Mohon tunggu...
Mufid Nur Hasyim
Mufid Nur Hasyim Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buntut Kasus Ahok, Indonesia Terancam Perang Nuklir?

14 Mei 2017   12:44 Diperbarui: 14 Mei 2017   12:58 3148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi ledakan nuklir (foto: jagatplay.com)"][/caption]

Oleh @Mufid_NH

 

Memetika dan Perang Terminologi

Sebagai buntut atas kasus Ahok, Indonesia kini terancam tergiring kepada perang nuklir. Mungkin perang nuklir judul yang mengerikan, namun, mengingat kondisi negara Indonesia yang sangat kacau belakangan, pasca kasus Ahok, agaknya apapun dapat terjadi tanpa diduga, bahkan hingga peran nuklir. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi bagaimana Indonesia akan mengalami perang nuklir. Namun, sebelumnya saya ingin berbagi mengenai dua teori: Memetika dan Perang Terminologi.

Para pakar yang ahli dalam menciptakan tren, selain pandai dalam berstrategi, Ia juga memiliki keahlian dalam ilmu Meme atau Memetika. Apa itu Memetika? Memetika adalah ilmu atau seni tentang ide atau pemikiran di dalam pikiran manusia. Dalam ilmu budaya, Memetika digunakan untuk menjelaskan persebaran ide atau pemikiran di tengah masyarakat.

Bagaimana caranya? Buku The Art of Memetics, karya Edward Wilson dan Wes Unruh, menjelaskan cara menularkan ide atau pemikiran adalah dengan lebih dahulu memetaforakan ide atau pemikiran tersebut sebagai makhluk hidup. Dalam buku tersebut, ide atau pemikiran manusia dimetaforakan sebagai virus, dengan segala sifatnya: menular/menyebar, membutuhkan inang, dorman, memiliki capsid, dan sebagainya. Dalam sosial media kita mengenal kata 'viral' atau menyebar. Kata ini juga berakar dari ilmu Memetika.

Berikutnya adalah Perang Terminologi. Apa itu Perang Terminologi? Perang Terminologi adalah perang klaim atas definisi suatu istilah. Seseorang atau sekelompok yang telah berhasil mengklaim sebuah terminologi atau istilah, maka Ia akan mendapatkan kuasa besar untuk bertindak atau menindak. Inilah tujuan Perang Terminologi. Contoh nyata Perang Terminologi adalah Amerika Serikat (AS) dalam episode Perang Melawan Terorisme. Sebelum berperang secara fisik di beberapa negara di Timur Tengah, mereka telah memenangkan medan Perang Terminologi. AS mengklaim dan mendefinisikan 'terorisme' sesuai keinginan dan kepentingan mereka.

Klaim atas definisi 'terorisme' tersebut memberikan AS 'kekuasaan moral' untuk menyerang negara lain, tanpa takut bersalah atau dipersalahkan oleh dunia internasional. Hal itu terjadi karena secara moral AS telah unggul. AS menguasai secara total terminologi terorisme, dan dunia internasional sepakat. Konsekuensinya, negara yang telah diserang dengan terma terorisme akan menjadi negara lemah secara moral —atau musuh bersama, seperti Irak dan Afghanistan, sehingga buruk citranya di mata dunia internasional dan lemah posisinya untuk membela diri.

 

Perang Nuklir Digital

Saya rasa sudah jelas apa itu Memetika dan Perang Terminologi. Lalu apa hubungan antara Memetika dan Perang Terminologi? Melalui Memetika saya memetaforakan Perang Terminologi sebagai 'Perang Nuklir'-nya Perang Media. Metafora ini saya akui tidak sepenuhnya tepat. Namun, sebagaimana perang nuklir adalah puncak dari perang dunia (konvensional), Perang Terminologi adalah puncaknya Perang Media. Dampak kerusakan yang amat besar dalam perang nuklir juga terjadi dalam Perang Terminologi.

Saya menggambarkannya sebagai berikut: ketika bom dijatuhkan, terjadi reaksi nuklir super cepat, kilatan sinar radiasi berbahaya, menimbulkan panas dan tekanan yang luar biasa, lalu berakhir dengan kerusakan dahsyat yang tidak terkendali. Dalam Perang Terminologi, sekali suatu terminologi berhasil diklaim (dimonopoli) dan didefiniskan ulang oleh suatu pihak, kemudian berhasil disebarkan kepada massa dan diterima, ibarat reaksi nuklir, akan terjadi dampak yang luar biasa. Jika terminologi tersebut diarahkan pada kebaikan, maka akan muncul kemafaatan besar, atau sebaliknya memunculkan kerusakan besar.

Tentu saja praktik Perang Terminologi tidak sesederhana metafora diatas. Dana Perang Terminologi sangat mahal, karena melibatkan berbagai instrumen fisik maupun non-fisik. Instrumen fisik meliputi media maisntream, media sosial, hingga perangkat teknologi komunikasi termutakhir. Instrumen non-fisik melibatkan berbagai strategi dan metode penyebaran isu, pembentukan opini, persuasi, dan pengaruh seperti: mass-brainwash atau yang disebut oleh Joost A.M Meerloo sebagai Menticide (kontrol pikiran), pseudo-event (peristiwa palsu/rekayasa/HOAX), hingga figur yang mampu dan memiliki otoritas yang kuat (misal: Presiden Amerika, George Bush, dalam kasus Perang Terminologi terorisme).

Perang Terminologi melahirkan meme atau ide baru. Sejak perang melawan terorisme (salah satu Perang Terminologi) digaungkan oleh AS, meme terorisme menyebar dan berkomplikasi sehingga memunculkan meme yang baru tentang kecurigaan, ketakutan dan keamanan. Meme-meme tersebut mengendalikan manusia. Ada seseorang yang semula Ia tidak masalah terhadap jenggot, akibat tertular meme kecurigaan Ia menjadi anti jenggot. Meme ketakutan dan keamanan berikutnya banyak menguntungkan perusahaan keamanan, dengan meningkatnya pendapatan dari jasa keamanan dan penjualan alat keamanan.

 

Perang Nuklir di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang terdampak Perang Terminologi atau 'perang nuklir'. Beberapa meme atau ide yang lahir dari Perang Terminologi dunia Internasional masuk ke Indonesia, misalnya Terorisme, LGBT, dan lainnya. Meme-meme tersebut kemudian mendatangkan berbagai problem politik, sosial, hingga ekonomi.

Belakangan, setelah peristiwa Ahok mencuat, saya khawatir Perang Terminologi di Indonesia meletus. Dan kekhawatiran saya semakin memuncak ketika muncul perebutan terminologi Pancasila, Bhinneka, toleransi, radikal, dan sebagainya. Ada kubu yang bertikai di Indonesia yang memanfaatkan Pancasila dan mengaku kubunya paling Pancasilais, sedangkan kubu lawannya tidak. Tujuan tindakan tersebut tampak sama persis seperti tujuan Perang Terminologi yakni memberikan keunggulan posisi, kuasa moral, hingga kuasa tindakan.

Mungkin ada yang menyederhanakan dengan menganggap perebutan terminologi tersebut hanya sekadar name-calling (pelabelan buruk/stigma, dalam ilmu propaganda, misal: radikalis, anti-pancasila, dsb). Namun, saya menganggap itu lebih dari sekadar name-calling, karena dampaknya yang liar dan besar. Pancasila, Bhinneka dan toleransi adalah 'terminologi sakral' yang mengandung kekuatan moral dan legitimasi yang luar biasa di Indonesia. Klaim sepihak atas Pancasila, Bhinneka, dan toleransi ini bila dibiarkan semakin mempolarisasi masyarakat, dan tidak akan mungkin ditemukan ujung penyelesaiannya, karena masing-masing pihak merasa dirinya paling bermoral dan paling legitimatif. Apabila kubu yang mengklaim ini mendapatkan legitimasi dan otoritas berupa 'kekuasaan', maka yang muncul adalah kekuasaan yang otoriter bahkan totaliter.

Saya tidak tahu persis siapa aktor intelektual yang akan/sedang mendalangi Perang Terminologi di Indonesia. Namun, kita dapat melihat kubu mana yang ditunggangi oleh aktor tersebut melalui tanda-tanda Perang Terminologi diatas. Namun, yang jelas aktor-aktor bayangan inilah yang paling diuntungkan dari Perang Terminologi ini, dan bangsa Indonesia yang dirugikan.

 

Konklusi

Perang Terminologi dalam dunia Perang Media berpotensi beralih menjadi perang fisik dalam dunia perang konvensional. Perang Dunia II yang telah kita saksikan bersama berawal dari Perang Terminologi. Bangsa Jerman menganggap diri mereka adalah Ras Aria, Ras yang paling unggul di dunia, yang ditandai dengan doktrin 'Deutsch Uber Alle'. Klaim dan definisi atas terminologi Ras Aria tersebut memberikan Jerman legitimasi dan kekuatan moral untuk menundukkan bangsa lain. Akhirnya, Perang Terminologi (Perang nuklirnya dunia Perang Media) yang mengawali Perang Dunia II tersebut, benar-benar diakhiri dengan ledakan nuklir (Bom Hiroshima dan Nagasaki.

Tragis sekali apabila sejarah yang terjadi pada Perang Dunia II, yang bermula dari Perang Terminologi yang mengerikan ini, terulang di Indonesia. Bangsa Indonesia sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari Perang Terminologi, apabila sudah benar-benar terjadi dan pecah menjadi perang fisik. Saya yakin kita semua sama sekali tidak mengharapkan itu. Oleh karena itu, bijaklah dalam bersikap dan telitilah dalam memihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun