Mohon tunggu...
Muchammad Roghib A
Muchammad Roghib A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Komunikasi

20107030003/UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Benarkah Islam Itu Agama Perang?

2 Maret 2021   09:39 Diperbarui: 2 Maret 2021   11:00 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemikiran tentang konsep Islam sebagai agama perang merupakan suatu hal yang harus diluruskan. Coba kita hitung persentase kehidupan nabi Muhammad SAW yang digunakan untuk perang. Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi seorang utusan (rasul) pada usia 40 tahun sampai pada wafatnya usia 63 tahun, berarti Muhammad hidup sebagi seorang utusan hanya 23 tahun. Jika kita kalikan dengan jumlah hari dalam setahun, yakni 365 hari, maka hasilnya kurang lebih delapan ribu sekian hari. 

Dan sepanjang hidupnya menjadi nabi hanya delapan puluh sekian hari yang digunakan untuk berperang. Maka bisa kita tarik kesimpulan, bahwa hanya satu persen dari hidup nabi yang digunakan untuk berperang. Lalu yang sembilan puluh sembilan persen dibuat apa? Tentunya yang sembilan puluh sembilan persen tersebut digunakan untuk menebar rahmat atau kasih sayang dan menyempurnakan akhlaq. Sesuai dengan ayat al-Qur'an surah al-anbiya' (107),

107-603db7e8d541df43c773ff92.png
107-603db7e8d541df43c773ff92.png
yang artinya "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." Dan sesuai dengan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam kitabnya al-Muwatha'

in-603db7fdd541df42ee409ad2.png
in-603db7fdd541df42ee409ad2.png
"Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang baik."

Akan tetapi, jika kita lihat buku-buku sejarah islam yang diajarkan untuk anak SD/MI, materinya lebih terfokus kepada yang satu persen itu. Agama islam digambarkan dalam satu frame peperangan: perang badar, perang uhud, dan perang-perang yang lainnya. Seolah-olah nabi diutus hanya untuk berperang. Sehingga Islam dipandang oleh sebagian orang sebagai agama yang suka dengan pertumpahan darah.

Perlu kita ketahui, sebenarnya perang dalam sudut pandang islam bersifat muqoyyad (hanya dilakukan pada fenomena/waktu tertentu) dan akan diharamkan jika tidak ada sebab-sebab tertentu. Maka dari itu, kita sebagai muslim perlu tahu yang namanya prinsip, syarat, dan etika dalam berperang. 

Habib Husein al-hadar pernah menjelaskan tentang tiga hal tersebut dalam salah satu kajiannya, prinsip utama dari perang adalah tidak boleh memutuskan untuk berperang jika tidak mendapat izin dari Allah, bisa disebut izin perang adalah hak perogratif Allah. Pada zaman Al-anbiya sebelum nabi Muhammad, tidak semua nabi melakukan perang, hanya beberapa nabi saja yang perang, dikarenakan tidak diberi izin dari Allah untuk berperang.

Selama 13 tahun periode Makkah, nabi Muhammad sama sekali belum pernah mengeluarkan pedang dari selongsongnya, karena belum mendapat izin dari Allah SWT untuk berperang, walapun pada masa itu kaum muslim mendapat banyak sekali hinaan, ancaman, serta perlakuan yang buruk dari kafir Quraisy. Mereka hanya diperbolehkan untuk menyimpan keimanannya demi keselamatan jiwanya, sebagaimana yang sudah tertera di dalam al-qur'an.

Kemudian nabi baru mendapatan SK izin dari Allah untuk berperang pada masa periode madinah, tepatnya sepuluh tahun akhir kehidupan nabi Muhammad. Izin tersebut oleh Allah diturunkan berupa ayat al-qur'an surat al-Baqarah (190 )yang berbunyi,

190-603db80ad541df43c61ba342.png
190-603db80ad541df43c61ba342.png
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." Al-Habib Husein al-Hadar menafsirkan, dalam ayat tersebut peperangan dalam islam yang dimaksud adalah perang yang bersifat defensif (bertahan) atau Jihad ad-daf'i bukan yang bersifat menyerang (ofensif). Artinya adalah umat islam baru diperbolehkan berperang jika diperangi terlebih dahulu, dianiaya, diusir dari wilayahnya yang sah, lalu dilarang berbuat sesuatu yang sudah menjadi haknya (hak ibadah, hak hidup, dll). 

Sebagian ulama menerangkan bahwa jika sfiatnya masih berupa dugaan akan berperang maka kita tidak boleh melakukan penyerangan. Maka dari itu, ayat tersebut menggunakan yuqotilunakum yang artinya "jika mereka benar-benar sedang memerangimu", barulah izin tersebut berlaku untuk berperang atau memerangi mereka. Namun, dalam berperang tentu saja memiliki batasan, diterangkan pada surah al-Baqarah ayat 193 yang artinya "sampai mereka berhenti memerangi kamu." Jika dari musuh sudah berhenti melakukan perlawanan, maka kita juga harus menyudahinya dan mengajak untuk berdamai.

Prinsip selanjutnya adalah perang harus dilakukan di jalan Allah (fi sabilillah), bukan karena kehendak kita apalagi nafsu. Sebagian dari kita khususnya umat muslim kurang memperhatikan tentang waktu terjadinya perang. Perang yang pertama yakni perang badar terjadi pada bulan ramadhan, bisa kita bayangkan bahwa di bulan Ramadhan marah saja tidak diperbolehkan, ini kok malah perang. Ini bisa terjadi karena Allah ingin mengajarkan kepada kita bahwa perang pun tidak boleh karena nafsu, marah, benci, dan lain sebagainya, melainkan dengan cinta. Maka dari itu, perang dalam islam berorientasi kepada perdamaian dan mengubah seseorang untuk menjadi pribadi yang baik.

Prinsip yang selanjutnya adalah jangan berlebihan atau harus bersifat proposional, sehingga tercipta etika-etika perang dalam islam. Ada hadis yang mengatakan bahwa perang harus diawali dengan persiapan lebih dahulu. Maka dari itu, nabi menganjurkan umatnya untuk belajar cara menggunakan pedang, memanah, menunggangi kuda, dsb. Hal ini bukan berarti bahwa nabi mengendaki sebuah peperangan, tapi hanya memberikan kesan bahwa umat islam juga sangat kuat, atau istilah militernya deterrent effect, sehingga mereka yang memusuhi umat islam memurungkan niatnya untuk berperang.

Etika yang selanjutnya adalah ketika perang tidak boleh keluar dari medan perang, dikhawatirkan adanya orang-orang yang tak berdosa ikut menjadi korban. Juga perang dalam islam tidak boleh kaum wanita dan anak-anak, bahkan dilarang untuk membunuh hewan ataupun merusak tumbuh-tumbuhan. Bayangkan! Mana ada perang yang aturannya sampai tak boleh menginjak rumput? Oleh karena itu, perang yang terjadi pada masa nabi dahulu hanya seperti pertunjukkan teater saja, bukan brutal seperti sekarang.

Etika selanjutnya bersikap sangat baik terhadap semua tawanan dan mengistimewakan mereka. Allah mengatakan bahwa mereka memberi pangan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan (QS Al-insan: 8). Ada sebuah cerita ketika Aziz bin Umar menjadi salah satu tawanan kaum anshar, beliau dikasih roti yang lezat dan kurma yang istimewa. 

Sedangkan mereka sendiri hanya makan kurma biasa. Kemudian beliau merasa malu dan mengembalikan makanannya kepada mereka, namun mereka menolaknya dan tetap memberikannya kepadaku. Pada akhirnya banyak tawanan yang masuk Islam karena melihat akhlak yang mulia pada umat islam.

Dari penjelasan di atas kita bisa simpulkan bahwa Islam tidak menghendaki adanya peperangan, kecuali dalam keadaan terpaksa, dan itupun bertujuan untuk menegakkan kedamaian. Jadi kita patut heran terhadap orang muslim yang sukanya perang sana-sini tanpa sebab apapun.

Sumber referensi: Husein Al-Hadar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun