Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Sebut Kami "Pahlawan Kesiangan"....!!!

10 November 2024   08:44 Diperbarui: 12 November 2024   22:47 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan Sebut Kami  "Pahlawan Kesiangan"....!!!

Oleh Muchwardi Muchtar

.......

masa kini tiada lagi pahlawan gugur ke bumi

Baca juga: Derita Prahara

kalau masih ada

hanyalah saudara kita yang gugur di kolong jembatan

atau mungkin

budak iblis yang bakutusuk berebut warisan......

(BERITA ANEH, halaman 54, dari buku kumpulan puisi Muchwardi Muchtar, Teras Budaya Jakarta, 2024)

***

Memang ini bukan  suatu perbuatan gila. Tapi kalau hari itu banyak orang yang menganggap style yang kukenakan ala orang edan, kiranya tidak dapat disanggah. Sebab, umumnya penghuni dunia yang berjenis manusia, lebih cenderung melihat pada hal yang zahir saja. Jadi wajar adanya kalau mereka mengatakan, bahwa dandananku tidak pada tempatnya. Masak seorang berkaus T-shirt, bercelana yang terbuat dari kain batik dan berterompah yang terbuat dari ban mobil bekas, ingin naik pesawat udara?

Tanpa memperdulikan orang banyak yang senyum-senyum dan bisik-bisik di bandar udara Sukarno Hatta, Cengkareng, aku langsung duduk di ruang tunggu. Begitu terdengar dari corong pemberitahuan, bahwa pesawat yang akan kunaiki menuju Singapura siap untuk take off, aku segera berdiri.

Kuangkat tas jinjingku di tangan kanan, dan kamera kesayanganku menggantung di leher. Perduli apa dengan mereka, yang melihat seorang laki-laki di era Hape yang sudah dilengkapi dengan kamera, recorder dan perangkat lainnya, masih juga "memamerkan" kamera sebagai aksesories di badannya? Yang penting mereka ketahui, aku naik plane ini dengan prosedur resmi. Bukan tiket jatah yang dilakukan oleh sementara mereka Naik Haji dengan biaya negara itu. Memangnya ada peraturan resmi untuk naik pesawat Garuda Indonesia  mesti pakai stelan jas lengkap, dan tidak boleh menggantungkan kamera di leher kita?

Begitu mesin jet Airbus A330-200 Garuda Indonesia ini menderu, dan pesawat pelan-pelan terasa terangkat  kemudian 'lampu pemberitahuan' menyala, yang menyatakan bahwa sabuk pengaman boleh dilepas kembali, para penumpang pun sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Kuperhatikan, ada yang membalik-balik majalah yang diambilnya dari box di sampingnya, ada yang mengutak-atik video di depannya untuk mencari film cerita yang disediakan buat mengisi waktu penumpang, bahkan ada pula yang asyik menikmati panorama Jakarta dilihat dari sekian ratus kaki dari angkasa. Tak terkecuali dengan lelaki tua yang duduk di sampingku. Sedari tadi kulirik lelaki tua di sebelahku entah sudah berapa kali mencuri pandang padaku. Sialan. Perlu apa pula lelaki tua ini melirik-lirikku?

Kalau tadi, ketika ia permisi melewati tempat dudukku untuk pergi ke toilet buang airkecil menghadiahi aku senyum, maka kini ketika kembali ke tempat duduknya di sebelah kananku dekat jendela, lagi-lagi ia tersenyum.

Sekian lama terasa sunyi. Sekian lama pikiranku menerawang ke sana sini. Sampai-sampai kue dan minuman yang disodorkan pramugari untuk para penumpang kutolak mentah-mentah dengan mengatakan, bahwa aku sedang puasa..., akhirnya kesunyian pun pecah juga.

"Anak muda", sapa lelaki tua di sampingku. "Tampaknya Nanda seakan memendam sesuatu", lalu lelaki tua yang mengenakan jas coklat  tanpa dasi ini memajukan kepalanya lebih ke depan. Maksudnya sudah tentu ingin memandang wajahku lebih jelas lagi.

Walau bagaimana pun kalutnya pikiran di dalam, sapaan bersahabat dari lelaki tua sanggup juga menyadariku dari lamunan. Sebagai manusia timur yang terkenal kesopansantunannya, sebetulnya aku sudah malu hati. Orang yang lebih tua dariku telah menyapa terlebih dahulu. Tetapi, kalau ada orang yang mengalami problem seperti apa yang kuhadapi  sekarang, kukira ia akan berpikir tujuh kali untuk mengatakan aku tidak tahu adat.

"Anak muda, dapatkah Nanda berbagi cerita dengan Bapak?" --lelaki tua ini kembali memancingku. Tampaknya ia penasaran sekali dengan reaksiku yang cuma melirik saja menjawab tanya  pertamanya tadi.

"Lampu memasang seat bel sudah lama mati. Mari sharing anak muda", --ujar lelaki tua cerewet ini lagi sambil menyodorkan kaleng segi empat berisi permen Hacks warna hitam yang sering digunakan pecandu rokok sebagai pengganti batang rokok atau vape (rokok elektronik) bagi mereka. Melihat sodoran yang jarang-jarang ada ini aku sedikit ngiler juga. Hmm hhm...

"Cobalah permen impor ini, Nak. Adakalanya permen pahit pengganti sebatang rokok ini dapat membuat pikiran terbuka." Lelaki tua ini melepas lapisan kertas minyak tipis pembungkus permen tersebut sebelum memasukkan ke mulutnya.

Kembali ia tersenyum, ketika untuk kesekian kalinya dapat kesempatan bertemu pandang denganku.

"Ayohlah Nak. Tidak masanya lagi termangu di udara lepas begini".

Tanpa merasa kaku sedikit pun lelaki tua ini menyodorkan kaleng permen yang sudah terbuka itu kehadapanku. Baru saja senyum tawarku hilang, dan begitu permen hitam asal negeri luar itu kulepas kertas pembungkusnya, lelaki tua yang tak kukenal ini memberi ibu jari kanannya ke hadapanku. Mungkin maksudnya mengatakan "bagus" karena tawarannya untuk mencoba permen pengganti rokok ---bagi pecandu nikotin--- aku terima.

Barulah di sini aku sadar. Aku merasa malu. Betapa kasarnya adat yang kuanut. Berkali-kali sapaan ramah lelaki tua yang sama-sama satu deret dengan tempat dudukku di pesawat raksasa Airbus A330-200 Garuda ini tidak kuacuhkan. Entah sudah berapa kali tadi ia menawar-nawarkan permen spesifik yang dimilikinya kepadaku. Dan kini dia lagi yang membantu mengambilkan sebuah permen berbungkus kertas minyak warna maron tersebut buatku... Ooh, maafkan aku Pak Tua.

"Nanda", ujar lelaki tua ini memulai kembali dialog yang tampaknya ingin memancing opini atau isi wawasan dalam kepalaku, sekembalinya beliau dari toilet pesaswat. "Setahu Bapak, sejak 30 tahun yang lalu merokok di pesawat dilarang, bahkan dapat dikenakan denda yang besar jika melanggar. Namun, anehnya hingga kini kenapa ya  asbak tetap ada disediakan dalam penerbangan komersial?".

Aku masih diam. Tapi memoriku belum hilang akan literatur yang pernah kubaca ketika pesawat terbang di berbagai negara mulai memberlakukan haram merokok dalam pesawat beberapa puluh  tahun yang lalu.

Pertanyaan bapak ini mungkin sering muncul di kepala para penumpang setiap kali naik pesawat ketika melihat ada asbak di toilet pesawat. Beberapa penumpang pesawat, bahkan ada berpendapat bahwa asbak yang ada dalam toilet pesawat dikhawatirkan dapat menarik penumpang yang haus akan nikotin untuk merokok, padahal merokok adalah hal ilegal dan bisa membuat orang yang melanggar dilarang masuk maskapai tertentu dalam waktu yang lama.

Aku ingat, bandara di Inggris sudah melarang rokok sejak tahun 1998. Sedangkan seorang pramugari yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan kepada Daily Express bahwa asbak masih ada di sebagian besar pesawat adalah sebagai bentuk antisipasi.

"Pak", ujarku menjawab pertanyaan beliau. "Tanda puntung rokok kecil yang terlihat di pintu, bukanlah anjuran merokok. Itu mungkin untuk pencegahan bahaya keselamatan bagi penumpang-penumpang bandel yang mencoba merokok seisap dua isap dalam toilet"

"Betul, Nak. Tapi bagi kita yang jadi pecandu rokok ini ---meski ada asbak dalam toilet--- jangan coba-coba merokok di pesawat. Bisa-bisa kita akan dimasukkan dalam daftar larangan terbang dan bahkan mungkin bisa ditangkap karena melanggar ketentuan larangan tersebut," imbuhnya.

"Sampai bisa ditangkap segala?", aku coba menimpali penjelasan Bapak ini.

"Ya, karena larangan tersebut sudah berlaku di seluruh perusahaan penerbangan semua negara. Di Indonesia sudah ada Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 412 ayat 6, setiap orang yang merokok di dalam pesawat akan dikenakan sanksi denda maksimal 2,5 miliar atau penjara maksimal 5 tahun".

Ceklek...................!

Dengan terjadinya dialog spontan yang sebelumnya bersuasana kaku, maka leburlah sudah kebekuan yang terjadi dari dua anak manusia lintas generasi di menit-menit awal tadi.

***

Wahai pikiran yang kacau, sirnalah kau dari benakku...!

Pertemuan terakhir dengan Pak Bani Kepala Bagianku di kantor membayang kembali. Enaknya bekerja di belakang meja dalam ruang ber-AC, sekitar tiga tahun tempo hari, masih belum hilang  dari ingatanku.

Sebagai anak muda yang punya bakat dalam dunia jurnalistik, sudah tentu tawaran direksi untuk menyuruhku mengasuh Buletin Perusahaan Bonafid tempat aku bekerja, kuterima dengan senang hati. Bakat alam yang dikombinasikan dengan ilmu dari buku membuahkan hasil yang gemilang bagi alat komunikasi dan informasi Perusahaan yang berbentuk buletin 16 halaman.

Kalau selama ini, semenjak buletin itu terbit beberapa tahun yang lalu, isinya monoton tanpa variasi yang menarik minat karyawan buat membacanya, maka semenjak kutangani perubahannya jauh sekali. Baru dua nomor terbit berturut-turut, sambutan karyawan sangat positip. Kalau selama ini karyawan menerima buletin dengan nada sinis, kini semenjak buletin kutangani, benar- benar mengenai sasaran yang dituju. Sebagai media milik Perusahaan, sudah tentu tidak melupakan misi buletin  sebagai 'media informasi dan komunikasi' antara manajemen dengan karyawannya. Melalui pojok sentilan yang kuasuh setiap terbit, entah sudah berapa oknum karyawan tempat aku bekerja yang merasa kebakaran janggut.

Dan dari sini pulalah berawal konflikku dengan Pak Bani ---atasanku langsung--- yang sangat kuhormati selama ini.

"Edward", ujar Pak Bani pada suatu siang. "Siang ini sengaja saya memanggilmu tanpa diketahui orang ketiga adalah karena sesuatu hal".

Pak Bani ---perokok yang akut itu--- menyambung lagi membakar sisa rokok kretek yang semenjak pagi diletakkannya di pinggir asbak porselen di pojok meja kerjanya. Padahal ia tahu dan mengerti, bahwa di kamar yang dilengkapi dengan alat pendingin ruang tidak dibolehkan untuk merokok. Tapi atasanku yang bertutur kata lembut dan banyak senyum ini, tidak bisa mengalahkan rasa egonya, untuk tidak mengisap rokok barang satu batang di ruang kerjanya, setiap dua jam sekali.

 "Tadi pagi saya mendapat telepon dari Pusat langsung dari Kepala Divisi kita. Bapak Ka.Div  mengingatkan agar buletin yang kita asuh  untuk dikembalikan pada fungsinya semula. Beliau memuji variasi buletin kita yang mengalami perubahan drastis semenjak kau asuh. Tetapi di lain pihak rupanya Bapak Ka.Div kurang senang dengan kolom spesial yang kau asuh. Kata beliau, buletin perusahaan bukanlah alat untuk main politik-politikan, atau main sikut-sikutan antar karyawan...".

Aku terkesima. Kutegakkan kepala. Kalau semenjak tadi di depan Pak Bani aku menjadi pendengar yang baik, tapi dengan kalimat terakhir yang diucapkan Pak Bani tidak dapat kuterima.

"Maaf  Pak, kalau pembicaraan Bapak saya potong."

Pak Bani mengangguk memberi isyarat, bahwa aku disilakan bicara.

"Soal apa itu fungsi buletin sebuah perusahaan sudah saya pelajari jauh-jauh hari sebelum saya ditarik kekantor ini, Pak. Sebab begini-begini saya juga pernah digembleng dalam Kursus Jurnalistik Pers selama enam bulan tempo hari. Kalau pojok sentilan yang saya asuh dituduhkan Pak Ka.Div sebagai alat penyikut para karyawan, terus terang saya tidak terima."

"Maksud saya dengan adanya rubrik pojok sentilan itu adalah sebagai oto kritik bagi Perusahaan. Meluruskan yang selama ini bengkok, dan lebih luas lagi...maksud saya adalah meletakkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya. Lagi pula apa-apa yang saya tulis bukanlah kritik asbun[1]) begitu saja. Kalau Bapak belum tahu, selama lebih tiga puluh enam bulan saya mengasuh buletin itu entah sudah berapa pucuk surat dari laut yang jadi input bagi saya buat mendobrak kebobrokan yang berkembang biak di Perusahaan.

 

Dan saya bertekad, selagi tenaga saya dapat dipakai oleh Perusahaan di bidang jurnalistik, saya akan terus mengupas borok-borok di lingkungan Perusahaan."

 

 "Edward!", Pak Bani mulai spanning. --"Jangan kau lupa, Edw. Siapa saja boleh mengeluarkan uneg-unegnya. Tetapi bukan melalui desk editor yang kau jabat. Bukankah di Perusahaan kita masing-masing ada tugas dan fungsinya? Dan kau harus ingat, Edw. Meski kau diberi kebebasan menulis di buletin, itu bukan berarti kebebasan mutlak, anak muda. Semua ada batasnya. Sebagai karyawan yang mempunyai NRK[2]) kau tentu punya lagi atasan di Pusat sana. Dan kau harus tepo sliro, Nak" 

 

"Kalau kau belum tahu, Nak" ---sambung Pak Bani lagi--- "Semenjak pojok sentilan yang kau asuh itu muncul di kolom buletin kita, tak terhitung lagi telepon-telepon gelap memperingatiku. Kau mana tahu Edw, karena ruang kerja kita dibatasi oleh dinding yang tebal. Dan kau pun harus sadar, Nak. Kempesnya ban mobilmu berturut-turut dalam dua hari ini bukanlah suatu kebetulan belaka. Itu adalah hasil kerja dari karyawan lain yang tidak senang dengan jeweranmu via kolom kecil itu.

 

"Sebagai seorang Bapak yang lebih dahulu minum ASI[3]) darimu, atau katakanlah sebagai Kepala Bagian dari Edward Tator, saya minta padamu untuk masa-masa mendatang kau tidak lagi meneruskan serial sentilanmu di buletin. Maaf, Edw. Bukan maksud kami untuk menghambat kreativitas tulis menulismu, tidak Nak. Selagi kau menulis dalam buletin Perusahaan, jangan lagi kau coba-coba untuk jadi pahlawan pena. Di masa sekarang, tidak ada lagi dibutuhkan pahlawan-pahlawan kesiangan, Edw. Sepanjang orang lain itu tidak merugikan kita secara pribadi, tidak perlu kita usil terhadap mereka. Sekarang zamannya pemerataan rezeki, Edw..........."

 

Entah apa lagi kata-kata Pak Bani atasan yang sangat kuhormati selama ini, tidak sanggup lagi kudengar. Rupanya atasan yang selama ini sangat kusegani itu, mutunya tak lebih dari mereka yang pernah kusentil. Seketika itu juga rasa hormatku pada beliau luntur. Puiihh...!!

 

"Oke, Pak", kataku seraya berdiri. "Kalau begini, naga-naganya lebih baik saya mengundurkan diri saja dari desk editor."

 

Pak Bani terkejut. Ia segera meraih pundakku untuk menyuruh duduk lagi.

 

"Kau jangan tersinggung, Edw", ujar Pak Bani sambil tetap memegang pundakku. "Bapak memahami gejolak darah mudamu, Nak. Tapi apa mau dikata, kita hidup sekarang di zaman dimana prinsip melawan arus adalah pekerjaan sia-sia. Dan jangan pula lupa Edw, zaman sekarang "tidak ada satu Kementerian pun di Republik ini yang bersih dari penyelewengan" [4]).

 

"Saya mengerti, Pak', dan aku bergerak mengembalikan kursi pada tempatnya semula, sebelum kududuki tadi. "Dan sekarang, karena saya berasal dari 'orang laut' maka kembalikan saya ke laut...!", terus aku melangkah ke pintu.

 

"Edward?!"

 

"Ya, kembalikan saya ke laut, Pak Bani. Mungkin di lautan luaslah orang-orang seperti saya merasa tenang. Terjauh dari lingkungan masyarakat yang berwajah topeng. Di laut kami selalu damai, Pak. Di dermaga pelabuhan sama-sama tertawa, dan di saat diterjang badai topan dan ombak besar kami pun sama-sama berdoa".

 

Seusai pertemuan terakhir dengan Pak Bani aku langsung ke pelataran parkir untuk pulang ke rumah. Tidak begitu lama, dalam tujuh hari kerja proses mutasiku kembali bertugas ke kapal laut selesai dengan sempurna. Paspor yang lebih tiga tahun tergeletak di lemari rumah, kini kembali kukantongi...... Bahkan kini aku sedang berada dalam pesawat Garuda Indonesia yang akan mengantarkanku ke Changi International Air Port, Singapura. Sebab kapal baru tempat aku bertugas ---setelah lebih tiga tahun kutinggalkan--- menunggu di Eastern Petroleum of Anchorage, Singapura.

 

Sedangkan lelaki tua di sampingku... yang aneh ini, yang ramah ini, yang cerewet ini, yang style-nya benar-benar ala Kepala Divisi dari Pak Bani atasanku, adalah Nakhoda baru pengganti Nakhoda kapal yang akan kunaiki nanti. Semua kuketahui ketika lelaki tua ini mengisi data di Personal Effect Garuda.

 

Betapa Maha Kuasanya Sang Pencipta membuat skenario dalam memisahkan dan mempertemukan makhluk nan fana di muka bumi ini!!!

 

Bekasi Jaya, 10 November 2024.

 

 

Catatan :

 

  • asal bunyi, maksudnya kritik tanpa data dan fakta
  • Nomor Registrasi Karyawan
  • Asli Susu Ibu
  • Statemen mantan Menkopolhukam Mahfud MD di Metro TV, 16 Agustus 2024 jam 21.00

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun