Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Menelusuri Akar Gerakan Terorisme

22 Mei 2018   21:55 Diperbarui: 14 November 2019   06:16 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terorisme benar benar biadab. Dalam kurun waktu satu minggu berhasil melakukan enam kali aksi teror secara beruntun yang menelan korban puluhan orang baik dari pihak pelaku teroris, aparat kepolisian maupun masyarakat.

Pada tanggal 9 mei 2018, napi teroris Mako Brimob Jakarta melakukan penyerangan aparat kepolisian yang menyebabkan 5 aparat polisi  dan 1 orang napi teroris meninggal.  Hari minggu 13 Mei 2018, jam 06.30-07.30  wib  tiga Gereja yaitu Geraja Katolik Santa Maria Jl. Ngagel Madya Utara, Gereja GKI Jl. Diponegoro dan Gereja Pantai Kusta  di jl Arjuna diguncang serangan teroris dengan aksi bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga, mengakibatkan 10 orang meninggal dan 40 luka luka.

Minggu malam  jam 21.00 wib,  Rusunawa Sidoarjo Jawa Timur di guncang bom yang cukup dahsyat yang juga  dilakukan teroris satu keluarga dengan terduga teroris bernama anton dan keluarganya. Hari senin 14 mei 2018 jam 08.50 wib, Mapolresta Surabaya diserang aksi teroris dengan ledakan bom kendaraan yang mengakibatkan 10 korban dari aparat dan pelaku teroris sendiri serta masyarakat. Tanggal 16 Mei 2018, Mapolda Riau juga menjadi sasaran para teroris.  

Manurut logika normal atau wajar, aksi teroris  di Jawa Timur kali ini tergolong aneh, nekat dan sangat memprihatinkan. Terorisme dengan aksi bom bunuh diri dilakukan oleh satu keluarga (ayah, Ibu dan anak), diantara anaknya ada yang masih dalam usia belia berkisar 10-15 tahun. Sungguh diluar nalar manusia, orang tua yang seharusnya mendidik, membimbing dan mengasuh anak anaknya agar tumbuh dewasa dan mampu berkarya untuk keluarga, agama dan banagsa malah mengajak anak anaknya untuk mati konyol bersama.

 Kira kira apa yang terpikir di benak seorang bapak dan ibu sebelum melakukan aksi bom bunuh diri bersama anak anaknya ? mungkinkah mereka berfikir kita akan  berjihad di jalan Allah swt menjadi seorang suhada  ( mati sahid) yang akan mendapatkan imbalan  surga sehingga kita sekeluarga akan hidup nikmat dan bahagia di surga Allah  abadi sepanjang masa.

Jika benar seperti itu yang dirasakan para teroris, maka memberikan bukti kuat bahwa penyebab utama terjadinya aksi teror disebabkan  oleh pemahaman agama (beragama) yang tidak tepat.

Max Weber dalam karyanya berjudul "The Structure of Social Action" menjelaskan bahwa dalam situasi tertentu agama bisa  menjelma sebagai motor penggerak yang sangat kuat  sehingga manusia rela melakukan apa saja demi melaksanakan perintah agama. Sampai disini dapat dikatakan bahwa akar utama penyebab gerakanm terorisme adalah persoalan agama.  Kalaupun ada faktor lain seperti sosial politik, ekonomi dan budaya, itu hanya sebagai pelengkap saja.

Salah Paham Pesan Agama 

 Salah satu faktor seseorang rela berkorban dan siap menjadi "pengantin" dalam aksi terorisme karena mereka yakin apa yang dilakukan merupakan perintah agama yang akan mendapat pahala berupa surga. Mereka memegang prinsip " hidup mulia atau mati sahid" ( isy kariiman au mut syahiidan). Artinya jika mereka merasa tidak bisa hidup mulia di dunia maka lebih baik mati sahid yang ditempuh dengan jihad berupa aksi bom bunuh diri.
Menurut Nanang Martono dalam buku " Sosiologi Perubahan Sosial " (2011: 305) Agama di fungsikan dalam dua hal yang saling bertentangan yaitu berfungsi positif dan negatif.

Kelompok yang memandang agama berfungsi positif di lakukan para kaum fungsional ( fungsionalisme) yang dipelipori oleh Email Durkheim mengatakan agama mengajarkan sikap dan perilaku santun, damai, saling menghormati dan menghargai sehingga dengan agama akan terwujud sistem kehidupan yang aman, nyaman dan sejahtera.
Ada kolompok yang beranggapan, agama berfungsi negatif bagi kehidupan manusia.

Kelompok ini di pelopori Karl Marx yang mengembangkan doktrin agama adalah candu kehidupan. Para kelompok ini berpandangan bahwa agama akan melahirkan cara pandang dan perilaku manusia yang keras, jahat, dan mental manipulatif sehingga melahirkan konflik ditengah kehidupan masyatakat.

 Sampai disini dapat dikatakan bahwa agama bersifat subyektif dalam artian setiap pemeluknya memiliki kebebasan untuk memahami atau memaknai pesan agama sesuai kapasitas dan pendekatan yang di gunakan. Implikasinya hasil pemahaman terhadap teks atau pesan agama bisa melahirkan perilaku positif dan juga bisa melahirkan perilaku negatif.

Bagaimana dengan para teroris? Diakui atau tidak para aktor teroris di Indonesia 100 % mereka beragama Islam ( muslim) yang membaca dan memahami ajaran Islam berupa al qur'an dan hadis.

 Menurut logika, Tuhan menciptakan agama berikut kitab sucinya pasti bertujuan untuk menciptakan kemaslahan hidup bagi mahluknya. Mustahil Tuhan menciptakan agama beserta kitab sucinya untuk melahirkan konflik dan menebar teror atau ketakutan dalam kehidupan manusia. Anehnya para aktivis teror mengaku muslim dan selalu mengatakan melaksanakan perintah agama berupa jihad di jalan Allah, mati sahid yang akan mendapat imbalan berupa surga.

Mungkinkah jihad di jalan Allah bisa dilakukan dengan cara cara yang melanggar aturan dan norma? Benarkah ingin mendapat predikat mati sahid di lakukan dengan cara bom bunuh diri? Logiskah ingin memperoleh " tiket " masuk surga di tempuh dengan cara menyerang aparat penegak hukum dan merusak tempat ibadah agama lain ( gereja)?.
Ini semua bukti bukti bahwa para teroris telah melalukan kesalahan dalam memahami agama (beragama). Kesalahan beragama dapat dilihat dalam beberapa hal sebagai berikut:

 Pertama, kesalahan memahami hakekat agama Islam. Dalam al qur'an di jelaskan bahwa Islam adalah satu satunya agama yang dianggap baik oleh Allah swt.  " Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam " ( QS. Ali Imran : 19).  Konsep ini berimplikasi pada larangan untuk mengikuti agama selain Islam " Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali kali tidaklah akan diterima agama itu dari padanya dan dia diakherat termasuk orang orang yang rugi " (QS. Ali Imran : 85). Idealitas dan kesempurnaan agama Islam di mata Allah bersifat peluang, yaitu akan terwujud jika para pemeluk agama (umat Islam) memiliki sikap dan perilaku yang santun, damai, saling menghargai sesama tanpa melihat asal usul agama, suku, etnis, warna kulit dan golongan. Jika para pemeluk Islam justru memiliki perilaku yang menebar kebencian dan rasa takut ditengah tengah masyarakat maka kesempurnaan Islam di mata Allah akan sulit dicapai.

Kedua, kesalahan memahami konsep kafir. Secara tekstual (normatif) Al Qur'an membolehkan untuk membunuh orang orang kafir karena orang kafir sangat membahayakan eksistensi umat Islam.  "Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan Ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa." (QS. At Taubah : 123). Selain dibolehkan membunuh, umat Islam juga dibolehkan untuk mengusir orang orang kafir " Dan Bunuhlah dimana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih besar dari pembunuhan. (QS : Al Baqoroh 191 ). Ayat ini turun dalam konteks pada saat itu orang orang kafir telah melakukan penindasan, kedholiman dan menghalang halangi umat Islam untuk beribadah. Allah menurunkan ayat ini, membolehkan memerangi orang kafir karena orang kafir pada saat itu melakukan penindasan dan menghalang halangi umat Islam untuk beribadah kepada Allah swt. Terhadap orang kafir yang tidak melakukan penindasan, kendholiman dan menghalangi ibadah umat Islam, ( kafir dhimmi) umat islam dilarang keras untuk diperangi.

Ketiga, kesalahan memahami perintah jihad dan perang. Sekelompok tertentu ada yang propaganda untuk membakar semangat perang dengan cara mensosialisasikan hadis yang berbunyi " Dari Abu Hurairah, nabi bersabda : Siapa yang wafat dan tidak pernah berperang serta tidak terlintas sedikitpun dihatinya untuk berperang, maka ia mati dalam kondisi munafik " (HR. Muslim). Hadis ini dikategorikan hadis shahih oleh mayoritas ( jumhur) ulama. Tetapi mayoritas ulama juga memberikan etika memahami sebuah hadis. Tidak semua hadis itu berlaku secara umum dan dapat diterapkan disemua situasi dan kondisi. Menurut Ibnu Mubarak yang dikutip  Abdul Karim Munte dalam buku " Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihandis (2017: 30), menyatakan bahwa hadis yang bersumber dari Abu Hurairah tidak berlaku umum dan hanya boleh diterapkan pada waktu perang saja.

Akar Gerakan Teror 

Akar utama  munculnya gerakan terorisme disebabkan adanya salah paham terhadap pesan pesan agama yang ada di dalam al qur'an dan hadis. Pemahaman yang hanya menggunakan satu pendekatan saja akan menimbulkan pemikiran yang sepotong potong  dan  tidak komprehsnif.  Semua teks agama (al qur'an dan hadis) memerlukan cara pandang dari berbagai aspek (multi approach) karena banyak teks ayat atau hadis di satu sisi berbicara peperangan tetapi disisi lain berbicara pentingnya perdamaian. Tidak sedikit ayat yang menjelaskan tentang sikap keras dan tegas kepada orang kafir tetapi ada juga ayat yang menganjurkan untuk hidup rukun saling menghormati dengan orang kafir.

Banyak para ahli tafsir mengatakan bahwa kata kata perang di dalam al qur'an dan hadis bermakna sebagai instrumen (wasilah) jihad, bukan sebagai tujuan (ghayah) jihad. Jihad yang sebenarnya adalah menyiarkan, mengajarkan dan memahamkan Islam secara santun, damai dengan tetap melindungi warga masyarakat tanpa melihat asal usulnya.

Kesimpulanya, akar utama gerakan terorisme terletak pada pemahaman agama  secara tekstual (normatif), leteralis sehingga  melahirkan produk befikir hitam putih  yang selalu  melakukan klaim kebenaran (truth cliam). Implikasinya akan melahirkan doktrin takfir yaitu kebiasaan mengkafirkan dan memurtadkan  kelompok lain yang memiliki pemahaman berbeda dengan dirinya dan kelompoknya.

Langkah tehnis yang harus segera dilakukan adalah dengan membangun komitmen bersama tidak boleh ada toleransi sekecil apapun terhadap kelompok yang memiliki cara fikir tekstualis atau normatif.  Seluruh elemen bangsa Indonesia  harus selalu waspada terhadap kelompok kelompok yang memiliki pemahaman merasa paling benar sendiri, merasa paling benar dalam menjalankan Islam, merasa paling benar memahami al qur'an dan hadis.  Merasa paling benar sendiri lama kelamaan akan memunculkan  kebiasaan saling  menyudutkan, menyalahkan serta mengkafirkan kelompok lain.

Pemerintah beserta aparaturnya harus  selalu memantau dan mengawasi terhadap pribadi (tokoh) dan kelompok kelompok yang  selalu memperjuangkan aspirasi atau hasil kajian yang tidak sesuai dengan filosofi bangasa Indonesia yaitu Pancasila dan NKRI. Pengawasan kepada para juru dakwah (mubaligh) juga harus diintensifkan, agar dapat diketahui secara dini jika ada mubaligh yang melakukan provakasi atau agitasi yang menyebabkan kebencian antar umat beragama.

Semua elemen bangsa harus terus menerus melakukan sosialisasi  tentang  cara cara beragama yang baik, benar dan tepat dalam konteks sebagai bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, UUN 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, yaitu membangun pemahaman  Islam yang  toleran, kasih sayang penuh kedamaian bagi umat Islam sendiri dan juga bagi umat agama lainnya. Perlu di bangun cara beragama yang didasarkan tiga pergeseran antara lain;

Pertama, pergeseran  Cara fikir dari teks ke konteks yaitu  kesanggupan  Umat Islam Indonesia dalam melakukan perubahan cara fikir dari yang bersifat tekstualis berubah menjadi cara fikir kontekstualis. Artinya dalam memahami norma /teks agama jangan hanya menggunakan satu pendekatan, melainkan harus dengan multi pendekatan.

Kedua, pergeseran  tradisi dari teori ke aksi  mengandung makna bahwa umat Islam Indonesia jangan hanya terjebak  pada rutinitas menghafal teori atau ayat ayat, melainkan harus membiasakan untuk mengamalkan atas semua hal yang telah difahal atau diketahui kedalam realitas kehidupan sosial. Perubahan tradisi dari teori ke aksi akan melahirkan profil umat Islam yang konsisten antar ucapan dan perilaku.

Ketiga, pergeseran   kepribadian dari Sholeh Individual menuju  Sholeh Sosial adalah adanya kesanggupan umat Islam menjadikan Islam sebagai tatanan (sistem) kehidupan. Artinya pesan pesan dalam Islam tidak hanya dimaknai sebagai pesan ritual ideologis semata mata melainkan benar benar dijadikan landasan untuk membangun sistem kehidupan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Sholat, zakat, puasa dan haji dilaksanakan tidak hanya untuk memperoleh pahala yang akhirnya memperoleh  imbalan surga. Semua makna yang terkandung di ibadah dijadikan sarana untuk membangun sistem kehidupan sehingga Islam benar benar sebagai way of life bagi umat Muslim dimanapun mereka berada.

Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd Dosen IAIN Kudus, Peneliti Pada Tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) Jawa Tengah, Sekarang sedang melakukan studi (riset) Kepustakaan tentang Islam dan Terorisme di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun