Pagi ini aku terbangun dari tidurku. Tak banyak yang ku lakukan. Hanya aktivitas yang biasa setiap harinya. Sholat subuh seperti biasa. Mengaji seperti biasa. Membaca buku seperti biasa. Mendengarkan lagu seperti biasa. Mandi seperti biasa. Ayam-ayam berkokok seperti biasa. Matahari pun terbit seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Aktivitas yang sama setiap waktunya. Yang berbeda adalah, hari ini usiaku berkurang satu tahun. Tak terasa sebentar lagi, usiaku akan mencapai seperempat abad. Ah, mengapa semua terasa cepat?  Aku masih ingat, ketika pertama kali belajar menggunakan sepeda dibantu Ayahku. Aku masih ingat, ketika mendaftar di bangku Sekolah Dasar bersama Ibuku. Aku masih ingat, ketika pertama kalinya dalam hidup meninggalkan kampung halaman, untuk belajar di sebuah Pondok nun jauh di rantauan. Aku masih ingat, ketika mendaftar masuk kuliah di kota Apel. Namun akhirnya tak berhasil ku selesaikan. Dan aku pun masih ingat, ketika kembali mencoba peruntungan untuk belajar di kota pelajar. Semuanya aku ingat dengan sangat jelas. Tapi ada satu hal yang hingga kini belum mampu ku ingat dengan jelas. Aku masih belum bisa mengingat, apa tujuanku terlahir ke dunia ini? Aku masih belum bisa mengingat, atas dasar alasan apa aku bisa tumbuh dan besar hingga kini? Aku masih belum bisa mengingat, atas pertimbangan apa aku dapat melewati setiap tahap dalam hidup yang aku masih ingat dengan jelas? Aku benar-benar tak mampu mengingatnya. Aku bertanya pada banyak orang yang ku temui. Untuk alasan apa kamu hidup? Untuk alasan apa anda hidup? Untuk alasan apa saudara hidup? Untuk alasan apa Bapak hidup? Untuk  alasan apa Ibu hidup? Dan ku temukan bepuluh-puluh jawaban. Kata mereka, hidup untuk mencari kekayaan. Hidup untuk mencari kejayaan. Hidup untuk mencari ketenaran. Hidup untuk mencari kedudukan. Hidup untuk mencari kekuasaan. Hidup untuk memenuhi keinginan. Hidup untuk kepuasan, nafsu duniawi ataupun nikmat surgawi. Yeah, entahlah. Apakah mereka itu sudah benar – benar menemukan jawaban untuk pertanyaanku. Atau mungkin jawaban-jawaban itu, hanya untuk menutupi ketidaktahuan mereka akan pertanyaanku. Entahlah… Samar-samar aku teringat suatu hari saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah menjemputku secara tiba-tiba. Membawa kabar yang tak pernah ku duga. Kakekku tercinta telah pergi ke pangkuan Sang Kuasa. Innalillah wa inna ilaihi raji’un. Namun, bayangan yang muncul saat ini bukanlah kesedihanku kala itu. Bayangan yang muncul saat ini adalah ketakjubanku kala melihat penuh sesaknya pelayat yang datang. Dari tenda didirikan hingga kakek dihantar ke peristirahatan terakhirnya. Mungkin ada sekitar seribu orang hadir hari itu. Dalam hati aku bertanya, apa yang membuat kakek begitu istimewa bagi mereka? Kakek memang dikenal sebagai sebagai Tuan Guru atau Kyai di daerahku. Beliau punya murid banyak. Dari petani hingga gubernur. Dari remaja hingga orang tua. Perempuan dan laki-laki, silih berganti datang ke rumah untuk belajar mengaji. Beliau tak pelit ilmu. Bahkan membuka majelis untuk mereka yang haus akan ilmu.  Kakek juga dikenal pandai menjaga silaturahmi. Berkeliling ke rumah tetangga-tetangga, teman-teman, murid-murid dan guru-guru adalah aktivitas yang sering beliau lakoni. Sesaat kemudian, tampak benang merah dari lamunanku. Samar-samar ku terngiang bait-baik kecil sebuah syair Arab. Syair yang dulu guruku senang membacakannya.
Waladatka ummuka yabna adama bakiyan
Wannaasu haulaka yadhhakuuna suruura
fajhad linafsika an takuuna idza bakau
liyaumi mautika dhahikan masruura
Wahai anak adam,
Engkau dilahirkan dalam keadaan menangis oleh ibumu
Dan manusia di sekitarmu tertawa bahagia menyambutmu
Berbuatlah kebajikan, agar saat kematian menjemputmu
Manusia di sekitarmu menangis menghantarkanmu
Dan engkau pergi dengan gembira penuh haru
. . .
Aku tersadar, sesungguhnya kakekku telah siap menyambut panggilan Sang Pencipta. Beliau dengan sangat baik menyiapkan kematiannya. Beliau menyiapkan kematian yang mulia. Kematian adalah sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri. Tapi dalam hidup, menjadi satu-satunya hal yang pasti terjadi. Aku pun takut mati. Tapi tak mungkin kuhindari. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menyiapkan diri. Agar aku tak sendiri saat mati. Aku harus berusaha agar saat Izrail datang, orang-orang sukarela datang menghampiri. Menghantarkan tubuh ini, kembali ke peristirahatannya yang abadi. Dan kini aku mampu mengingat, apa tujuanku terlahir ke dunia ini. Aku lahir lalu hidup untuk mempersiapkan mati. (Mufid)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H