Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memperbincangkan Terminologi Ulama

27 September 2018   22:49 Diperbarui: 27 September 2018   23:18 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 2019, istilah Ulama tidak lagi diperbincnagkan tetapi sudah "diperebutkan" oleh  masing masing kubu pasangan capres cawapres. Kubu petahana (incumbent) menggandeng KH. Ma'ruf Amin yang notabenenya ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Syuriah PBNU. Kubu penantang (Prabowo Sandi) menandatangani pakta integritas bersama Ulama yang tergabung dengan Ijtima Ulama jilid I dan II.

Mengapa ulama menjadi rebutan? Ulama adalah sosok manusia yang sempurna baik dari aspek pengetahuan, kepribadian dan perilaku. Dengan menggunakan istilah ulama, diharapkan masing masing pasangan capres cawapres akan mendapatkan dukungan rakyat secara maksimal yang akhirnya bisa memenangkan "pertarungan" untuk memperebutkan kursi RI 1.

Publik banyak yang mempertanyakan, tatkala Hidayat Nur Wahid memberikan  sebutan ulama kepada Sandiaga Shalahudin Uno. Melalui akun twitter @hnurwahid mengatakan "Kreteria (bukan gelar) ulama yang saya kaitkan dengan Sandi, bukan karena jabatanya sebagai pembina ormas, tapi karena al qur'an khususnya surah Fathir: 28, kreteria ulama selain banyak ilmu juga Khasyyah pada Allah swt". Dalam twitternya @mohmahfudmd juga mengatakan " Dalam arti harfiyah, ulama berarti orang yang banyak ilmunya, termasuk ilmu politik, ilmu hukum, sosiologi, agama dan sebagainya. Tapi dalam arti istilahy ulama itu artinya orang yang banyak ilmu agamanya, terutama fiqh. Kalau mau pakai arti harfiyah maka Huntington, Adam Smith, Karl Marx, Sandi adalah ulama".   

Ulama Dalam Al Qur'an dan Hadis

Kata ulama ada yang disebut secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit ulama diilustrasikan  sosok manusia yang selalu takut atau taat kepada Allah SWT " ... Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun". (QS. Fathir : 28). Kata takut mengandung makna, selalu takut untuk berbuat melanggar ketentuan Allah SWT. Ulama berarti selalu berusaha untuk tidak akan melakukan kesalahan atau pelanggaran kapan saja,  dimana saja serta dalam bentuk apapun juga. Dalam hadis, Ulama disebut sebagai pewaris para Nabi " Ulama adalah ahli waris ara Nabi " ( HR. At Tirmidzi).  Artinya ulama harus mampu meniru atau menteladani seluruh sikap kepribadian dan perilaku para nabi atau utusan Allah SWT.

Kata ulama juga di sebut secara implisit yang disejajarkan dengan  tiga macam kata yaitu ; Pertama,  Ulama adalah orang yang  mengetahui. Firman Allah SWT " Katakanlah: Adakah sama antara orang yang mengetahui dengan orang orang yang tidak mengetahui?" (QS. Az Zumar :9). Artinya Ulama adalah sosok manusia yang memiliki wawasan dan pengalaman luas sehingga mengetahui dna memahami berbagai macam persoalan.

Kedua, Ulama adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Firman Allah SWT " Allah meninggikan orang orang yang berimandiantara kamu dan orang orang yang memiliki beberapa ilmu pengetahuan beberapa derajat " ( QS. Al Mujadalah : 11). Ayat ini menjelaskan, bahwa ulama adalah sosok manusia yang memiliki kesahlian atau profesionalisme berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan tertentu, misalnya ahli hukum Islam (Fiqh), ahli ilmu tafsir (mufasir), ahli ilmu politik, ahli ilmu filsafat, ahli ilmu ekonomi, ahli ilmu teknologi dll.

Ketiga, Ulama adalah orang yang selalu menjadi rujukan atau tempat bertanya tentang berbagai persoalan ummat. Firman Allah Swt " Maka bertanyalah kepada orang yang ahlu dzikir (ulama) jika kamu ntidfak mengetahui" (QS. An Nahl : 43). Ayat ini menegaskan ulama adalah sosok yang benarbenar menjadi rujukan jika sewaktu waktu ummat memiliki persoalan kehidupan sosial.

Makna Pesan

Al qur'an di turunkan kepada manusia pada hakekatnya sebagai petunjuk kepada manusia (hudalinnas) dan pembeda antara yang benar dan salah (bayyinati minal huda wal furqan). Dengan mengetahui dan memahami isi al qur'an dan hadis, manusia akan lebih jernih dalam melihat realitas sehingga benar benar bisa menghindari apa yang di larang dan meningkatkan amal baik sesuai yang diperintahkan. Pesan al qur'an dan hadis dimaksudkan untuk memperbaiki pribadi masing masing umat Islam agar menjadi manusia yang sempurna (Insan kamil).

Banyak sekali ayat al qur'an dan hadis yang menjelaskan tentang ciri atau karakter orang beriman, bertaqwa, musyrik, munafik dan kafir. Terhadap ayat tentang ciri ciri orang beriman (QS. Al Anfal : 2) dimaksudkan agar setiap umat Islam berusaha dengan sungguh sungguh untuk bisa mencapai kreteria orang yang beriman. Ayat yang menerangkan ciri ciri orang bertaqwa (QS. Al Baqarah: 2-5) mengandung maksud  agar setiap umat Islam mampu mencapai derajat ketaqwaan yang telah ditentukan. Mengenai ayat  yang menerangkan  ciri ciri orang munafiq dan kafir ( QS. Al Baqarah : 6-14), memiliki makna agar umat Islam berusaha secara optimal untuk menghindari agar tidak terjerumus kedalam karakter orang munafik dan kafir. Artinya, pesan dalam al qur'an dan hadis lebih ditujukan kepada personal dalam rangka pembentukan kepribadian yang ideal, bukan dijadikan alasan untuk menjustifikasi  atau memberikan predikat kepada orang lain. Ayat tentang munafik dan  kafir bukan untuk menuduh atau menyimpukkan seseorang kafir dan munafik. Ayat tentang orang beriman dan bertaqwa juga bukan untuk menyimpulkan atau menuduh orang lain beriman dan bertaqwa.

Ayat dan ahdis yang menerangkan Ulama bukan dijadikan alat untuk memberikan predikat atau menjustifkasi orang lain layak atau tidaknya sebagai ulama, melainkan ayat tersebut harus dijadikan sarana untuk mengevaluasi diri (muhasabah) selanjutnya melakukan peningkatan amal baik agar setiap muslim mampu memiliki karakter atau kepribadian sebagai seorang ulama.

Jika istilah ulama di jadikan sarana memberikan predikat kepada orang lain, maka selama ini pula akan menimbulkan polemik yang ujungnya berpotensi konflik sosial. Apa lagi di musim pemilu seperti sekarang ini. Marilah pesan yang ada di dalam al qur'an dan hadis seperti istilah Ulama, kafir, taqwa, munafik,  lebih dijadikan sebagai sarana untuk membentuk kepribadian masing masing, bukan dijadikan saran untuk memberikan predikat  atau menuduh  orang lain.

M. Saekan Muchith, Peneliti pada Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME) Jawa Tengah, Pemerhati Pendidikan dan Sosial Keagamaan IAIN Kudus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun