Saya punya kenalan lama. Dia seorang guru di era 1960-an. Namanya Pak Naro. Pria kelahiran Temanggung ini, selain ramah, juga tak pernah kehabisan cerita. Jiwanya sebagai seorang guru mencerminkan keluasan pengetahuan. Caranya berkisah sangat mengesankan.
Ketika cerita pengalamannya menjadi guru di era pemerintahan Sukarno, mimik wajahnya seketika berubah.Dari nada suara yang kalem, Â ia tiba-tiba menjadi bersemangat. Maklum, Profesi guru, bagi dirinya, adalah sebuah kebanggaan.Â
Pak Naro menjadi guru sejak ia berusia belia. Ia adalah pria satu-satunya yang dihormati di desa tempat dia tinggal lantaran status keprofesiannya. Penghormatan ini, katanya, memang lazim diberikan masyarakat kepada seorang guru pada masa dulu.Â
Sebagai seorang guru, ia sadar betul pada tugasnya. Malah, Pak Naro, selalu menempatkan dirinya menjadi bagian dari memajukan bangsa. Misi ini, katanya, adalah bagian dari perjuangan "nation building" yang selalu didengung-dengungkan Presiden Sukarno.Â
Pada era 1960-an, demikian Pak Naro berkisah, adalah era dimana kepedulian masyarakat terhadap pendidikan masih sangat rendah. Tak banyak anak-anak yang mau masuk sekolah. Alasannya bukan karena biaya sekolah mahal. Rata-rata orang tua tidak memperbolehkan anaknya sekolah karena alasan pekerjaan. Kebanyakan orang tua masih berpandangan bahwa tugas seorang anak adalah membantu orang tuanya (titik!). Â
Dalam keadaan demikian, tugas menjadi guru pun tidak hanya mengajar di kelas. Pak Naro tidak hanya mengajarkan menulis huruf latin dan membaca, tetapi juga mengajak anak-anak di desa agar mau sekolah. Ia tak segan mendatangi rumah-rumah untuk membujuk orang tua supaya mau memasukkan anaknya ke sekolah. Bagi Pak Naro, pendidikan adalah bagian dari memajukkan bangsanya.
Dalam menjalankan tugas yang tidak ringan itu, Pak Naro harus menutupi beban kehidupannya. Kesejahteraan menjadi guru belum mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Gaji guru sangat rendah. Bahkan, untuk membeli sepatunya saja ia tak mampu. Sepanjang menjadi guru selama 5 tahun ia hanya memiliki dua pasang sepatu. Itu pun ia beli dengan susah payah.Â
Kesejahteraan guru yang dirasa jauh dari standar tersebut telah mendorong Pak Naro untuk bergabung dengan organisasi guru PGRI Non Vaksentral. Organisasi guru Non-Vaksentral merupakan pecahan dari PGRI yang diidentikkan memiliki hubungan dengan PKI. Sejumlah literatur menyebutkan PGRI Non Vaksentral memiliki ambisi politik karena afiliasinya dengan partai.
Menurut Pak Naro, keikutsertaannya dengan PGRI Non Vaksentral hanyalah usahanya untuk menyampaikan aspirasinya sebagai seorang guru. Ia berharap dengan dukungan anggota dan kesamaan visi di dalam organisasi tersebut, bisa menjembatani tuntutan peningkatan kesejahteraan bagi guru.Â
Peristiwa 1 Oktober 1965 yang Merubah Hidup Pak Naro
Pada akhir tahun 1965, pusaran politik di Jakarta memanas. Pada dini hari, ada penculikan jendral yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang menamai diri mereka Gerakan 30 September (G30S).