Mohon tunggu...
Muchwardi Muchtar
Muchwardi Muchtar Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pelaut, marine engineer, inspektur BBM dan Instruktur Pertamina Maritime Center

menulis, membaca, olahraga dan presentasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biarlah Tuhan Mengutukku!

1 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, Edw. Di Jakarta yang perlu bagus ke luarnya saja. Di sini, yang penting plesir. Soal tempat kita tidur hanya persoalan sekunder", Effendi kembali berkata memberi bahan baru mengenai Jakarta.

"Ingat, kawan", dia melanjutkan. "Yang perlu kita bisa dapat hidup, dan dapat uang. Kau lihat di sini, rumahku berlantai tanah, dan hanya berdipan satu. Semua itu menjadi hal yang biasa bagi warga Jakarta seperti kami", kemudian sahabatku yang tak lain anak tunggal dari Pamanku Tan Sinaro ini, membuang pandangannya ke deretan rumah liliput yang berderet sepanjang gang kumuh yang baru saja menerima injakan sepatu kets Si Pendatang baru ini.

Aku terangguk-angguk mendengar pidato pertemuan dari Effendi ini.

Apakah memang keadaan Jakarta begitu?, nanti akan kubuktikan. Yang jelas, sekarang aku telah selamat sampai di kota metropolitan Jakarta setelah mengharungi lautan dua hari dua malam dengan menumpang KM.Belle Abeto dari Telukbayur menuju Tanjungpriok.

Selesai menceritakan keadaan sanak famili kami yang telah lima tahun lebih ia tinggalkan, maka aku pun bangun dari kursi reot yang kududuki untuk pergi mandi. Maklum, selama menjadi penumpang di kapal milik perusahaan angkutan laut PT. Arafat tersebut, tidak setetes pun air menyirami tubuhku.

Melihat bentuk kamar mandi, aku tertegun.

Kalau tadi aku heran melihat bentuk bangunan rumah yang didiami Effendi, maka kini aku heran melihat kamar mandi yang dinamakan Effendi ini. Betapa tidak...! Dinding penyekat yang terbuat dari bambu yang jarang-jarang anyamannya; sumur tempat menimba air yang tidak berpagar; benar-benar aneh. Beberapa langkah dari sumur yang berpredikat kamar mandi ini, berdiri sebuah tempat berdinding kardus bekas pengepak televisi serta lempengan plastik bekas, berwarna biru. Masya Allah, ini namanya kakus!?

Inikah dia yang dinamakan keindahan Jakarta itu?                                    

Sungguh jauh perbedaannya dengan apa yang dibayangkan oleh orang-orang dari desa. Kiranya, Jakarta itu tidak lebih dari panorama sekitar jalan Thamrin dan jalan Sudirman yang post-card-nya aku punya, kiriman anak Pamanku Effendi hari raya Idul Fitri tahun lalu.

Dengan tidak sadar, ingatanku melayang kembali pada suasana kampungku yang begitu indah. Alamiah sejati. Walau tidak mengenal gedung-gedung pencakar langit, namun kebersihannya tidaklah seperti yang kulihat ketika aku baru memasuki lingkungan rumah Effendi tadi. Mana ada di desa tempat aku dilahir dan dibesarkan, di sini tempat makan dan minum, di sananya ----hanya jarak beberapa langkah---tempat kita buang air besar?!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun