Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Membuat Novel untuk Nobel Tidak Simpel

23 Oktober 2024   13:59 Diperbarui: 29 Oktober 2024   17:36 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul "Menjemput Matahari" hanya dijelaskan di dua kalimat terakhir pada alinia terakhir, "Wi adalah presiden Indonesia pertama yang tidak berasal dari militer atau elite politik. Dan Wi telah "menjemput matahari." Kesimpulan yang hiperbolis, simplistik, tanpa uraian signifikan. Bombastis tanpa subtansial.

"Cara atau plot bertuturnya biasa saja. Sudah umum gaya bercerita semacam itu. Tak ada yang istimewa. Sebelumnya buku ini hendak ditulis beramai-ramai, tetapi  tidak terlihat dimana konteks buku ini harus ditulis beramai-ramai. Jika buku ini dimaksud untuk kelas memperoleh nominasi nobel, tampaknya masih terlampau jauh ke arah sana", tulis Wina.

Beberapa bulan sebelum Sugiono MP menulis novel (MM-PJPI), saya juga diajak untuk nimbrung. Saat itu saya ---tanpa waitting time--- langsung menjawab "Maaf Mas Giek, sedikit pun saya tidak berminat untuk menulis novel tentang Jokowie "Who is how". Di samping menulis sebuah novel secara kroyokan tidak lazim dalam perbendaharaan pengetahuan saya dalam dunia kesusasteraan, pun si-kon saya belum ada mood untuk menulis novel. Dan, kalau boleh berterus terang, apa dan mengapa seorang Jokowi bagi saya, sama dengan kebanyakan opini masyarakat yang viral di medsos, tidak ada yang bisa saya tulis tentang Jokowi---saat ini--- menjadi sebuah  karya sastra.

***

Sependek ingatan saya, novel yang pernah meraih hadiah nobel, tidak satu pun ada yang lahir dari "pesanan" pihak tertentu. Novel yang bermutu sastra itu biasanya lahir dari pendalaman dan penghayatan dari penulisnya yang cukup lama dan penuh humaniteit (untuk statemen ini agar dibaca dua paragraf pembukaan tulisan saya di atas).

Bagi saya, jika di negeri ini kelak lahir novel yang  bertemakan Jokowie mungkin isinya, ---dan saya yakin--- bertolak belakang dengan novel MM-PJPI. Sebagai contoh, dapat kita telaah isi novel Negeri Salju (Yasunari Kawabata) atau Kepulauan Gulag (Alexander Solzhenitsyn). Kedua novel ini khatam saya baca edisi Indonesia (terbitan Pustaka Jaya), dan dari suplemen  di majalah TEMPO ketika saya bertugas di tengah samudra tempo doeloe.

Menulis novel yang jadi targetnya hadiah nobel   tidak akan bisa dilahirkan dari pesanan dengan latar belakang "wani piro". Jika hal itu yang terjadi dengan kelahiran novel MM-PJPI, sudah dapat diduga hasilnya adalah sebagaimana komentar yang saya tulis di atas. Sekarang novel  MM-PJPI sudah terbit dan beredar. Dan saya pun yakin honorarium dari buku "proyek pemerintah yang tengah berkuasa" ini ketika terbit dan diedarkan, sudah tuntas.

Menyangkut KARYA PESANAN dalam bersastera ini, saya jadi ingat dengan kisah sebuah buku pelajaran yang direncanakan untuk "bacaan wajib" bagi pelajar SLA di republik ini. Peristiwa yang sama dengan alur kisah yang hampir sama (dengan novel MM-PJPI) pernah terjadi di dunia kesusasteraan Indonesia. Mei 2024 sebuah buku proyek pemerintah yang alokasi dananya lumayan besar demi mencerdaskan anak bangsa, gagal total.

Setelah buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (PPRBS) 2024 tersebut dicetak sekian puluh ribu eksemplar untuk konsumsi bacaan siswa-siswa SMA, karena ada protes, dibatalkan. Penulisan data dan cerita yang tidak akurat, terburu-buru tanpa mengikut sertakan orang-orang yang banyak tahu dan mengalami sendiri apa-apa yang ditulis dalam buku,  menjadikan buku tersebut ditarik dari peredaran seluruhnya. Coba bayangkan dan hitung, berapa banyak kerugian materil dan inmateril akibat buku yang salah data ini batal beredar?

Buku PPRBS 2024 yang dikuratori oleh Eka Kurniawan dan tim, diluncurkan langsung oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim di Jakarta pada Senin, 20 Mei 2024, menuai kecaman dari sejumlah sastrawan dan penikmat sastra tanah air. "Ternyata begini cara kerja Tim Kurator Sastra Masuk Kurikulum Sekolah. Sutardji Calzoum Bachri yang lahir tanggal 24 Juni 1941, ditulis dalam buku (halaman 436) meninggal dunia tanggal 17 Juli 2020", tulis S.  Mahayana. Sedangkan Nirwan Dewanto menilai "Buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra (2024) sama sekali tidak memenuhi standar perbukuan mana pun. Sajiannya buruk, penyuntingannya buruk, bahasanya buruk, isinya buruk".

Meski buku panduan kesusasteraan Indonesia tersebut dibatalkan peredarannya di sekolah-sekolah, namun terjadinya peristiwa yang memakan kerugian materi dan inmateri yang dananya diambil dari uang rakyat, adalah sebuah kesia-siaan. Mubazir......!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun