Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarlah Tuhan Mengutukku!

1 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Asli Muchwardi Muchtar

Secara kebetulan, seorang nyonya merasa berutang budi kepadaku, sewaktu tasnya kuselamatkan dari penjambretan di Pasar Cikini, Jakarta Pusat. Tidak kusangka kalau kejadian secara kebetulan ini malah membawa titik terang bagi kehidupanku di bumi perantauan. Sebab, semenjak peristiwa itulah aku ditawarkan oleh suaminya Pak Poniman yang bertubuh gendut, menjadi supir pribadi (Supri) keluarganya.

Foto asli : Muchwardi Muchtar
Foto asli : Muchwardi Muchtar

"Yang diutamakan sebagai Supri adalah kejujuran, dan selalu mengunci mulut. Saya melihat hal ini ada pada diri 'Dik Edward", demikian Pak Poniman Direktur perusahaan yang mengageni alat-alat berat produk Jepang tersebut, menjelaskan kepadaku dalam perjalanan hari pertama aku mengemudikan mobil Holden Primeir-nya menuju kantornya di daerah Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Ucapan yang sama, selalu diulanginya kepadaku bila setiap Sabtu siang Pak Poniman minta kuantarkan ke "Amusements Center & Steam Bath" di Jalan Blora untuk dipijit massager girls. Berjam-jam aku menunggu Direktur ini melepaskan lelah di kamar tertutup. Dan, kunci untuk menjadi Supri profesional, berhasil kubuktikan : jujur dan tutup mulut.

Selaku supir keluarga kaya yang tingal di daerah Menteng, salah satu kawasan elite di selatan Jakarta, tugasku simple saja. Setiap pagi, mengantarkan Pak Poniman ke kantornya. Kemudian mengantarkan Putri, anak tunggal mereka yang baru kelas 5 SD ke sekolah di Perguruan Cikini. Kalau menjelang siangnya Nyonya Poniman perlu belanja ke Pasar Cikini ----salah satu proyek pasar bergengsi di zamannya-- aku harus stand-by mengantarkan, menunggu di mobil, dan kemudian membawanya kembali pulang ke rumah.

Selesai melayani antar jemput Nyonya Poniman, dan menjemput Putri ke sekolahnya, aku akan stand-by di kantor Pak Poniman untuk membawa Direktur ini kembali ke rumah. Suatu rutinitas yang cukup menyenangkan jauh dari kemacetan lalulintas yang umumnya akan menjadi problem bagi kota-kota besar kelak.

Pagi itu, pagi yang membawa kesialan bagi hidupku di atas dunia. Sebagaimana biasa, setelah menyelesaikan tugas mengantarkan Pak Poniman ke kantornya, dan mengantarkan Putri ke sekolahnya, tugasku adalah stand-by duduk-duduk sambil membaca koran-koran bekas, di garasi rumah menunggu Nyonya R. Sulastri Poniman berpakaian untuk diantar belanja ke Pasar Cikini.

Tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh pekikan dari dalam kamar. Mulanya aku menyangka Nyonya Poniman ini hanya main-main saja. Tapi..., setelah mendengar teriakan minta tolong yang ke dua kalinya, aku pun melompat masuk ke ruang tengah. Pintu kamar utama yang kebetulan tidak dikunci, kubuka dengan semangat pasang kuda-kuda, sama ketika aku mensitaralak  sampai tersungkur Penjambret tas di Pasar Cikini tempo hari.

Astaga. Rupanya sewaktu Nyonya Poniman ini akan mengenakan pakaian dalamnya yang diambil dari laci bawah lemari, dari lipatan pakaian tersebut keluar anak tikus yang masih merah. Bayi tikus yang bergerak-gerak kemerah-merahan itulah yang membuat dia menjerit. Ada-ada saja.

Tikus sialan itu aku lemparkan keluar lewat jendela. Muka Nyonya rumah yang pucat pasi tadi telah berubah rona merah. Ya, ampun......., Nyonya Poniman yang dililit handuk seadanya ini masih belum sadar dengan kondisi tubuhnya yang putih bersih itu terlihat oleh supirnya yang baru bekerja jalan satu bulan. Sedangkan aku, memandang panorama yang hanya dibalut handuk kecil seadanya membuat mataku berkunang-kunang.

Aku bukanlah malaikat  yang ditakdirkan tidak punya nafsu. Aku bukanlah nabi Yusuf yang tegar ketika digoda Siti Zulaikha sewaktu berdua-duaan berada dalam kamar istana Firaun. Sebagai pemuda normal memandang kaum Hawa dalam wujud aslinya, tentu saja panas dingin. Nyonya Poniman sendiri tidak pula merasa malu atau menyuruhku keluar begitu anak tikus kulempar ke halaman tadi. Yang kusesalkan kenapa Mbok Sutinah --pembantu rumah--  yang katanya minta izin  satu hari menengok anaknya yang sakit di desanya, Cirebon, sudah dua hari belum kembali juga? Dan..... apaboleh buat, terjadilah sebuah dosa besar dalam kamar itu dengan disaksikan kaca lemari dan sebuah gambar di dinding.

Thobaatt.....! Menyadari apa yang sudah terjadi, aku cepat berdiri memakai kembali pakaianku yang bertebaran di lantai. Sewaktu menarik tangan kananku dari kuduk Nyonya R. Sulastri Poniman yang menelungkup puas, mataku terpandang pada tahi lalat sebesar uang logam di kuduknya. Kemudian, mata kulayangkan pula mengitari kamar yang baru kali ini kumasuki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun