Mohon tunggu...
Mufid Nur Hasyim
Mufid Nur Hasyim Mohon Tunggu... Novelis - Penulis lepas

Deep Contemplation On Strategy | PR & Strategy Consultant | Strategic Thinker

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buntut Kasus Ahok, Indonesia Terancam Perang Nuklir?

14 Mei 2017   12:44 Diperbarui: 14 Mei 2017   12:58 3148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya rasa sudah jelas apa itu Memetika dan Perang Terminologi. Lalu apa hubungan antara Memetika dan Perang Terminologi? Melalui Memetika saya memetaforakan Perang Terminologi sebagai 'Perang Nuklir'-nya Perang Media. Metafora ini saya akui tidak sepenuhnya tepat. Namun, sebagaimana perang nuklir adalah puncak dari perang dunia (konvensional), Perang Terminologi adalah puncaknya Perang Media. Dampak kerusakan yang amat besar dalam perang nuklir juga terjadi dalam Perang Terminologi.

Saya menggambarkannya sebagai berikut: ketika bom dijatuhkan, terjadi reaksi nuklir super cepat, kilatan sinar radiasi berbahaya, menimbulkan panas dan tekanan yang luar biasa, lalu berakhir dengan kerusakan dahsyat yang tidak terkendali. Dalam Perang Terminologi, sekali suatu terminologi berhasil diklaim (dimonopoli) dan didefiniskan ulang oleh suatu pihak, kemudian berhasil disebarkan kepada massa dan diterima, ibarat reaksi nuklir, akan terjadi dampak yang luar biasa. Jika terminologi tersebut diarahkan pada kebaikan, maka akan muncul kemafaatan besar, atau sebaliknya memunculkan kerusakan besar.

Tentu saja praktik Perang Terminologi tidak sesederhana metafora diatas. Dana Perang Terminologi sangat mahal, karena melibatkan berbagai instrumen fisik maupun non-fisik. Instrumen fisik meliputi media maisntream, media sosial, hingga perangkat teknologi komunikasi termutakhir. Instrumen non-fisik melibatkan berbagai strategi dan metode penyebaran isu, pembentukan opini, persuasi, dan pengaruh seperti: mass-brainwash atau yang disebut oleh Joost A.M Meerloo sebagai Menticide (kontrol pikiran), pseudo-event (peristiwa palsu/rekayasa/HOAX), hingga figur yang mampu dan memiliki otoritas yang kuat (misal: Presiden Amerika, George Bush, dalam kasus Perang Terminologi terorisme).

Perang Terminologi melahirkan meme atau ide baru. Sejak perang melawan terorisme (salah satu Perang Terminologi) digaungkan oleh AS, meme terorisme menyebar dan berkomplikasi sehingga memunculkan meme yang baru tentang kecurigaan, ketakutan dan keamanan. Meme-meme tersebut mengendalikan manusia. Ada seseorang yang semula Ia tidak masalah terhadap jenggot, akibat tertular meme kecurigaan Ia menjadi anti jenggot. Meme ketakutan dan keamanan berikutnya banyak menguntungkan perusahaan keamanan, dengan meningkatnya pendapatan dari jasa keamanan dan penjualan alat keamanan.

 

Perang Nuklir di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang terdampak Perang Terminologi atau 'perang nuklir'. Beberapa meme atau ide yang lahir dari Perang Terminologi dunia Internasional masuk ke Indonesia, misalnya Terorisme, LGBT, dan lainnya. Meme-meme tersebut kemudian mendatangkan berbagai problem politik, sosial, hingga ekonomi.

Belakangan, setelah peristiwa Ahok mencuat, saya khawatir Perang Terminologi di Indonesia meletus. Dan kekhawatiran saya semakin memuncak ketika muncul perebutan terminologi Pancasila, Bhinneka, toleransi, radikal, dan sebagainya. Ada kubu yang bertikai di Indonesia yang memanfaatkan Pancasila dan mengaku kubunya paling Pancasilais, sedangkan kubu lawannya tidak. Tujuan tindakan tersebut tampak sama persis seperti tujuan Perang Terminologi yakni memberikan keunggulan posisi, kuasa moral, hingga kuasa tindakan.

Mungkin ada yang menyederhanakan dengan menganggap perebutan terminologi tersebut hanya sekadar name-calling (pelabelan buruk/stigma, dalam ilmu propaganda, misal: radikalis, anti-pancasila, dsb). Namun, saya menganggap itu lebih dari sekadar name-calling, karena dampaknya yang liar dan besar. Pancasila, Bhinneka dan toleransi adalah 'terminologi sakral' yang mengandung kekuatan moral dan legitimasi yang luar biasa di Indonesia. Klaim sepihak atas Pancasila, Bhinneka, dan toleransi ini bila dibiarkan semakin mempolarisasi masyarakat, dan tidak akan mungkin ditemukan ujung penyelesaiannya, karena masing-masing pihak merasa dirinya paling bermoral dan paling legitimatif. Apabila kubu yang mengklaim ini mendapatkan legitimasi dan otoritas berupa 'kekuasaan', maka yang muncul adalah kekuasaan yang otoriter bahkan totaliter.

Saya tidak tahu persis siapa aktor intelektual yang akan/sedang mendalangi Perang Terminologi di Indonesia. Namun, kita dapat melihat kubu mana yang ditunggangi oleh aktor tersebut melalui tanda-tanda Perang Terminologi diatas. Namun, yang jelas aktor-aktor bayangan inilah yang paling diuntungkan dari Perang Terminologi ini, dan bangsa Indonesia yang dirugikan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun