Seorang pemuda yang baru lulus pesantren terkejut saat memasuki sebuah mesjid di kampong terpencil. Setiap orang yang mau salat Jum’at mengalungkan kayu dan bangkai tikus. Bahkan di depan mesjid ada sebuah toko yang menjual aksesoris unik itu. setiap orang yang datang ke mesjid untuk salat Jumat diwajibkan membeli kalung itu untuk dipakai dalam salat Jumatnya. Sebagai seorang fresh graduate pesantren, darahnya menggelegak menyaksikan hal itu. “bi’dah cam mana ini” pikirnya.
Tak lama, seorang imam Jumat masuk. Dia mengenakan jubbah dan juga aksesoris aneh, kayu bakar dan bangkai tikus. Maka tekadnya semakin menguat untuk memberantas bid’ah yang sesat ini. sesaat setelah selesai shalat jum’at, kala para jemaah bersiap berdzikir, pemuda itu berdiri. Dia langsung berteriak membid’ahkan perilaku aneh para jemaah di tempat itu. “Shalat kalian tidak sah, karena tidak ikut sunnah Nabi. Mana pernah Nabi shalat menggunakan kayu bakar dan bangkai tikus. Siapa yang mengajari kalian perbuatan najis, bid’ah dan sesat itu? Kalau tidak ditinggalkan kalian pasti masuk neraka” teriaknya.
Jamaah yang mendengar hal itu tersinggung. Ibadah mereka dihina, guru mereka dicaci, dan mereka dipastikan masuk neraka. Tanpa komando, maka merekapun serentak mengeroyok pemuda itu sampai babak belur dan pingsan. Tiga hari tiga malam baru sadar. Setelah sadar diapun kembali ke pesantren dan melapor kepada gurunya.
Sang guru penasaran dengan kisah yang disampaikan muridnya. Diapun berniat untuk menyaksikannya dengan kepala sendiri. Datanglah dia pada hari Jumat menjelang salat Jumat, persis seperti yang diceritakan muridnya semua orang yang masuk ke mesjid mengalungkan kayu dan bangkai tikus. Dilihat khatib juga mengalungkan kayu dan bangkai tikus. Seribu pertanyaan muncul di kepala, sang guru namun dia diam saja dan diikuti sampai selesai shalat Jum’at kali ini
Setelah selesai Jumat, zikir serta salat sunnah, dia mendatangi dengan khatib jum’at yang merupakan kiyai setempat. Dalam obrolan sang guru tetap rendah hati dan tidak mengecam perbuatan aneh yang dia saksikan. Kiyai setempat merasakan pancaran keulamaan tamunya dan meminta sang guru untuk mengisi pengajian Jum’at siang. Dengan tetap rendah hati sang gurupun mengisi pengajian sesudah Jum’at. Pikiran tentang kayu bakar dan bangkai tikus itu terus membayanginya, namun kata bi’dah, sesat dan ahli neraka tak disemburkan pada jemaah. Dari pengajian pertama berlanjut ke pengajian berikutnya demikian seterusnya hingga Kiyai setempat meninggal dunia. Setelah kiyai setempat meninggal dunia, sang guru didaulat menjadi pelanjut.
Setelah kiyai setempat meninggal dunia, sang guru berusaha mencari jawaban atas pertanyaan lama. Dia lalu membongkar perpustakaan Kiyai. Pikirnya, tidak mungkin kiyai setempat berbuat sesuatu tanpa dalil. Akhirnya dia menemukan jawaban.
Dari perpustakaan Kiyai, dia menemukan sebuah hadis yang aslinya berbunyi “shallu bil wiqari wal khasyah”, “Salatlah dengan rasa hormat dan takut kepada Allah”. Tetapi buku hadis itu di makan rayap di beberapa titik sehingga hadis ini terbaca, ”shallu bi fa’r wal khasyabah” “Shalatlah dengan menggunakan tikus dan kayu bakar. Yakinlah sang guru bahwa inilah dalil yang digunakan kiyai setempat dalam melaksanakan ibadah itu.
Tapi bagaimana menyampaikannya kepada masyarakat agar tidak terjadi goncangan? Akhirnya dengan satu trik, sang guru menyampaikannya. Kepada masyarakat sang guru menyampaikan bahwa dia sudah tiga malam mimpi bertemu dengan kiyai setempat almarhum. Pada mimpi pertama, dia masih ragu-ragu, lalu terjadi lagi mimpi kedua. Baru pada mimpi ketiga sang guru merasa yakin untuk menyampaikan pesan Kiyai setempat kepada masyarakat.
Sang Guru bertanya kepada masyarakat, jika pesan Kiyai Setempat disampaikan, apakah masyarakat mau mengikutinya? Masyarakat segera mengangguk tanda akan mengikuti pesan Kiyai Setempat.
Apa Pesannya? Inilah Pesan Kiyai setempat dalam mimpi yang disampaikan sang guru, ”“Salat dengan menggantungkan tikus dan kayu bakar hanya dilakukan ketika saya masih hidup, sepeninggal saya tidak boleh lagi salat pakai tikus dan kayu bakar”
Sang Guru bertanya kepada masyarakat, “Apakah jamaah siap melaksanakan pesan Kiyai?” mereka menjawab “Siap!” dan setelah itu mereka tidak shalat lagi dengan menggantungkan tikus dan kayu bakar.
Cerita ini, saya dengar dari Buya Hamka saat pelatihan kader muballigh muhammadiyah di Yogyakarta. Menurut Buya Hamka, dakwah itu mengajak bukan mengejek. Dakwah adalah upaya mengubah satu perbuatan agar menjadi yang sesuai dengan sunnah Nabi. Oleh karenanya, dakwah juga harus dilakukan dengan bijaksana.
Di Indonesia sekarang ini banyak sekali pendakwah tipe pertama. Pendakwah yang langsung saja bereaksi panas saat ada hal yang menurut dia tidak sesuai. Pendakwah seperti ini akan berhadapan langsung dengan reaksi masyarakat yang juga tak kalah panas.
Tipe kedua, adalah tipe yang bijaksana. Pendakwah seperti inilah yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita. Jika memang perubahan harus dilakukan, maka lakukanlah dengan hikmah dan mauidzah hasanah. Memang butuh waktu dan kesabaran, namun hasilnya pasti akan lebih langgeng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H