"Kau jangan tersinggung, Edw", ujar Pak Bani sambil tetap memegang pundakku. "Bapak memahami gejolak darah mudamu, Nak. Tapi apa mau dikata, kita hidup sekarang di zaman dimana prinsip melawan arus adalah pekerjaan sia-sia. Dan jangan pula lupa Edw, zaman sekarang "tidak ada satu Kementerian pun di Republik ini yang bersih dari penyelewengan" [4]).
Â
"Saya mengerti, Pak', dan aku bergerak mengembalikan kursi pada tempatnya semula, sebelum kududuki tadi. "Dan sekarang, karena saya berasal dari 'orang laut' maka kembalikan saya ke laut...!", terus aku melangkah ke pintu.
Â
"Edward?!"
Â
"Ya, kembalikan saya ke laut, Pak Bani. Mungkin di lautan luaslah orang-orang seperti saya merasa tenang. Terjauh dari lingkungan masyarakat yang berwajah topeng. Di laut kami selalu damai, Pak. Di dermaga pelabuhan sama-sama tertawa, dan di saat diterjang badai topan dan ombak besar kami pun sama-sama berdoa".
Â
Seusai pertemuan terakhir dengan Pak Bani aku langsung ke pelataran parkir untuk pulang ke rumah. Tidak begitu lama, dalam tujuh hari kerja proses mutasiku kembali bertugas ke kapal laut selesai dengan sempurna. Paspor yang lebih tiga tahun tergeletak di lemari rumah, kini kembali kukantongi...... Bahkan kini aku sedang berada dalam pesawat Garuda Indonesia yang akan mengantarkanku ke Changi International Air Port, Singapura. Sebab kapal baru tempat aku bertugas ---setelah lebih tiga tahun kutinggalkan--- menunggu di Eastern Petroleum of Anchorage, Singapura.
Â
Sedangkan lelaki tua di sampingku... yang aneh ini, yang ramah ini, yang cerewet ini, yang style-nya benar-benar ala Kepala Divisi dari Pak Bani atasanku, adalah Nakhoda baru pengganti Nakhoda kapal yang akan kunaiki nanti. Semua kuketahui ketika lelaki tua ini mengisi data di Personal Effect Garuda.