Sore hari kembali dari melihat sawah dan tambak kakak Ipar Mak Caun, terlihat dua karung di teras rumah.
Saya menanyakan kepada istri, "Itu karung apa?, "Bagi hasil garapan sawah di belakang rumah yang dikerjakan oleh Yanti", jawab nya pendek.
Memang kemaren tanaman padi yang berada di belakang rumah sudah menguning, siap dipanen. Sehari sebelumnya di panen, selanjutnya dirontok dengan mesin perontok padi.
Dahulu cara ini dilakukan dengan "iriak". Menggulung batang padi sekitar lima rumpun, diinjak di dengan kaki, dengan bertumpu pada tongkat di kiri dan kanan, sambil mundur, terakhir di tendang kebelakang. Tahap berikutnya menggunakan "lumbo" alat sederhana bersumber putaran angin dengan sumber daya mesin diesel.
Sebelum teknologi sederhana ini, memisahkan padi dari sisa daun dan padi hampa, di lakukan dengan "meng-angin".
Padi di taruh di "nyiru" dan di angkat diatas bahu atau kepala, dicurahkan pelan pelan, dengan embusan angin kotoran daunan akan tertiup oleh angin.
Sawah yang luasnya 500 m2, menghasilkan 15 kaleng (sekaleng 12kg) digarap oleh Yanti, dengan pola bagi hasil. 30% hasilnya untuk pemilik lahan dan 70 persen untuk penggarap.
Keseluruhan biaya penggarapan lahan, menanam, pupuk, membersihkan, hingga panen menjadi tangguangan penggarap. Di Jawa pola seperti ini dikenal dengan "maro" dan di Sumatera Barat disebut dengan "Saduo".
Saya tanya Yanti, berapa modal penggarapan nya?. Yanti nggak menjawab, saya tanyakan lagi, kira kira berapa persen untung nya?. Yanti dengan cepat menjawab, "nggak sesuai dengan modal", paling paling dua tiga perempat dari modal.
Hasil sawah 12 kaleng (sudah diberikan kepada pemilik lahan 3 kaleng) dijual (12 x 12 x Rp.5.300/) adalah Rp. 963.000. Artinya dengan hasil Rp.963.000, modal yang dikeluarkan sekitar Rp. 1.200.000.
Pengeluaran itu tidak dihitung tenaga kerja Yanti sendiri, makan tenaga kerja yang ikut dalam tahap pengolahan lahan, menanam, dan panen.
Kakak Ipar saya sudah hampir setahun di kampung, tinggal Jorong Sipisang Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam.
Dia tampaknya lebih "enjoy", dibandingkan tinggal di Bekasi puluhan tahun dan sebelumnya merantau di Tebing Tinggi.
Sekitar 700 m2 ada lahan pusaka yang tidak digarap, tanah sawah yang sudah "liat dan keras", berada di lereng bukit Sirabungan. pululer dengan nama "Sirabungan Kaciak". Sebelah kiri kanan oleh hutan karet, pohon pinang, durian dan pohon buah buahan lain.
Lahan itu menjadi kesibukannya , mengisi waktu se-hari hari. Membuat sebuah "dangau-gubuk kecil", di bawah gubuk ada kandang ayam.
Sebagian lahan itu dibuat tambak ikan, secara berlahan mulai mengolah lahan itu untuk di tanam padi. Menyewa mesin "bajak" untuk membalik tanah, bibit, benih. Ditambah beberapa hari tenaga upahan untuk menata pematang jadilah lahan seluas 700 m2 siap tanam.
Air, tidak masalah, karena ada sungai dari dari Bukit Sirabungan, yang mengalir deras. Sebelum Ramadhan, anak, istri dan tujuh cucunya pulang kampung, penggarapan sawah ini semakin menyenangkan nya. Apalagi ketujuh cucunya dengan usia tertua kelas SMP dan paling kecil 6 tahun, ikut serta ke sawah.
Malah saat itu, belajar mananam padi, sambal bermain. Mereka "ceria", menikmati dengan alam yang tidak ada di Bekasi. Beberapa hari kemudian ada yang demam. Kanera setengah hari kena sinar matahari.
Kemaren (17 Agustus 2021) sawah itu sudah dipanen, saya, istri, adik Ipar dan suami, ke sawah itu. Memanen di bantu oleh dua orang tetangga, dan juga anak kakak ipar yang memang sudah pindah ke Jorong Sipisang ini, menikah dengan orang kampung.
Panen padi dimulai jam 10.00 dan sekitar jam 12, sebelum Zhuhur sudah rampung. Saya dan istri malah sebelum nya sudah pulang, melihat cuaca yang mendung. Akan sangat sulit bagi kami yang tidak terbiasa di jalan pematang sawah, jalan stepak agak mendaki, menyebrangi sungai, bila hari hujan.
Proses panen, merontok padi dan me "lumbo", sekitar jam 14.00 pulang. Sudah selesai, tinggal membawa padi ke rumah. Berapa hasil panennya?. "18 kaleng", jawab nya. Dengan hasil dxemikian dan per kg padi Rp. 5.300, maka sebesar Rp. hasil panen kali ini.
Kembali saya menanyakan berapa modal yang dikeluarkan?. Kakak Ipar naggak menjawab, "Kalau hitung-hitungan begitu, hasil nya tidak sepadan dengan modal yang dikeluarkan".
Yanti dan kakak Ipar Mak Caun, akan kembali menanan padi nanti (tanaman padi 2 kali setahun, dengan bibit local, yakni Pulau Batu dan Bawubng Pulau, dengan durasi waktu hingga panen 4 bulan. Meski dalam kenyataan nya usaha menanam padi tidak lah ekonomis, akan selalu "tekor".
Begitu juga dengan Ujang, Pengusaha Meubel yang memperoleh panen padi tahun ini 786 kaleng. Istrinya menjelaskan, hasil tersebut, tidak sepadan dengan modal yang dikeluarkan.
Pertanyaan menggelitik muncul. Kenapa dengan hasil menanam padi yang "rugi", mereka masih saja bersemangat untuk menanam padi pada musim tanam nanti?.
Ke sawah menanam padi, menyenangkan dan menjadi hobby. Pergi ke sawah jam 09.00, dan kembali jam 12.00. Disawah aktif merawat tanaman, memberi makan ikan, memberi makan ayam dan sambil "menunggu durian jatuh". Badan sehat jalan pulang pergi, dan di sawah ada saja yang dapat dilakukan. Sampai di rumah siap- siap ke Mesjid.
Ketika panen kemaren terasa senang, usaha tiga bulan kelihatan. Kumpul makan dan ngopi dengan anak dan yang membantu, terasa dunia ini "milik kita".
Ya memang disegi kalkulasi ekomis, hal ini nggak "masuk", tetapi kesenangan, aktifitas fisik menyehatkan, makan dan minum enak, tidur enak, di kampug "tidak bias di hitung nilainya".
Yanti, menyampaikan hitung hitung "nabung", karena sebagian biaya yang dikeluarkan diperoleh dari hasil membantu tetangga ke sawah, hasil pinang, dan buah buahan ladang.
Saat padi menguning, perasaan senang dan bahagia melihat hasil panen beberapa karung sudah di rumah. Pendapatan dari suami dijadikan penambah biaya menanam padi.
Yanti menambahkan, kalau sudah ada padi di rumah hati tenang, yang kami hanya memikirkan lauk nya untuk makan. Sayuran tinggal petik, kelapa tinggal diturunkan, ikan dipancing di "tambak", depan rumah. Telor ayam pun ada, dari ayam yang dipelihara. Saat tertentu, untuk sayur mayur, diperoleh dari tetangga.
Sementara Ujang yang pengusaha meubel, menyatakan dengan usaha pertanian padi, memang kalau di kalkulasi uang masuk dan keluar, "rugi". Kami senang, melihat puluhan karung padi di rumah. Ada hal lain yang penting. Puluhan orang bekerja saat pengolahan lahan, menanam, menyiangi, dan panen memperoleh hasil, dari tenaga yang diberikan.
Dengan kondisi saat covid 19, mudah mudahan ada maknanya. Sebagian pendatatan dari usaha meubel, di lempar pada usaha padi ini. Istri punya warung kecil untuk menambah pendapatan keluarga.
Musim durian tahun ini, saya juga mengumpulkan durian minimal 200 buah per hari, buat pedagang durian antar kota. "untung seribu dua ribu per buah", sangat berarti.
Saya ingat pada tahun 2002-2004, saat ikut sebagai Konsultan Program Pembinaan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) dibawah badan Diklat Depertemen Pertanian dengan dukungan IFAD Roma, dan UNDP, petani dan nelayan kecil yang menjadi perioritas adalah seperti Yanti dan Mak Caun, yang hanya mememiliki lahan pertanian seperempat ha, kebanyakan buruh tani. Petani dan nelayan kecil dikelompokkan dengan anggota 7 hingga 12 orang.
Mereka didampingi untuk melihat masalah internal, menganalia usaha apa yang tepat dan menguntungkan. Dengan kesepatan dalam kelompok, dapat mengusulkan bantuan modal dari BRI. Kelompok membuka rekening di BRI, dan menyimpan.
Dalam berbagai usulan kelompok, ternyata memang "usaha tanam padi", tidak akan dibantu BRI. Karena mereka sudah paham betul, usaha ini secara ekonomi tidak menguntungkan.
Pertanyaan kepada Pemerintah Jokowi, khususnya Kementrian Pertanian, sejauh mana program kementrian ini menyentuh Mak Caun, Yanti dan petani gurem yang lain ?
Mereka adalah rakyat Indonesia yang termasuk.... kelompok masyarakat miskin. Jumlahnya mencapai 27,54 juta (BPS Pusat, Maret 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H