Kata-kata itu yang membuatku termotivasi untuk tidak menyerah, padahal nafas ini serasa sudah di ujung tenggorokan. Namun, aku bersyukur, mereka yang sering mendaki gunung, tetapi tetap bersedia menungguku yang tidak sekuat mereka.Â
Tiada alasan untuk mengeluh, mereka selalu memompakan jiwa semangat. Meski rasanya  ingin segera sampai ke puncak, tetapi bukan seperti itu esensinya. Harus tetap mengontrol energi agar bisa tetap terjaga sampai tujuan.
Rasa syukur yang tak terukur ketika kaki ini berhasil menjejak di puncak. Begitu dekat dengan awan, biru langit, sejuk angin, dan sejauh mata memandang, bentang alam yang indah, menyihir pikiran dengan rasa kagum. Â Seakan berada di tengah samudera awan yang maha luas. Betapa diri ini begitu kecil di tengah ciptaan-Nya yang Maha Agung.
Keindahan matahari terbit dari puncak gunung pun terasa berbeda. Aku belajar dari mentari pagi, yang kehadirannya selalu dinantikan untuk bisa menghangatkan.Â
Dari sisi inilah, timbul rasa syukur dan memahami setiap alam yang tercipta untuk mengindahkan bumi ini.
Ada yang mengusik pandangan mata, ketika tatap ini terpaku pada seorang perempuan sepuh berusia sekitar enam puluhan tahun. Tak nampak raga yang dimakan usia, tetap jumawa berdiri perkasa dengan senyum melengkung menghias wajahnya yang tak lagi muda.Â
Dengan sepasang mata ramahnya menyapa sesama pendaki yang paripurna sampai pada tujuan.
Saat di puncak tegur sapa dengan para pendaki lain, seperti menjadi sebuah tradisi. Hal ini yang membedakan antara tradisi dengan keramah tamahan yang memang ada dalam setiap orang.Â
Para pendaki itu seperti bertemu dengan kerabat jauh. Tak jarang sering menyapa, tersenyum, sedikit-sedikit memberi semangat dan saling menyemangati. Tidak hanya tegur sapa, terkadang sering bertanya asal dan pengalaman.
"Pendaki baru, ya." Sebuah sapa mengagetkanku yang tengah meluruskan kaki melepas penat. Aku mengangguk, melempar senyum termanis kala menyadari ibu sepuh itu telah berada di sampingku.
"Dari mana?" tanyanya lagi