ADA JATIWARINGIN, ADA JATI Â ASIH. KENAPA BISA BEDA?
Oleh Muchwardi Muchtar
Â
Setiap saya melewati jalan tol dari arah tol Cikampek (Bekasi Timur) menuju pintu tol Halim Perdanakusuma, atau jalan tol  menuju Jakarta Outer Ring Road (JORR, dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar : jalur jalan tol lingkar luar Jakarta) saya selalu tersenyum sendiri. Kenapa bisa ya, sesama perusahaan yang mengelola jalan yang digunakan oleh publik memberlakukan "kebijakan yang berbeda" ketika memasang rambu-rambu dalam berbahasa Indonesia?
Sekitar 1 km atau 500 meter sebelum gerbang tol, kita akan melihat setinggi 6 meter di atas jalan terpampang rambu jalan yang menunjukkan sebentar lagi pintu tol Pondokgede dan Jatiwaringin akan kita lewati. Kemudian, kalau kita memasuki jalur belok kiri ke arah Pondokindah, kita pun akan melewati rambu jalan yang bertuliskan Jati Warna dan Jati Asih.
Bagi konsumen jalan tol yang memandang sesuatu biasa-biasa saja, atau orang-orang yang cuek dengan lingkungannya tentu tulisan pemberitahuan nama tempat tersebut tidak ada yang aneh. Toh, rambu-rambunya sudah jelas dan apa adanya. Bahkan bagi pengemudi yang mempunyai setitik darah seni, Â ---ketika saya mengatakan penulisan rambu-rambu tersebut aneh--- akan berkomentar sambil mengutip ucapan terkenal William Shakespeare "what is in a name?" (apalah arti sebuah nama?)
Namun, bila  kita mengacu pada penerapan Bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  yang dikelola secara profesional dan bertanggung jawab oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, tentu kita jadi heran. Kenapa dalam penulisan nama-nama tempat, desa, kota atau wilayah di area publik tidak seragam, dan seakan mengabaikan ketentuan dan perundang-udangan?
Bukankah panduannya ---sebelum membuat plang rambu-rambu di jalan tol--- sudah disiapkan oleh laman resmi pemerintah? Kalau saja sebelum membuat plang nama tempat atau nama kota, sebagai rambu-rambu lalin, para pengelola jalan tol mau sedikit meluangkan waktu untuk mengintip panduan yang saya sebutkan di atas, tentu tulisan ini tidak akan ada di Kompasiana.
Dalam panduan resmi tersebut, dijelaskan bahwa nama kota yang terdiri dari lebih dari dua kata harus ditulis tergabung menjadi satu kata tanpa spasi. Hal ini berlaku untuk nama tempat yang memuat nama generik dan spesifik geografis lainnya, seperti gunung, bukit, tanjung, ujung, selat, lembah, dan lainnya.
Contoh penulisan nama kota yang digabungkan antara lain : Gunungsitoli, Cimahi, Bukittinggi, Muarajambi, Tanjungpinang, Tanjungpriok, Kruengraya, Sungailiat, Bandarlampung, Balikpapan, Ujungpandang, Airmadidi. Sedangkan untuk nama tempat yang terdiri dari tiga kata, penggabungan dilakukan untuk dua kata pertamanya. Contohnya, "Tanjung Karang Pusat" ditulis menjadi "Tanjungkarang Pusat"
Pemahaman yang baku selama ini, ketentuan adalah sebagai sesuatu yang telah ditentukan yang dapat diartikan sebagai kepastian. Sedangkan jika kita bicara peraturan, maka ia adalah ketentuan yang mengikat warga masyarakat dan berfungsi sebagai panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku. Peraturan bersifat umum, abstrak, dan berlaku secara terus menerus.
Menyangkut topik nama tempat yang lebih dari dua kata yang mestinya ditulis satu kata ini ---sependek ingatan saya--- 15 tahun yang lalu hal yang sama pernah saya tulis melalui "Surat Pembaca" harian Kompas, dan kemudian 3 tahun yang lalu masalah nama pintu tol memakai nama Jati yang dipisahkan dengan kata keduanya juga saya viralkan via Face Book. Hasilnya tetap sama, "nggak ngaruh", basa anak gaul.Â
Meski penulisan nama yang baik dan benar adalah  Jatiwaringin, atau Jatinegara  (jalan tol layang Cawang - Tanjungpriok), oleh pengelola jalan tol JORR tetap (ngotot) menulisnya dengan dua kata, Jati Warna, Jati Asih. Tampaknya mereka mempersetan kebijakan yang diperbuat pengusaha jalan tol tetangganya (PT. CMNP)  menulis Jati Waringin menjadi Jatiwaringin, dan Jati Negara menjadi Jatinegara.
Kenapa bisa demikian?
Maka teringatlah saya akan "mutiara hikmat" yang disampaikan oleh Letjen TNI (Purnawirawan) Sayidiman Suryohadiprojo (mantan gubernur Lemhanas) ketika memberi pembekalan kepada kami dalam sebuah pelatihan yang diikuti oleh karyawan staf BUMN Migas, lima belas tahun yang lalu (2009). "Ketentuan dan Peraturan bagaimana pun baiknya buat menata tata tertib kehidupan manusia madani, sepanjang UU-nya belum dibuat nomor registrasinya di lembaga legislatif, selamanya aman untuk dilanggar. Dan, mereka yang melanggar tentu tidak merasa malu untuk dicap barbar"
Oleh karena itulah, guna menyeragamkan penggunaan rambu-rabu nama tempat di sepanjang jalan raya di republik ini, ada baiknya pemerintah daerah (atau pemerintah pusat) untuk segera merancang UU Tertib Nama Rambu-rambu Jalan Raya (UU-TNRJR). Supaya ada efek jera bagi pengusaha jalan tol, bagi pelanggar harus disertai dengan denda jutaan rupiah untuk dimasukkan ke kas negara.
Ke depan ---setelah adanya UU-TNRJR--- diharapkan tidak ada lagi kita menemukan pemandangan lucu sepanjang jalan tol di Pulau Jawa. Dan, dengan sendirinya orang yang selama ini masa bodoh dengan kaidah penyatuan dua kata atau lebih nama tempat, menjadi paham dengan tiga kalimat yang saya contohkan di bawah ini :
- Guna menambah pemasukannya setelah pensiun, Pak Bolot membangun pondok gede di tanah miliknya di daerah  Pondokgede, Bekasi.
- Perumahan cluster Garegeh, Bukittinggi semakin indah karena banyak miniatur bukit-bukit tinggi di sekitar halamannya
- Sonny Budaya Putra selaku PJ Walikota Padangpanjang memanfaatkan padang panjang di samping kantornya untuk tempat main bola remaja setempat.
Nah, mari kita sama-sama mengaca sembari mengingat salam perpisahan yang selalu diucapkan pembawa acara Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia di TVRI tempo dulu, "Cermat berbahasa adalah ciri manusia madani".
Bekasi 20 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H