Mohon tunggu...
Mufid Salim
Mufid Salim Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Komunikasi

Menulis Apa yang Dipelajari

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Tips Menyelaraskan Hati Kita dan Pasangan

17 Desember 2021   15:01 Diperbarui: 19 Desember 2021   15:15 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Yang, kenapa kamu selalu mendukung setiap keputusan yang aku buat? Apa yang membuatmu percaya?" tanya istri suatu hari.

"Hmm... Nggak tahu juga alasannya apa. Tapi mungkin berdasarkan berbagai literatur yang aku pelajari dan perjalanan pernikahan kita, secara umum ada 4 (empat) variabel yang coba aku pegang, ketika mendukung kegiatan atau keputusanmu," jawab saya mencoba merengkuh cuplikan memori.

Seberapa Jauh Kita Mengenalnya

Yang pertama, ketika kita tidak mencoba yakin dengan tindakan atau keputusan pasangan, bisa jadi itu indikator kita belum mengenal pribadi dia seutuhnya. 

Walau sebelum menikah, kita sudah merasa mengenal pasangan, dan mantap memutuskan melangkah lebih jauh. Setelah masa romansa bulan madu berakhir, kita merasa pasangan mulai berubah.

Kenyataannya, ia tidak berubah. Hanya kepribadiannya yang utuh mulai muncul. Yang selama ini tertutupi karena ia berusaha mendapatkan hati dan perhatian kita. Ngobrolin berbagai hal secara terbuka ternyata dibutuhkan tidak hanya saat sebelum menikah, namun setiap hari setelah menikah. 

Semua hal setelah menikah, memang harus didiskusikan dan diputuskan berdua. Dari sana lah proses kita mengenal pasangan, cara berfikirnya, hal yang ia rasa nyaman, ataupun membuatnya tidak.

Hak untuk Bertumbuh

Yang kedua, ketika kita terlalu protektif dengan pasangan, bisa jadi itu indikator kita belum memahami kebiasaan-kebiasaan dia sepenuhnya. 

Belajar dari momen ketika harus WFH, ketika harus tinggal di rumah, 24 jam dan 7 hari penuh, kita terkaget-kaget dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak kita sadari, saat masing-masing kita sibuk dengan rutinitas harian.

Sebagai individu, pasangan punya hak untuk bertumbuh dan mencari tahu apa yang terbaik buat dirinya. Ternyata memberi ruang sendiri untuk pasangan itu perlu.

Jadilah, ada momen di mana kami bergantian mengurus anak, agar pasangan bisa fokus belajar hal baru, memanjakan diri dengan perawatan, atau sekedar agar bisa istirahat nyenyak setelah hari yang melelahkan.

Kebutuhan yang Bersemayam
Ketiga, ketika pada akhirnya di tengah perjalanan sebagai pasangan, kita mendapati dia bersama orang lain. Cemburu, marah, dan menyalahkan pasangan adalah hal yang umumnya diambil orang kebanyakan. 

Namun, jika mau bersikap lebih bijak, bisa jadi itu indikator bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita penuhi, dan pasangan kita menemukan hal-hal tersebut pada orang lain.

Bisa jadi, kita terlalu fokus pada satu hal yang kita anggap paling dibutuhkan oleh pasangan. Namun, kita lupa mendengarkan, apa yang sesungguhnya yang ia butuhkan dari kita. Jangan sampai sih, hal yang pasangan paling butuhkan justru didapat dari orang lain.

Mungkin sebenarnya, menikah dan hidup bersama itu proses belajar kita untuk mengenal pasangan, yang pasangan kita juga adalah pribadi yang bertumbuh dan punya hak untuk jadi versi terbaik dari dirinya.

Trauma Masa Lalu

Selama perjalanan pernikahan ini, kita sama-sama belajar, bahwa setiap orang itu adalah akumulasi dari pengalaman-pengalaman yang menyertainya sejak kecil. Pengalaman-pengalaman tersebut yang membentuk cara kita berfikir, bertindak, maupun meyikapi sesuatu.

Namun, ada sisi jiwa kanak-kanak (inner child) kita yang akan terus terbawa sampai kita dewasa. Pengalaman saat kecil, akan menjadi bagian dari diri kita. Trauma masa kecil, apa pun itu, akan membekas dalam diri kita.

Sebagai pasangan, kita punya peran untuk membuka inner child dari pasangan. Ada trauma apa yang membekas dalam dirinya  saat kecil, yang kemudian mempengaruhinya hingga dewasa, tanpa disadarinya.

"Jadi, setiap kamu cerita tentang kegiatan ataupun keputusanmu, aku bakal nanya, apa kamu yakin dengan itu?

Apa konsekuensi dari keputusan siap kita tanggung berdua? Apa kita satu suara? Apa kita bakal saling menguatkan?"

"Selama semuanya oke, apa pun itu, maju terus sih, ambil opportunity yang datang, toh melalui kamu atau aku, itu adalah rezeki kita, rezeki anak-anak kita," jawab saya sambil mematikan lampu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun