Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah Malaikat di Puncak Gunung Slamet

10 Agustus 2022   19:32 Diperbarui: 10 Agustus 2022   19:42 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata itu yang membuatku termotivasi untuk tidak menyerah, padahal nafas ini serasa sudah di ujung tenggorokan. Namun, aku bersyukur, mereka yang sering mendaki gunung, tetapi tetap bersedia menungguku yang tidak sekuat mereka. 

Tiada alasan untuk mengeluh, mereka selalu memompakan jiwa semangat. Meski rasanya   ingin segera sampai ke puncak, tetapi bukan seperti itu esensinya. Harus tetap mengontrol energi agar bisa tetap terjaga sampai tujuan.

Rasa syukur yang tak terukur ketika kaki ini berhasil menjejak di puncak. Begitu dekat dengan awan, biru langit, sejuk angin, dan sejauh mata memandang, bentang alam yang indah, menyihir pikiran dengan rasa kagum.  Seakan berada di tengah samudera awan yang maha luas. Betapa diri ini begitu kecil di tengah ciptaan-Nya yang Maha Agung.

Keindahan matahari terbit dari puncak gunung pun terasa berbeda. Aku belajar dari mentari pagi, yang kehadirannya selalu dinantikan untuk bisa menghangatkan. 

Dari sisi inilah, timbul rasa syukur dan memahami setiap alam yang tercipta untuk mengindahkan bumi ini.

Ada yang mengusik pandangan mata, ketika tatap ini terpaku pada seorang perempuan sepuh berusia sekitar enam puluhan tahun. Tak nampak raga yang dimakan usia, tetap jumawa berdiri perkasa dengan senyum melengkung menghias wajahnya yang tak lagi muda. 

Dengan sepasang mata ramahnya menyapa sesama pendaki yang paripurna sampai pada tujuan.

Saat di puncak tegur sapa dengan para pendaki lain, seperti menjadi sebuah tradisi. Hal ini yang membedakan antara tradisi dengan keramah tamahan yang memang ada dalam setiap orang. 

Para pendaki itu seperti bertemu dengan kerabat jauh. Tak jarang sering menyapa, tersenyum, sedikit-sedikit memberi semangat dan saling menyemangati. Tidak hanya tegur sapa, terkadang sering bertanya asal dan pengalaman.

"Pendaki baru, ya." Sebuah sapa mengagetkanku yang tengah meluruskan kaki melepas penat. Aku mengangguk, melempar senyum termanis kala menyadari ibu sepuh itu telah berada di sampingku.

"Dari mana?" tanyanya lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun