Mohon tunggu...
Cerpen

-Tanpa Judul-

12 April 2016   11:59 Diperbarui: 12 April 2016   12:13 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“drrtt..drrt..”. Ponselku bergetar, sejenak menghentikan tangisanku. Kulihat layarnya yang sudah mulai kusam. SMS, dari Yoka, temanku, oh bukan, dia sahabatku. Satu-satunya.

“Mut, loe tau gak, yang namanya Mutia Tri Gunawan hari ini ulang tahun loh, titip salam ke dia ya. Selamat ulang tahun, bilang kedia tolong jangan suka nangis lagi, semoga dia menjadi wanita yang kuat. :))”

Senyum terkembang dibibirku. Hanya sebentar, lalu hilang tergantikan tangisan lagi, lagi dan lagi. Tak ada niatan untuk membalasnya. Dia hanya seorang Yoka, yang hanya bisa memberi kabar dari dunia maya, sahabat yang hanya kutau wajahnya saat aku berumur 10 tahun. Lalu dia hilang, tepatnya menghilangkan tubuhnya, menghilangkan raganya. Dia hanya seperti bayangan yang mengikutiku. Tapi setidaknya hanya dia satu-satunya orang yang mengingat ulang tahunku. Dalam diamku aku sesak nafas mengingatnya, jantungku berdebar. Ah, yasudahlah, dia hanya Yoka.

Pagi harinya aku menerima paket yang cukup besar dari tukang pos yang sebelumnya kutau ia menanyakan alamat ini kepada tetanggaku. Entah apa isinya, aku belum mau membukanya. Aku hanya membawanya ke kamarku, meletakkannya di pojokan yang kosong.

 Tiba-tiba bel berbunyi, akupun melangkah menuju pintu, seorang yang tinggi dan gagah memakai setelan jas yang kelihatan sangat mahal dengan kacamata hitamnya berdiri tegak melihat sekitar. Kubukakan pintunya dengan setengah hati. Melihatnya saja aku sudah muak, untuk apa ia kesini, apa yang diinginkannya dari gadis yang tak memiliki apa-apa ini.

“apa kabar, Mut?” sapaan yang menjengkelkan menurutku

“ada apa Ayah kesini?” gerutuku, tak menatapnya

“Boleh Ayah masuk?”

“untuk apa?” . heningpun tercipta, kami hanya terdiam. Akhirnya aku persilahkan ia masuk, dan duduk di kursi yang mungkin baginya sangat tidak nyaman. Dia menatapku dengan senyuman kecil.

“kau sudah besar Nak” aku hanya menganggukkan kepalaku.

“kau tau, dulu mamamu juga secantik dirimu saat usianya seperti kamu sekarang, berapa usiamu sekarang?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun