Sejarah pergerakan nasional di Hindia Belanda (Indonesia) yang mengemuka pada pertengahan awal abad ke 20 tak pernah lepas dari dinamika politik internasional. Kenyataan ini yang seringkali dilupakan dan jarang diungkap dalam historiografi nasional.
Narasi sejarah yang ada hanya mengungkapkan bahwa pergerakan nasional Indonesia merupakan reaksi atas kolonialisme Belanda. Bahkan, yang lebih sempit dari ini, di dalam penulisan sejarah nasional, adalah, anakronisme yang pada selalu disebutkan adanya kontinuitas historis antara perlawan terhadap rezim kolonial Belanda di zaman Pangeran Diponegoro dan perlawanan pribumi serupa yang ditandai dengan kelahiran pergerakan nasional Indonesia pada masa kemudian.
Belum banyak studi yang mengangkat keterkaitan politik internasional dengan pergerakan nasional Indonesia. Dari sekian studi yang melakukan kajian terhadap dunia kolonial Hindia Belanda pada awal abad ke 20, hanya studi kemunculan komunisme yang ditulis oleh Ruth T. Mc Vey lah yang pantas mendapat apresiasi.
Mc. Vey yang menulis buku berjudul “The Rise Comunism in Indonesia” memperlihatkan kemunculan komunisme yang semula berwujud organisasi buruh kereta api (VSTP) bermetamorfosa menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia) setelah keterlibatan orang Indonesia di dalam Komitern (organisasi komunis internasional). Kemunculan komunisme harus dilihat tidak hanya sebagai reaksi atas kapitalisme yang ditopang oleh imperialisme Belanda, melainkan juga keputusan rapat-rapat komitern yang berpusat di Rusia.
Selain kemunculan komunisme, kelahiran organisasi pergerakan nasional, baik politik maupun non-politik, tak sedikit dipengaruhi oleh perkembangan dunia pada waktu itu. Dalam konteks persemaian ide nasionalisme, pergerakan nasional Indonesia merupakan satu dari sekian benih nasionalisme yang juga ditebar di Cina oleh Dr. Sun Yat Sen, kemudian di Filipina oleh sang martir yang sangat terkenal Jose Rizal.
Dalam konteks pergerakan yang lain, gerakan modernisme islam, pada saat yang sama, merupakan reaksi masyarakat islam Indonesia terhadap gejolak pembaruan islam yang terjadi di Mesir di bawah Jamalludin Al- Afghani, Muhamad Abduh, dan Rasyid Redha. Deliar Noer dalam disertasinya yang berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia mengukapkan betapa pengaruh pembaruan islam di Mesir, Turki, dan penyerangan kaum wahabi di Mekah sangat menetukan bagi apa yang dinamakan Harry J. Benda sebagai “renaisans islam” di Indonesia.
Dari realitas historis di atas terlihat bahwa wacana pergerakan nasional khususnya dan perubahan politik Hindia Belanda pada umumnya, tak pernah lepas dari perkembangan sejarah dunia. Satu dan yang lain saling mempengaruhi. Dalam tulisan ini saya akan mengungkapkan bagaimana wacana fasisme yang menggemparkan Eropa dan bahkan dunia pada tahun 1930-an sampai berakhirnya perang dunia II juga menjadi bahan perdebatan bagi kalangan pergerakan nasional di Hindia Belanda.
Demam fasisme yang melanda Jerman, Italia, dan Jepang, ternyata menarik perhatian sebagian besar kalangan pergerakan nasional yang sedang mengalami kemandekan akibat sikap represif pemerintah kolonial Belanda dan depresi ekonomi yang begitu menyengsarakan.
Pada saat situasi pergerakan hampir tak tertolong lagi, sebagian dari mereka ada yang percaya bahwa gerakan fasis dapat membantu mereka dalam usaha melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme Belanda. Sedangkan yang lain lagi, justru ketakutan dan bersuara menghimbau bahwa fasisme adalah ancaman yang lebih besar ketimbang kolonialisme. Mereka yang anti-fasis mengatakan bahwa fasis adalah musuh utama bagi sosialisme dan demokrasi yang dicita-citakan bangsa Indonesia.
Periode ini diwarnai dengan tanggapan-tanggapan serius kalangan pergerakan terhadap kemunculan fasisme. Beberapa tokoh menyuarakan imbauan “bahaya” fasisme di surat-surat kabar. Pada saat bersamaan, kelompok yang terpikat oleh fasisme mendirikan organisasi-organisasi fasis. Di Hindia Belanda terdapat tiga organisasi fasis yang cukup populer dan sempat membuat masyarakat gusar, yakni Nederland Indies Fascist Organisatie (NIFO), FU, dan Partai Fasist Indonesia (PFI).
Fasisme dan Kemunculanya di Eropa
Fasisme adalah kata yang tidak populer di Eropa sebelum tahun 1920-an. Adalah seorang revolusioner Italia bernama Benito Musolini yang mula-mula mempopulerkanya. Kata fasis berasal dari bahasa Italia fascio, dan bahasa Latin fasces yang berarti seikat batang kayu. Pada zaman kekaisaran Roma Kuno, lambang seikat kayu dan kampak dikenakan oleh petugas hukum sebagai simbol wewenang dan keadilan.
Menurut Mansour Fakih, kata fasces yang berarti ‘ikatan’ ini melambangkan kekuatan dari berbagai unsur berbeda yang menyatu. Lebih jauh lagi, fascio juga merupakan simbol pengabdian, loyalitas, pengakuan, dan kepatuhan atas otoritas negara. Negara dalam konsepsi fasis ini dianggap sebagai pusat sejarah dan kehidupan manusia. Dengan berpegang pada fasis, Musolini berkehendak ingin mengembalikan kejayaan Italia seperti zaman kekaisaran Roma Kuno.
Ide fasis yang dikemukakan Musolini harus dilihat terlebih dahulu kondisi sosio-politik macam apa yang mempengaruhi kemunculanya. Seperti telah diketahui, bahwa pada tahun 1914 sampai 1918, dunia dihadapakan pada pertikaian antar bangsa yang menyebabkan perang dunia I. Dampak dari perang ini sudah cukup untuk membuat dunia Eropa kacau balau secara politis dan ekonomis. Hampir semua negara Eropa yang terlibat dalam perang itu harus menanggung hutang atas pembiayaan yang dikeluarkan selama perang. Di tambah lagi, banyaknya korban yang berjatuhan telah membuat sebagian negara Eropa terpuruk secara moral.
Meskipun Italia termasuk kelompok negara pemenang perang, tidak lantas menghindarkan negara ini dari lilitan hutang yang teramat besar. Pada tahun 1920 hutang Italia mencapai 95.000 juta lira. Rakyat Italia hidup dalam kemiskinan dan pengangguran. Kesengsaraan semakin lengkap dengan biaya hidup yang sangat tinggi, yang naik sebanyak 600 persen dari tahun 1913 sampai 1920.
Perjanjian Versailles yang memberi imbalan kepada Italia sedikit tanah jajahan hanya menunjukan bahwa mereka benar-benar di tipu. Kondisi demikian diperparah ketika negara terlalu lemah untuk mengatasi keadaan tersebut. Pemerintahan Italia sebelum dan pasca perang diwarnai dengan konflik antar elit politik. Sebagai gambaran betapa parahnya krisis politik di Italia, sebelum fasis merebut kekuasaan, dalam kurun waktu 4 tahun telah terdapat 7 pemerintahan berbeda. Alhasil, rakyat sudah mulai muak dengan sistem pemerintahan parlemen yang hanya di isi oleh orang yang saling bertikai satu sama lain, tetapi tak merubah keadaan.
Di tengah keadaan itu Musolini muncul membawa semangat fasis. Ia mengkritik para politisi dan sistem demokrasi yang dianggapnya korup. Berikut pernyataan Musolini yang dikutib oleh Hugh Purcell dalam buku Fasisme; “Bagi saya (Musolini), saya sangat yakin bahwa demi sehatnya Italia sebagai negara, setidaknya perlu menembak punggung beberapa lusin anggota parlemen dan memenjarakan seumur hidup sepasang mantan menteri”. Bagi Musolini, tujuan fasis adalah jelas, merebut kekuasaan dari tangan-tangan korup dan mengebalikan kejayaan bangsa Italia. Dino Grandi, seorang tangan kanan Musolini, mengatakan “fasisme bermaksud memerintah negeri ini” apa pun caranya.
Melalui fasisme Musolini mengusung cita-cita nasionalisme dengan keinginan mengembalikan wilayah Italia sebelum perang –hal mana yang juga dituntut oleh para jenderal dan veteran perang, serta menciptakan sebuah negara sosialis, di mana negara menguasai sumber penghidupan dan mendistribusikan secara merata kepada seluruh rakyat. Pada tahun 1922, kekuatan fasis Musolini mengancam membuat raja mengulurkan tanganya untuk berkoalisi dengan mengangkatnya menjadi perdana menteri.
Setahun setelah Musolini naik tahta, seorang veteran perang Jerman berkebangsaan Austria bernama Adolf Hitler berpidato di tengah kerumunan rakyat Bavaria dengan mengatakan bahwa “apa yang terjadi di Italia tak mustahil terjadi di sini”. Rakyat Bavaria menyambut pidato Hitler itu dengan sorak sorai, walaupun itu tidak menjamin dukungan rakyat terhadap ide revolusionernya. Akan tetapi, terlepas dari nama Hitler yang tak diperhitungkan pada waktu itu, pidato tersebut merupakan awal dari orde baru yang akan mengubah sejarah Jerman sepuluh tahun mendatang.
Seperti Musolini, Hitler menilai perjanjian Versailles sebagai penghinaan terhadap seluruh rakyat Jerman. Perjanjian tersebut telah menyebabkan Jerman harus mengganti semua biaya perang, menerima penciutan wilayah, dan membatasi jumlah tentara hanya 100.000 personel saja. Selain itu, Jerman tambah dipermalukan karena dicap sebagai biang keladi peperangan. Bagi Hitler, para ‘penghianat November’ Weimar adalah kelompok yang harus bertanggungjawab atas penghinaan ini.
Tak jauh berbeda dengan Italia, rakyat Jerman tidak hanya menanggung malu akibat perang tetapi juga harus menanggung malu karena dirinya sendiri menjadi pengangguran. Krisis ekonomi, pengangguran, biaya hidup tinggi, kelaparan, wabah penyakit, telah membuat rakyat Jerman frustasi. Sebagai veteran perang, Hitler ingin mengembalikan kejayaan Jerman seperti masa sebelum perang dulu.
Perlu diketahui bahwa pada saat itu –pasca perang- banyak asosiasi para veteran perang yang dibentuk untuk menjaga semangat perang sekaligus persiapan untuk balas dendam. Di sini Hitler merupakan salah seorang yang membawa semangat itu. Guna menyingkirkan penjahat November yang ia panggil dengan sebutan ‘penjahat-penjahat pengecut’ dan mengembalikan harga diri bangsa Jermah, mula-mula Hitler mengambil alih kepemimpinan NSAD (Partai Buruh
Nasionalis Sosialis Jerman) cabang Munich.
Sebelum mengetahui lebih jauh gerakan fasisme, uraiain di atas telah menggambarkan kondisi sedemikian rupa yang menyebabkan kemunculan ide fasis. Apabila di rumuskan secara sederhana, kemunculan fasisme di dorong oleh empat faktor utama; krisis ekonomi (hutang yang harus ditanggung pasca perang), rasa malu dan harga diri yang hilang sebagai bangsa, kekecewaan terhadap demokrasi (pemerintahan parlemen yang tidak stabil), dan terakhir yang belum di jelaskan di atas adalah, ketakutan akan bahaya komunisme.
Ketika kapitalisme sedang menghadapi chaos, maka hanya ada dua kemungkinan besar, yakni perebutan kekuasaan (revolusi) kaum proletar yang disponsori oleh komunis, atau kemunculan faham nasionalistik reaksioner, fasisme. Baik di Italia mapun Jerman, kaum komunis ternyata tidak banyak menarik hati kelompok yang merasa kecewa atas sistem demokrasi yang sedang menunggu keruntuhnya. Mengenai ketertarikan rakyat jerman pada umumnya dan kelompok borjuis dalam mendukung faham fasisme dapat dilihat dari proses pengangkatan Hitler menjadi kanselir.
Karakteristik Rezim Fasis
Setelah Musolini mencapai kesuksesan besar dengan menjadi Perdana Menteri Italia, pada tahun 1923, Hitler memulai revolusi dengan mengambil alih pemerintahan Bavarian berupa defile di Berlin. Sayang, usaha yang sudah dipersiapkan Hitler bersama aliansi para politisi dan tentara ini ternyata gagal. Atas tindakan pemberontakan tersebut Hitler di penjara selama lima tahun.
Seperti para revolusioner yang lain, di dalam penjara Hitler mematangkan kembali ide-idenya dengan menulis buku berjudul Mein Kampf (perjuanganku). Mein Kampf merupakan kitab suci yang berisi petunjuk umum arah tujuan gerakan fasis. Setelah Hitler berkuasa dan menjadi diktator nomor wahid Jerman, Mein Kampf menjadi buku bacaan wajib bagi para murid di sekolah-sekolah.
Di dalam Mein Kampf, Hitler mengungkapkan cita-cita besarnya untuk mengembalikan kembali kedigdayaan Jerman. Untuk mencapai tujuan itu maka rakyat Jerman harus bersatu menjadi negara yang kuat. Konsep negara yang kuat dan mendominasi dipengaruhi oleh dua filsuf Jerman ternama yakni George Hegel dan Nietzsche.
Bapak totalitarian, George Hegel, menyatakan bahwa manusia hanya bisa hidup di dalam sebuah negara yang kuat, yang berarti negara yang selalu siap berperang melawan negara-negara lain. Negara yang kuat diukur dari seberapa besar ia memperoleh kekuasaan.
Peperangan sebagai cara yang jauh dari moralitas manusia dibenarkan oleh filsafat Nietsche yang percaya bahwa manusia sejatinya bukanlah makhluk rasional yang sanggup menjalankan kode-kode moralitas untuk kebaikan masyarakat dan dirinya. Lebih jauh lagi, menurut Nietsche, manusia adalah makhluk bengis dan irasional. Kehidupan manusia diibaratkan seperti kehidupan binatang di hutan; siapa yang kuat maka dialah yang mendominasi. Demikian Hitler membayangkan negara Jerman Raya kelak.
Setelah mendekam selama lima tahun di penjara, Hitler kemudian kembali menggalang kekuatan politik dengan cara membentuk koalisi bersama Partai Nasional. Partai Nazi yang dipimpinya kini lebih mempunyai prestise ketimbang sebelumnya. Bergabungnya Partai Nasional dapat dipastikan sebagai bentuk kekecewaan para nasionalis terhadap pemerintah dan ketakutan mereka akan bahaya komunisme yang bisa meruntuhkan kekuasaan negara.
Atas dasar tersebut, Hitler yang populer dengan ide greater Germany menjadi opsi terakhir untuk mempertahankan kelangsungan Jerman. Pada tahun 30 Januari 1933 Hitler diangkat menjadi kanselir atas dukungan ‘old gang’, sebuah kelompok di parlemen yang terdiri dari kalangan aristrokrat, industrialis, dan para jendral. Dukungan ‘gang tua’ yang merupakan kelompok para penyokong kapitalis ini sangat menentukan karena sampai saat itu -dan seterusnya- Partai Nazi tidak pernah menjadi mayoritas di parlemen.
Bagaimana Hitler memerintah Jerman setelah menjadi kanselir? Hal pertama yang dilakukan Hitler adalah menyikirkan lawan politiknya yang paling utama, yakni kelompok sosialis dan komunis. Pada tanggal 27 Februari 1933 gedung parlemen (reichstag) terbakar, dan Hitler menuduh kaum komunis dibalik peristiwa itu. Tuduhan Hitler tersebut memuluskan langkah politiknya untuk menangkapi semua orang komunis.
Tak hanya itu, peristiwa Reichstag juga memuluskan langkah Hitler menjadi diktator. Akibat peristiwa Reichstag, Hitler menerapkan keadaan darurat perang, mengerahkan polisi, menyensor pers, membubarkan rapat umum, dan tak memberi kebebasan bagi rakyat untuk mengungkapkan pendapat. Pengintimidasian terhadap kaum komunis dilakukan karena menurut kepercayaan Hitler mereka adalah kelompok yang hanya akan membuat rusuh keadaan.
Sedangkan, prisip kediktatoran (fuhrerprinzip), merupakan ciri ide fasisme yang selalu menganggap bahwa demokrasi adalah keadaan sedikit lebih baik daripada chaos. Kediktatoran dianggap sebagai jalan demi terwujudnya negara yang kuat dan mendominasi.
Pemerintahan Hitler dibangun atas tiga prinsip yakni Ein Reich, Ein Volk, Ein Fuhrer. Ein Reich adalah konsepsi mengenai negara totaliter yang mengatur kehidupan manusia sepenuhnya. Berkebalikan dengan demokrasi, dimana rakyat yang menentukan proses kehidupan bernegara, prinsip totaliter mengatur segala aspek kehidupan rakyatnya. Oleh karena kehidupan berpusat pada negara, maka kebebasan rakyat tidak dijamin.
Negara di atas segalanya dan lebih berharga ketimbang manusia. Mencapai negara kuat diperlukan disiplin dan kepatuhan rakyat, sehingga demokrasi yang memberikan kebebasan berpendapat bukanlah bentuk ideal negara kuat. Apabila Ein Reich berarti tak memberikan hak hidup rakyat kecuali hanya untuk kepentingan negara, maka Ein Volk lebih mengerikan lagi karena konsep terakhir ini mencakup nasionalisme yang berpaham rasialis. Sejak semula dalam buku Mein Kampf Hitler berkeinginan untuk menyatukan dan mengembalikan kebesaran bangsa Aria. Pandangan ini didukung oleh asumsi bahwa bangsa Aria (berkulit dan rambut putih - bermata coklat) adalah pusat peradaban dunia, dan bahkan ia diciptakan untuk menguasai bangsa-bangsa lain.
Dalam Mein Kempf juga Hitler menunjukan kebencianya terhadap bangsa Yahudi yang menurut kepercayaanya telah membuat konspirasi besar untuk menghancurkan kekuasaan kulit putih. Hitler mengatakan bahwa bangsa Yahudi yang berada dibalik penghiatan November, dan bangsa Yahudi adalah penjahat-penjahat dibalik penderitaan rakyat Jerman.
Ein Fuhrer atau satu pemimpin merupakan inti dari ide fasisme, karena Ein Fuhrer menjadi syarat utama terbentuknya sebuah negara dan pemerintahan yang kuat. Di Jerman Hitler dielu-elukan sebagai sang fuhrer, sedangkan di Italia Musolini dipanggil dengan Il Duce.
Rakyat Jerman dan Italia menyambut suka cita pemerintahan baru mereka di bawah fasisme, meskipun mereka juga menyadari bahwa rezim baru itu akan merenggut kebebasan mereka sendiri.
Di sinilah uniknya –seperti Gramci yang sempat tercengang melihat kaum proletar adalah termasuk pendukung fasis sehingga ia harus melihat kembali teori determinasi ekonomis Marx-, bahwa rakyat Italia dan Jerman seperti sedang disihir oleh seorang diktator, yang satu gila perempuan dan yang satu berkumis aneh, dengan pidato meledak-ledak dan konvoi baris-berbaris pasukan badai yang mengerikan di alun-alun kota.
Segera setelah itu, Jerman mengalami sebuah orde baru. Jerman membangun kembali kekuatan militernya dengan mendirikan pabrik-pabrik senjata dan mengerahkan para penganggur untuk menjalani pelatihan militer atau direkrut menjadi anggota pasukan badai yang punya reputasi tak berkemanusiaan. Pemerintah fasis menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan membuka beberapa perusahaan yang sempat kembang kempis semasa krisis. Italia dan Jerman sedang membangun kekuatan, dan sebuah kekacauan baru akan segera terjadi kemudian.
Pergerakan Nasional di Hindia Belanda dan Wacana Fasisme
Pada tahun 1930-an, ketika berita Hitler yang dianggkat menjadi kanselir menyebar ke seluruh penjuru dunia, pergerakan nasional di Hindia Belanda sedang mengalami masa sulit. Setidaknya ada dua penyebab mengapa pergerakan pada dasawarsa ini lesu. Pertama, setelah pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang gegabah pada tahun 1926-1927 gagal, pemerintah bertindak represif dan mengawasi lebih ketat kegiatan politik yang dianggap radikal dan berbau komunis.
Pemerintah kolonial berkomitmen tidak akan mentolelir setiap aktivitas politik yang dapat menggangu rust an orde. Kedua, depresi ekonomi tahun 1930 yang telah membuat bangkrut banyak perusahaan swasta dan pemerintah telah menggiring rakyat Hindia Belanda ke dalam krisis ekonomi yang mengerikan; pengangguran dimana-mana dan harga kebutuhan hidup melambung tinggi.
Dua keadaan tersebut tentu saja membuat kalangan pergerakan nasional berpikir ulang, kalau bukan menyusun strategi perjuangan baru yang dianggap sesuai dengan konteks zaman. Satu hal yang pasti adalah bahwa pergerakan nasional tak lantas mati. PNI yang dibekukan pemerintah kolonial dan pemipin utamanya Sukarno ditangkap, telah bermetamorfosa menjadi PNI Baru dan Partindo, meskipun hal ini menunjukan fakta adanya perpecahan.
Seperti yang akan kita lihat, wacana pergerakan pada dasawarsa lesu itu, akan sangat riuh oleh wacana kemunculan fasisme di eropa. Bagi sebagian orang mungkin menganggap bahwa wacana fasisme di Hindia Belanda pada waktu itu tak mengandung arti. Akan tetapi, disadari atau tidak, wacana itu telah memantapkan kalangan pergerakan nasional mengenai bagaimana seharusnya negara Indonesia kelak dibangun; apakah berdasarkan demokrasi atau dasar yang lain, seperti fasis misalnya. Lebih jauh lagi, wacana fasisme membuat kalangan pergerakan melakukan rethinking of nasionalism atau mencari makna kembali nasionalisme Indonesia.
Dalam menanggapi wacana fasisme, kaum pergerakan nasional terpecah menjadi dua faksi; antara mereka yang melihat fasisme sebagai bahaya (yang diwakili oleh PNI Baru, Partindo, dan Gerindo) dan kelompok yang antusias menyambut fasisme (Parindra). Tokoh PNI Baru, Mohamad Hatta, menulis sebuah artikel di harian Daulat Rakjat yang berisi tentang sebuah analisis kemunculan fasisme.
Menurut Hatta, kemunculan fasisme di Eropa adalah sebagai reaksi atas demokrasi yang baru saja ditegakan setelah orde lama di bawah kemonarkian hancur. Namun demikian, demokrasi yang semula dianggap sistem yang baik untuk menjalankan fungsi pemerintahan ternyata dianggap gagal. “Pada masa itu demokrasi menjadi perkakas mereka.
Akan tetapi, tatkala demokrasi itu sudah besar dan semakin lama semakin berbahaya bagi kapitalisme sendiri, maka mereka menolaknya”. “Pada saat kaum borjuis memandang demokrasi terlalu berat”, demikian kata Hatta, maka di negeri itulah fasisme muncul. Di atas telah dijelaskan kondisi masyarakat Italia dan Jerman yang sudah frustasi akibat krisis ekonomi dan politik pasca perang yang tak bisa ditangani oleh pemerintahan yang lemah.
Di Italia parlemen dicemooh dengan sebutan ‘toko omong kosong’, sedangkan di Jerman anak-anak sekolah diajarkan untuk membenci parlemen. Tulisan Hatta yang lain menjelaskan keadaan ini, sebagai “kelemahan demokrasi... “karena ia tidak mampu memerangi kesengsaraan rakyat, tidak mampu menimbulkan kemakmuran yang dijanjikan”.
Selain menganalisis kemunculan fasisme dari sudut pandang kegagalan demokrasi, Hatta juga melihat kesuksesan fasisme di Jerman tidak lepas dari kondisi zaman yang tidak nomal, penuh ketidakpastian, dan kemerosotan ekonomi. Oleh karena itu, menurut Hatta, kediktatoran fasis sebenarnya adalah irasional dan hanya berdasar atas “sembojan dan demagogi” di tengah keterpurukan rakyat.
Analisis Hatta di atas sebenarnya ditujukan untuk memberi pemahaman bagi kaum pergerakan mengenai fasisme secara umum. Istilah fasisme meski sering muncul di berbagai surat kabar, pemaknaan terhadapnya masih terkesan simpang siur.
Wilson mencatat beberapa pemahaman kaum pergerakan yang masih abu-abu mengenai fasisme, diantaranya dalam koran Adil terbitan Solo tertanggal 26 juli 1933, yang melihat fasisme di Jerman sebagai hal yang positif dan “beloem tentoe tidak baik” (Wilson, 2008;66-67). Keterangan selanjutnya dijelaskan bahwa fasisme di Jerman dan Italia sangat berbeda dengan fasisme di Hindia Belanda, karena di tanah jajahan ini fasisme adalah fasis Belanda yang menghendaki penjajahan belanda sampai selama-lamanya.
Dari sini dapat dilihat bahwa fasis yang dimaksud dalam koran Adil adalah prilaku imperialistik yang didasari oleh nasionalisme ala barat –meminjam istilahnya Sukarno. Pandangan melihat pemerintah kolonial sebagai fasis tersebut sebelumnya sudah pernah dilontarkan oleh Tan Malaka pada tahun 1925, ketika ia mengkritik aksi provokasi Sarekat Hidjau, sebuah organisasi anti-komunis yang bentukan pemerintah yang sering melakukan intimidasi terhadap kelompok pergerakan. Tan Malaka menyamakan aksi Sarekat Hijau dengan pasukan teror bentukan Musolini.
Berkali-kali pemahaman mengenai fasisme ditandaskan. Kali ini melalui sebuah buku dan kamus, masing-masing adalah buku terjemahan dari bahasa Belanda karya Dr. Banning berjudul Nasional Sosialisme dan kamus Marhaen yang ditulis oleh Doel Arwono, seorang wartawan surat kabar Partindo, Berdjuang. Menurut Wilson, diterbitkanya buku Nasional Sosialisme menguatkan kenyataan betapa banyak kalangan pergerakan yang tertarik dengan ide nasional sosialisme yang diterapkan Hitler di Jerman.
Kamus Marhaen yang dibuat oleh Doel Arwono adalah kamus politik pertama yang disusun untuk memberikan pengetahuan bagi para pembaca agar tidak kebingungan dengan kata-kata asing. Di dalam kamus politik tersebut, Doel Arwono mencantumkan kata fasisme dan mendefinisikanya secara panjang lebar. Fasisme dalam kamus ini diartikan sebagai “(faham) kebangsaan jang akan meninggikan deradjat bangsanja sadja, tidak mengenal kemanoesiaan..Toedjoean Fasisme jalah mendirikan negara jang koeat; tiap individu, tiap warga negara dianggap alat belaka dalam mentjapai tujuan tadi”.
Bagi kebanyakan kaum pergerakan yang menjunjung tinggi demokrasi dan sosialisme, fasisme dipandang sebagai orde yang didirikan oleh kaum kapitalis yang sedang sekarat akibat krisis. Fasisme adalah tiang tempat bergantung kaum kapitalis setelah di masa krisis demokrasi tidak mampu menopang mereka. Analisis demikian terlihat pada tulisan-tulisan Hatta yang mengisi kolom surat kabar Daulat Rakjat sepanjang tahun 1930-an.
Seolah mengamini Hatta, PNI dan Partindo sebagai partai nasionalis juga mengemukakan pandangan sama. Seorang propagandis PNI bernama Darmoto dalam sebuah rapat umum di Surabaya tak lelah memberi pencerahan bahwa kaum borjuis lah yang ada dibalik aksi fasis itu. Berikut pernyataan Darmoto yang saya kutib dari buku Wilson, “Oleh karena crisis sekarang mengamoek maka kaoem econom, ningrat, dan borjoeis pun bikin actie, jang actie itoe beroedjoed fascisme”.
Selain analisis kemunculan fasisme, yang paling menjadi perhatian kaum pergerakan adalah konsep nasionalisme yang diusung oleh fasisme, baik di Italia di bawah Musolini maupun di Jerman di bawah panji-panji Nazi dan Hitler. Menarik bahwa sebagai partai nasionalis yang mengusung perjuangan kebangsaan, PNI tetap konsisten bersikeras menolak gagasan nasionalisme ala Nazi.
Nasionalisme yang dikonsepkan Nazi adalah nasionalisme rasialis, sedangkan nasionalisme PNI tidak berkenaan dengan warna kulit melainkan perjuangan untuk lepas dari jeratan imperialisme dan sistem kelas yang diciptakanya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan konsep nasionalisme kaum pergerakan, sebagaimana Sukarno pernah menulis di surat kabar pandji islam pada tahun 1940 yang mengecam keras prinsip fasis yang tidak demokratis dan mengekspresikan nasionalisme KE-Aria-an. Sukarno memandang nasionalisme yang menjiwai rakyat jerman di bawah fasisme Hitler adalah nasionalisme ekpansionis.
Alhasil, bukanya menjadi alternatif, nasionalisme fasisme malahan ditolak oleh kaum nasionalis Indonesia. Sikap tersebut terlihat tatkala kaum nasionalis bereaksi keras atas penyataan Agus Salim dan sebuah tulisan di surat kabar Adil yang jelas-jelas menanggapi positif nasionalisme ala Hitler. Pada saat itu, Agus Salim membenarkan nasionalisme Jerman karena didasari atas keinginan rakyat Jerman untuk menyelamatkan dan mengembalikan harga diri bangsa Jerman yang telah dilukai akibat Perang Dunia I.
Partai Fasist Indonesia
Salah kalau dikatakan deman fasisme hanya menyebar di Eropa saja. Pada kenyataanya, fasisme juga menyebar ke belahan dunia timur, termasuk tanah jajahan Belanda, Hindia Belanda. Di Hindia Belanda fasisme menjadi isu hangat dan sering menjadi headline surat kabar. Gambar Hitler bisa ditemui pada era-era itu. Sjahrir yang ketika itu sedang berada dipengasingan Banda melaporkan bahwa seorang istri Dokter di sana menyapa temanya dengan salam “Heil Hitler” seperti sering dilafalkan rakyat Jerman ketika menyapa pemimpinya.
Menurut Sjahrir, si istri Dokter itu sebenarnya tak tahu menahu tentang fasisme, ia hanya mengikuti salam yang sedang nge-trend pada waktu itu. Tak hanya cara mengucapkan salam saja, deman fasisme bisa dilihat dengan keberadaan kelompok-kelompok anak muda Indo dan totok yang membentuk kompi baris berbaris dengan atribut dan seragam kemeja warna krem.
Mereka juga meneriakan salam “Heil Fuhrer”, “Heil Hitler”. Patut dicatat juga, ada sekitar 1000 orang Jerman di Hindia Belanda yang menandatangi sebuah pernyataan dukungan terhadap kepemimpinan Hitler.
Kalau sebelumnya di bioskop kota agak jarang atau malah tak pernah memutar film Jerman, kini film Jerman dan film berbau propaganda fasis diputar di mana-mana. Mereka yang antusias terhadap film begini kebanyakan adalah kalangan Indo. Iklan-iklan film dalam bentuk reklame itu sangat menarik perhatian rakyat. Salah satu film yang bisa disebutkan di sini adalah dilm perang Jerman berjudul Mikhael Strogov.
Di atas telah dilihat bagaimana fasisme menjadi trend dan simbol modernitas di Hindia Belanda, meskipun fenomena itu belum seberapa. Ada lagi yang lebih mencengangkan yakni keberadaan organisasi yang mengadopsi semangat fasis di Hindia Belanda seperti VC (Vaderlandsche Club), IEV (Indo-Europessche Vereninging), NSB (Nasionaal Socialistische Bewenging), NIFO (Nederland Indies Fascist Organisatie), dan Partai Fasist Indonesia. Bahkan, di Solo ada organisasi Anti-Pribumi yang didirikan oleh beberapa keluarga Indo di kota itu.
Apa yang mendorong kemunculan organisasi fasis di Hindia Belanda? Apakah kemunculanya hanya karena mengikuti trend seperti salam “Heil Fuhrer” yang diucapkan banyak orang itu? Ada dua faktor yang menyebabkan organisasi fasis bermunculan di Hindia Belanda. Pertama, ide fasis lahir dari situasi krisis, sehingga menjadi alternatif bagi rakyat di Hindia Belanda yang sedang menghadapi situasi serupa. Kedua, struktur masyarakat kolonial yang dibangun atas dasar bangunan rasial. Dua hal tersebut, terutama yang terakhir, telah mendorong terkelompokanya masyarakat berdasarkan ras secara terorganisir.
Melihat kondisi pergerakan yang sedang meredup dan kemunculan organisasi fasis itu, pergerakan nasional Indonesia harus menghadapi dua musuh utama; kolonialisme belanda di satu sisi, dan gerakan fasisme di sisi lain.
Dua organisasi yang menjadi pemula bagi kelahiran organisasi yang mengadopsi fasisme yakni VC dan IEV. VC (Vaderlandsche Club) merupakan organisasi orang-orang ‘totok’ dibentuk sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah kolonial yang semakin menambah komposisi kaum pribumi di volkstraad. Melihat motif organisasi yang didirikan pada tahun 1913 ini, maka jelas bahwa sentimen rasial sangat menonjol sekali. Terlebih lagi VC memang dibentuk untuk melindungi kepentingan kelompok masyarakat totok. Organisasi mirip juga didirikan kelompok Indo dengan nama IEV (Indo-Europe Verennging). Motif IEV pada dasarnya tak berbeda dengan VC, hanya saja IEV ini adalah milik orang Indo, yang tujuanya untuk melindungi kepentingan mereka selama depresi ekonomi terjadi.
Organisasi yang terang-terangan mendaku sebagai kepanjangan dari NSB (Nasional Sosialisme Beweging) adalah NIFO (Nederland Indies Fascist Organicatie). Tak ada keterangan jelas kapan NIFO secara resmi berdiri. Seperti diungkapkan Wilson, NIFO mensponsori kegiatan propaganda fasisme melalui kursus politik yang biasanya diadakan di rumah-rumah tertentu. Akan tetapi, yang paling menonjol dari NIFO adalah kelompok para militernya yang disebut Barisan Pemuda. Dengan pakaian seragam hitam-hitam Barisan Pemuda ini diberi pelatihan ketentaraan.
Apakah fasisme yang menggema di Jerman memberikan inspirasi bagi kaum bumiputra, setelah sebagian kaum Indo dan totok terpesona dengan Hitler dan mendirikan oganisasi berhaluan fasis? Seperti kita lihat di atas, ada sebagian kaum perjuangan yang menolak fasisme karena dianggap akan membawa bahaya bagi demokrasi. Meskipun begitu, terdapat kaum pergerakan yang melihat fasisme sebagai suatu cara untuk mengekspresikan nasionalisme. Setidaknya ada dua organisasi yang menyatakan ketertarikanya terhadap ide fasis, yakni Partai Fascist Indonesia dan Parindra.
Partai Fascist Indonesia (PFI) didirikan oleh bekas anggota PNI Lama dan seorang intelektual lulusan pendidikan Barat, Notonindito, pada tahun 1933 di Bandung. PFI mempunyai cita-cita untuk membangunkan kembali kerajaan-kerajaan kuno seperti Majapahit, Mataram, dan Sriwijaya. Kerajaan-kerajaan tadi akan dijalin menjadi satu kesatuan dalam bentuk federasi. Pendirian PFI mendapat reaksi keras dari kaum pergerakan karena dianggap mengembangkan ide nasionalisme primordial, suatu hal yang sesungguhnya pernah diselesaikan dalam konggres pemuda. Nasionalisme PFI dapat dilihat dari dua tujuan partainya;
1) Mendapatkan kemerdekaan Jawa dan nanti diangkat seorang raja yang tunduk kepada grondwet dan raja ini merupakan turunan dari Panembahan Senopati.
2) Akan membangun suatu statenbond (perserikatan negeri-negeri) dari kerajaan Indonesia yang merdeka, dimana terhitung juga tanah-tanah raja.
Dari dua point tujuan PFI terlihat bahwa nasionalisme yang dimaksud adalah nasionalisme primordial yang sangat menonjolkan unsur kejawaan. Partai lain yang mendukung dan menaruh simpatik terhadap fasisme adalah Parindra. Berbeda dengan NIFO atau juga PFI, Parindra yang didirikan oleh Dr. Sutomo –seorang tokoh senior Budi Utomo- ini mengungkapkan simpatinya terhadap kemajuan negeri Jepang.
Dukungan Parindra bisa dimengerti, karena Dr. Sutomo sendiri secara khusus pernah mengunjungi Jepang dan terkagum-kagum melihat kemajuan yang sedang dialami negeri sakura itu. Bagi Parindra, kekuatan Jepang yang semakin dominan di Asia Tenggara dapat membantu melepaskan diri dati cengkraman kolonialisme Belanda. Dukungan Parindra tersebut bukan tanpa gugatan. Kaum nasionalis tentu melihat bahaya imperialistik Jepang yang bisa saja setiap saat mengancam Hindia Belanda.
Dinamika politik di Hindia Belanda tidak bisa dipisahkan dari perubahan politik dunia. Hal yang sama juga terjadi pada pergerakan nasional yang menyertainya. Mengesampingkan kondisi perpolitikan dunia dalam melihat pasang surut pergerakan nasional sama halnya dengan mengingkari kebangkitan nasional yang sedang terjadi di negeri-negeri Asia.
Kenyataanya, para tokoh pergerakan selalu mengikuti perkembangan dunia dan memanfaatkan keuntungan dari perubahan-perubahan itu. Jalinan yang terikat antara pergerakan nasional dan perpolitikan dunia sangat terlihat ketika kondisi Eropa sedang berkecambuk perang dunia.
Pada saat jalinan negeri Belanda dan tanah jajahan terputus, maka pemerintah kolonial membentuk dewan rakyat yang nantinya diharapkan dapat membantu pemerintah mengatasi perubahan yang sedang terjadi. Pasca perang, tatkala komunikasi kembali normal, jalinan Eropa dan Hindia Belanda di warnai dengan fenomena kemunculan fasisme di Italia dan Jerman.
Kemunculan fasisme yang bebarengan dengan depresi ekonomi menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan pergerakan. Mereka melihat perubahan dunia, sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana melakukan reaksi terutama dalam konteks pergerakan dalam negeri.
Pada waktu itu, kata fasisme paling sering muncul di surat kabar. Meskipun begitu, belum banyak kaum pergerakan yang paham hakikat dari fasisme. oleh karena itu, beberapa tokoh baik dari PNI maupun Partindo, berkali-kali mengingatkan dan memberi penjelasan mengenai arti dari kata fasisme. Bagi keduanya, memahami fasisme sangat penting sebelum memberikan penilaian terhadap ide itu.
Dalam menanggapi fasisme, kaum pergerakan nasional terpecah menjadi dua; kelompok yang mendukung ide fasisme (Parindra) dan kelompok yang menolak (PNI Baru dan Partindo).
Disamping kelompok tersebut, ada juga organisasi politik yang mengadopsi dan mengidentifikasikan diri sebagai organisasi berhaluan fasis seperti NIFO, FU, dan Partai Fascist Indonesia. Terlepas dari polarisasi politik akibat demam fasisme, yang juga harus diperhatikan di sini adalah, bahwa pada periode ini kaum pergerakan kembali lagi memikirkan ulang konsep nasionalisme Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H