Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan featured

Menelusuri Akar Gerakan Terorisme

22 Mei 2018   21:55 Diperbarui: 14 November 2019   06:16 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langkah tehnis yang harus segera dilakukan adalah dengan membangun komitmen bersama tidak boleh ada toleransi sekecil apapun terhadap kelompok yang memiliki cara fikir tekstualis atau normatif.  Seluruh elemen bangsa Indonesia  harus selalu waspada terhadap kelompok kelompok yang memiliki pemahaman merasa paling benar sendiri, merasa paling benar dalam menjalankan Islam, merasa paling benar memahami al qur'an dan hadis.  Merasa paling benar sendiri lama kelamaan akan memunculkan  kebiasaan saling  menyudutkan, menyalahkan serta mengkafirkan kelompok lain.

Pemerintah beserta aparaturnya harus  selalu memantau dan mengawasi terhadap pribadi (tokoh) dan kelompok kelompok yang  selalu memperjuangkan aspirasi atau hasil kajian yang tidak sesuai dengan filosofi bangasa Indonesia yaitu Pancasila dan NKRI. Pengawasan kepada para juru dakwah (mubaligh) juga harus diintensifkan, agar dapat diketahui secara dini jika ada mubaligh yang melakukan provakasi atau agitasi yang menyebabkan kebencian antar umat beragama.

Semua elemen bangsa harus terus menerus melakukan sosialisasi  tentang  cara cara beragama yang baik, benar dan tepat dalam konteks sebagai bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, UUN 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, yaitu membangun pemahaman  Islam yang  toleran, kasih sayang penuh kedamaian bagi umat Islam sendiri dan juga bagi umat agama lainnya. Perlu di bangun cara beragama yang didasarkan tiga pergeseran antara lain;

Pertama, pergeseran  Cara fikir dari teks ke konteks yaitu  kesanggupan  Umat Islam Indonesia dalam melakukan perubahan cara fikir dari yang bersifat tekstualis berubah menjadi cara fikir kontekstualis. Artinya dalam memahami norma /teks agama jangan hanya menggunakan satu pendekatan, melainkan harus dengan multi pendekatan.

Kedua, pergeseran  tradisi dari teori ke aksi  mengandung makna bahwa umat Islam Indonesia jangan hanya terjebak  pada rutinitas menghafal teori atau ayat ayat, melainkan harus membiasakan untuk mengamalkan atas semua hal yang telah difahal atau diketahui kedalam realitas kehidupan sosial. Perubahan tradisi dari teori ke aksi akan melahirkan profil umat Islam yang konsisten antar ucapan dan perilaku.

Ketiga, pergeseran   kepribadian dari Sholeh Individual menuju  Sholeh Sosial adalah adanya kesanggupan umat Islam menjadikan Islam sebagai tatanan (sistem) kehidupan. Artinya pesan pesan dalam Islam tidak hanya dimaknai sebagai pesan ritual ideologis semata mata melainkan benar benar dijadikan landasan untuk membangun sistem kehidupan yang mampu mensejahterakan masyarakat. Sholat, zakat, puasa dan haji dilaksanakan tidak hanya untuk memperoleh pahala yang akhirnya memperoleh  imbalan surga. Semua makna yang terkandung di ibadah dijadikan sarana untuk membangun sistem kehidupan sehingga Islam benar benar sebagai way of life bagi umat Muslim dimanapun mereka berada.

Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd Dosen IAIN Kudus, Peneliti Pada Tasamuh Indonesia Mengabdi (Time) Jawa Tengah, Sekarang sedang melakukan studi (riset) Kepustakaan tentang Islam dan Terorisme di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun