(faidah ketiga): “Aku melihat setiap orang berusaha mencari harta dan kesenangan duniawi, kemudian menggenggamnya erat-erat. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah kekal". (QS. an-Nahl: 96). Karena itu, kubagi-bagikan dengan ikhlas penghasilanku kepada kaum fakir miskin agar menjadi simpananku kelak disisi-Nya.”

Dalam faidah ini, sang imam Khurasan itu mengkomparasikan ambisi manusia terhadap duniawi dengan kenyataan mutlak dari firman Allah SWT. Bahwa segiat apapun manusia dalam meraih ambisi duniawinya dan sebanyak apapun sesuatu yang diperolehnya, tetap tidak akan berguna di sisi Allah Ta’ala. Karena Allah mampu dengan mudah melenyapkan apapun yang dimiliki oleh manusia. Maka untuk apa manusia mati-matian mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati.    

(faidah keempat): “Kuperhatikan sebagaian manusia beranggapan bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pengikut dan famili, lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Yang lain mengatakan terletak pada harta yang melimpah dan anak yang banyak, lalu mereka bermegah-megah dengannya. Sebagian yang lain mengira terletak dalam merampok harta orang lain, menzalimi dan menumpahkan darah mereka. Dan sebagian lagi menyakini bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak dalam menghambur-hamburkan dan memboroskan harta. Aku lalu merenungkan wahyu Allah Ta’ala: "...sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian." (QS al-Hujurat: 13). Lalu kupilih taqwa karena aku yakin bahwa Qur’an itu haq dan benar, sedang pemikiran dan pendapat mereka keliru dan dugaan mereka bathil.”

Standarisasi dari kemuliaan manusia yang bahkan sampai saat ini masih kerap kita temukan adalah materi. Kaum-kaum materialis yang gila akan pengikut dan harta. Maka Allah Ta’ala telah menegaskan dengan memberikan standarisasi dari kemuliaan di sisi-Nya adalah ia yang paling bertakwa. Bukan yang paling banyak hartanya atau pengikutnya, atau bukan juga pada orang-orang yang sengaja flexing dirinya agar ribuan orang yang lain mengetahui kemegahannya. Maka Imam Hatim al-Asham memilih al-Quran sebagai landasan kepercayaannya dan mengingkari pendapat orang-orang tersebut.

(faidah kelima): “Kuperhatikan manusia sering saling menghina dan bergunjing (ghibah). Perbuatan buruk itu ditimbulkan oleh perasaan dengki (hasad) sehubungan dengan harta, kedudukan, dan ilmu. Kemudian kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "...Kami telah menentukan pembagian nafkah hidup di antara mereka dalam kehidupan dunia.." (QS az-Zukhruf: 32). Maka tahulah aku, bahwa pembagian itu telah ditentukan oleh Allah sejak di alam azali. Oleh karena itu, aku tidak boleh mendengki siapa pun dan harus ridha dengan pembagian yang telah diatur oleh Allah Ta’ala.

Iri dengki merupakan satu penyakit hati yang memiliki dampak buruk terhadap pelakunya. Sejarah membuktikan bahwa hampir seluruh konflik yang terjadi, sebab pertamanya karena adanya kedengkian yang melekat di hati. Maka renungan Imam Hatim tentang hal ini yang beliau komparasikan dengan ayat tersebut membuka kembali mata hati kita untuk ridha dengan apa yang sudah Allah Ta’ala tentukan.

(faidah keenam): “Kuperhatikan manusia saling bermusuhan satu dengan lainnya karena berbagai sebab dan tujuan. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka anggaplah ia musuh (kalian)... " (QS Fathir: 6). Maka sadarlah aku, bahwa aku tidak boleh memusuhi siapa pun kecuali setan.”

Berangkat dari faidah sebelumnya bahwa Ketika seseorang merasa dengki atau penyakit hati yang lain, maka sudah dapat dipastikan bahwa syaitanlah yang membisikkan perasaan tersebut. Maka Imam Hatim telah mengingatkan umat dengan klaim Allah bahwa syaitan adalah musuh bagi para manusia dan pada hakikatnya syaitan lah musuh nyata untuk manusia, bukan manusia yang lain, bahkan saudaranya sendiri.

(faidah ketujuh): “Kuperhatikan setiap orang berusaha keras dan berlebihan dalam mencari makan dan nafkah hidup dengan cara yang menyebabkan mereka terjerumus dalam perkara yang syubhat dan haram, juga dengan cara yang dapat menghinakan diri dan mengurangi kehormatannya. Lalu kerunungkan wahyu Allah Ta’ala: "Dan tidak ada satu binatang melatapun di bumi ini melainkan Allah-lah yang menanggung rezekinya." (QS Hud :6). Maka sadarlah aku, bahwa sesungguhnya rezeki ada di tangan Allah Ta’ala, dan Ia telah memberikan jaminan. Oleh karena itu, aku lalu menyibukkan diri dengan ibadah dan tidak meletakkan harapan pada selain-Nya.”

Jaminan Allah Ta’ala tentang rezeki sudah sangat ditegaskan pada ayat tersebut. Secara semantik Bahasa Arab, apabila ada kalimat yang memiliki unsur penafian (an-nafyu) dan pengecualian (al-istitsna), maka memiliki makna pengkhususan (al-qashru). Allah bermaksud untuk mengkhususkan setiap makhluknya di muka bumi ini dengan tanggungan rezeki dari Allah langsung. Maka Allah Ta’ala sendirilah yang menyematkan makhluknya dengan rezeki yang ia peroleh dari Allah tersebut. Maka apa masih pantas seorang hamba mengorbankan harga diri, kehormatan, bahkan keimanannya padahal Allah sudah memberikan tanggungan atas hal itu?

(faidah kedelapan): “Kuperhatikan sebagian orang yang menyandarkan diri pada benda-benda buatan manusia, sebagian orang bergantung pada dinar dan dirham, sebagian pada harta dan kekuasaan, sebagian pada kerajinan dan industri, dan sebagian lagi pada sesama makhluk. Lalu kurenungkan wahyu Allah Ta'ala: "....dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Ia akan mencukupi (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi segala sesuatu." (QS at-Thalaq: 3). Maka aku pun lalu bertawakal kepada Allah Ta’ala dan mencukupkan diri dengan-Nya, karena Ia adalah sebaik-baik Dzat yang bisa kupercaya untuk mengurus dan melindungi semua kepentinganku.”

Maka pada puncak faidahnya, Imam Hatim al-Asham meletakkan kezuhudannya yang sangat luar biasa dimana banyak manusia yang mungkin ia sudah ridha dengan ketetapan Allah, tapi tidak bisa luput dari sandaran hidupnya yang masih mengandalkan harta dan jabatan. Ini menjadi puncak tasawuf Imam Hatim yang mengkomparasikan latar belakang masalah tadi dengan seruan Allah untuk tawakkal dan berserah diri. Apakah pantas seorang manusia menyandarkan sesuatu kepada selain Allah jika ternyata yang selama ini menjadi sandaran mutlaknya adalah Allah Ta’ala? Maka ini menjadi tamparan untuk semua manusia.  

Kesimpulannya, sikap tasawuf Imam Hatim al-Asham sangat sederhana menjadikan al-Quran sebagai landasan sentral untuk membongkar kedok orang-orang munafik atau orang-orang yang sedang tersesat dan jauh dari Allah Ta’ala. Beliau sering mengkomparasikan keresehan-keresehan yang beliau renungi terhadap ayat-ayat Allah yang secara definitif mampu memberikan jawaban yang esensial. Karena agama Islam adalah agama yang komprehensif (syumul). Dengan demikian, penting bagi kita semua untuk bisa meneladani sikap tasawuf beliau yang sederhana namun sangat mandalam dan menyentuh qalbu nurani kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun