Orangtuamu pernah mengatakan bahwa arti dari namamu adalah Cahaya matahari. Mereka berharap kelak kamu akan tumbuh menjadi wanita yang memiliki cinta seperti matahari. Meskipun badai menghalangi cahayamu, tapi sinarmu tak pernah redup. Kelak jika badai berlalu, hangat sinarmu akan kembali menyapa bumi, mengantar harapan pada makhluk ciptaanNya.Nama adalah doa, dan Tuhan sepertinya mengijabah doa orang tuamu. Aku memang melihatmu seperti cahaya matahari. Selalu tersenyum dalam setiap keadaan meski kadang menyembunyikan luka. Kamu selalu ada buat orang lain meski letih memeluk ragamu. Kamu selalu berusaha membuat orang lain bahagia hingga lupa bagaimana caranya membahagiakan diri sendiri.Ketika ada sahabat yang mempertanyakan mengapa hidupnya selalu dirundung masalah, kamu akan tersenyum sambil mengelus pundaknya, "Hidup itu butuh masalah supaya kita punya kekuatan. Butuh pengorbanan supaya kita tahu cara bekerja keras. Butuh air mata supaya kita tahu merendahkan hati. Butuh dicela supaya kita tahu bagaimana cara menghargai."
Setelah itu sahabat yang berkeluh akan tersenyum, lalu memelukmu. Melihat sahabat yang kamu sayangi tersenyum, itulah kebahagiamu. Â
"Tertawalah jika itu membuatmu bahagia, karena hidup butuh tertawa supaya kita tahu mengucap syukur. Butuh senyum supaya tahu kita punya cinta," ujarmu lagi.
"Terima kasih, aku nggak tahu apa jadinya jika nggak ada kamu," ucap sahabatmu.
"Hidup itu butuh orang lain supaya tahu kita tidak sendiri. Dan itulah gunanya sahabat." Kamu memeluk sahabatmu sekali lagi sebelum meninggalkannya karena kamu harus pulang.
Sore itu anak lelaki pertamamu mengeluh tentang keluarganya. Kamu pernah cerita bahwa anak lelaki pertamamu selalu menjadi ujian kesabaranmu. Kamu sering mengadu pada Rabb-mu, ketika anak lelaki yang seharusnya menjadi sosok pengganti ayahnya yang telah berpulang untuk kedua adiknya, justru menjadi beban terberat meski dia sudah berkeluarga.
Kelakuan dan sikapnya sering membuatmu menangis. Entah apa yang telah ditorehkan lelaki yang lahir dari rahimmu itu hingga dia lupa bahwa surganya ada pada ibunya. Tak sepatutnya dia membuat ibunya menangis.
"Kamu terlalu sabar menghadapi dia," ujar sahabatmu.
"Jangan dikasih hati, dia bisa ngelunjak," timpalku, sahabatmu sejak kanak-kanak.
"Aku bersabar karena sesungguhnya Allah sedang menguji kesabaranku," jawabmu lugas.
"Tapi masalah anakmu itu nggak ringan, lho," tukas sahabat yang sudah kau anggap seperti saudara. Kamu cuma mengembuskan napas, dua kristal bening meloncat dari sudut matamu.
"Masih ingat kata ustaz di pengajian waktu itu?" tanyamu sambil menatap sahabatmu satu persatu. Ketiga sahabatmu menggeleng, sedih melihatmu menangis.
"Cara Allah menyayangimu bukan dengan meringankan masalahmu, tapi dengan menguatkan jiwamu sehingga sehebat apapun masalahmu kau tetap bertahan dan tak menyerah," ujarmu masih dengan linangan air mata.
"Cara Allah menyayangimu bukan dengan mengurangi beban yang kau pikul, tapi dengan mengokohkan pundakmu, sehingga kau mampu memikul amanah yang diberikan kepadamu," lanjutmu lagi. Seorang sahabat menyerahkan selembar tissu untuk menghapus air matamu.
"Tapi, Ka, kamu juga berhak melanjutkan hidupmu, setelah semua cobaan yang kamu alami." Sahabat yang tadi memberimu tissu menyanggah ucapanmu.
"Bener, tuh, Ka. Kamu juga harus sukses," timpal sahabatmu yang lebih banyak diam menyimak.
"Bukankah Ustaz bilang, cara Allah menyayangimu mungkin tidak dengan memudahkan jalanmu menuju sukses, tapi dengan kesulitan yang kelak baru kau sadari bahwa kesulitan itu yang akan membuatmu semakin berkesan dan istimewa." Kamu tersenyum tipis, meski kami semua--para sahabatmu merasa perih dengan semua ketegaran yang susah payah kau tegakkan.
"Jangan pernah menyerah di tengah ujian karena jalan masih panjang, dan kau pun tak pernah tahu langkah mana yang kan membawamu pada puncak keberhasilan." Kamu berujar sambil tersenyum tipis.
"Ka, semoga perjuanganmu yang tanpa henti, yang berakhir dengan keikhlasan, akan lahir menjadi cahaya, sebagai hadiah terindah dari Allah," ujarku.
Setelah sore itu, kamu terlihat lebih sering termenung. Jika saja kamu mengizinkan, sahabat-sahabatmu ingin menegur anak lelakimu yang menurut kami sudah kelewat batas, sering membuatmu menangis. Namun, kamu dengan senyummu selalu berujar, "Doa seorang ibu lebih tajam dari pedang, doa ibu akan menembus langit. Biar Rabb-ku yang akan menyentuh qolbu anakku pada saatnya nanti."
Â
Duhai Arunika, kalimatmu selalu membuat jiwa sahabat-sahabatmu bergetar dan turut meneteskan air mata. Masa yang berat untuk hati dan tungkai yang kuat. Jika masih ada tanya mengapa bukan orang lain ... semata karena Dia tahu bahwa kamu yang mampu. Saat ini tak apa jika harus berhias tangis, karena kerontangnya tanah lapang pun butuh siraman air langit agar tumbuh rumput untuk menjaganya agar tak terkikis.
Sahabat-sahabatmu tahu bahwa kamu lelah, tapi kamu tak pernah sedikitpun mengeluh apalagi menyerah. Kamu bukan saja diuji kesabaran oleh anakmu, masalah pekerjaan dan hubunganmu dengan atasan yang tampak baik-baik saja, tapi sesungguhnya tidak baik-baik saja itu cukup membuatmu harus mwnguntai ribuan doa di setiap  sujudmu. Namun, selalu sambil tersenyum kamu menggatakan, "Yakini bahwa beberapa luka tidak diciptakan untuk sembuh, tidak pula untuk menetap. Bersyukur pada takdir dengan penerimaan yang tulus, sungguh mengajari hati berbaik sangka itu Indah. Jika ia berakhir dengan keikhlasan, ia akan lahir menjadi cahaya, dan itu adalah hadiah terindah dari Allah."
Duhai Arunika, jika saja boleh meminta ... sahabat-sahabatmu ingin menjadi kamu sebentar saja. Agar bisa merasakan semua yang kamu rasakan, meski sahabat-sahabatmu sadar nggak akan bisa seperti kamu. Wanita hebat ... matahari bagi sahabat dan orang-orang yang kamu sayangi, meski sahabat-sahabatmu juga tahu sesungguhnya kamu lelah ... teramat lelah .... Sehebat dan sekuat apapun cintamu, kamu tetaplah punya hati yang bisa lelah dan patah. Meski cintamu seperti matahari, tapi kamu adalah Arunika ... wanita biasa yang punya sisi lemah.
Sidoarjo, 29 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H