Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Bukan) Matahari

29 Agustus 2022   09:37 Diperbarui: 29 Agustus 2022   09:58 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Masih ingat kata ustaz di pengajian waktu itu?" tanyamu sambil menatap sahabatmu satu persatu. Ketiga sahabatmu menggeleng, sedih melihatmu menangis.

"Cara Allah menyayangimu bukan dengan meringankan masalahmu, tapi dengan menguatkan jiwamu sehingga sehebat apapun masalahmu kau tetap bertahan dan tak menyerah," ujarmu masih dengan linangan air mata.

"Cara Allah menyayangimu bukan dengan mengurangi beban yang kau pikul, tapi dengan mengokohkan pundakmu, sehingga kau mampu memikul amanah yang diberikan kepadamu," lanjutmu lagi. Seorang sahabat menyerahkan selembar tissu untuk menghapus air matamu.

"Tapi, Ka, kamu juga berhak melanjutkan hidupmu, setelah semua cobaan yang kamu alami." Sahabat yang tadi memberimu tissu menyanggah ucapanmu.

"Bener, tuh, Ka. Kamu juga harus sukses," timpal sahabatmu yang lebih banyak diam menyimak.

"Bukankah Ustaz bilang, cara Allah menyayangimu mungkin tidak dengan memudahkan jalanmu menuju sukses, tapi dengan kesulitan yang kelak baru kau sadari bahwa kesulitan itu yang akan membuatmu semakin berkesan dan istimewa." Kamu tersenyum tipis, meski kami semua--para sahabatmu merasa perih dengan semua ketegaran yang susah payah kau tegakkan.

"Jangan pernah menyerah di tengah ujian karena jalan masih panjang, dan kau pun tak pernah tahu langkah mana yang kan membawamu pada puncak keberhasilan." Kamu berujar sambil tersenyum tipis.

"Ka, semoga perjuanganmu yang tanpa henti, yang berakhir dengan keikhlasan, akan lahir menjadi cahaya, sebagai hadiah terindah dari Allah," ujarku.

Setelah sore itu, kamu terlihat lebih sering termenung. Jika saja kamu mengizinkan, sahabat-sahabatmu ingin menegur anak lelakimu yang menurut kami sudah kelewat batas, sering membuatmu menangis. Namun, kamu dengan senyummu selalu berujar, "Doa seorang ibu lebih tajam dari pedang, doa ibu akan menembus langit. Biar Rabb-ku yang akan menyentuh qolbu anakku pada saatnya nanti."
 
Duhai Arunika, kalimatmu selalu membuat jiwa sahabat-sahabatmu bergetar dan turut meneteskan air mata. Masa yang berat untuk hati dan tungkai yang kuat. Jika masih ada tanya mengapa bukan orang lain ... semata karena Dia tahu bahwa kamu yang mampu. Saat ini tak apa jika harus berhias tangis, karena kerontangnya tanah lapang pun butuh siraman air langit agar tumbuh rumput untuk menjaganya agar tak terkikis.

Sahabat-sahabatmu tahu bahwa kamu lelah, tapi kamu tak pernah sedikitpun mengeluh apalagi menyerah. Kamu bukan saja diuji kesabaran oleh anakmu, masalah pekerjaan dan hubunganmu dengan atasan yang tampak baik-baik saja, tapi sesungguhnya tidak baik-baik saja itu cukup membuatmu harus mwnguntai ribuan doa di setiap  sujudmu. Namun, selalu sambil tersenyum kamu menggatakan, "Yakini bahwa beberapa luka tidak diciptakan untuk sembuh, tidak pula untuk menetap. Bersyukur pada takdir dengan penerimaan yang tulus, sungguh mengajari hati berbaik sangka itu Indah. Jika ia berakhir dengan keikhlasan, ia akan lahir menjadi cahaya, dan itu adalah hadiah terindah dari Allah."

Duhai Arunika, jika saja boleh meminta ... sahabat-sahabatmu ingin menjadi kamu sebentar saja. Agar bisa merasakan semua yang kamu rasakan, meski sahabat-sahabatmu sadar nggak akan bisa seperti kamu. Wanita hebat ... matahari bagi sahabat dan orang-orang yang kamu sayangi, meski sahabat-sahabatmu juga tahu sesungguhnya kamu lelah ... teramat lelah .... Sehebat dan sekuat apapun cintamu, kamu tetaplah punya hati yang bisa lelah dan patah. Meski cintamu seperti matahari, tapi kamu adalah Arunika ... wanita biasa yang punya sisi lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun