Jurnalis asal Buton Tengah, Muhammad Sadli Saleh (33) harus menjalani proses hukum lantaran menulis berita yang mengkritisi kebijakan pemerintah daerah setempat.
Berdasarkan beberapa referensi berita, tulisan Sadli berjudul "Abacadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap menjadi Simpang Empat" yang mengkritik pembangunan jalan di wilayah itu diperosalkan.
Sebagai karya jurnalistik, berita yang ditulis Sadli beredar luas dan dibagikan oleh masyarakat melalui media sosial dan ramai disebarluaskkan di grup whatsapp. Lantas berita yang tayang di liputanpersada.com itu sampai ke telinga bupati.
Kepala daerah, lalu melaporkan Sadli ke polisi dan sang jurnalis kini harus menjalani proses hukum yang berlaku. Tak sampai disitu, Istri Sadli, Marfuah yang berprofesi sebagai tenaga honorer di DPRD Kabupaten Buton Tengah, juga harus kehilangan pekerjaannya. Padahal, tidak ada kaitan antara pekerjaan Sadli dengan sang istri.
Seperti diberitakan Liputan 6, Marfuah mengaku sempat dipanggil Sekertaris DPRD Buton Tengah terkait berita yang ditulis suaminya. Ia diminta mengingatkan suaminya agar berhenti menulis berita tentang Simpang Lima.
Namun, sebagai jurnalis Sadli tetap kokoh dengan pendiriannya. Ia tetap menulis berita tentang Simpang Lima Labungkari.
Kondisi ini cukup miris, lantaran sebagai negara yang menggaungkan prinsip demokrasi, karya jurnalistik masih dianggap "momok" bagi sebagian kalangan, termasuk mereka yang berkecimpung dalam dunia pemerintahan.
Lebih disesalkan lagi, kasus Sadli tidak diselesaikan dahulu melalui jalur yang ada. Setidaknya, sang Bupati Buton Tengah harusnya mengambil langkah meminta hak jawab atau menyelesaikannya melalui jalur dewan pers sebelum ke arah pidana.
Pada 20 Januari 2020, kasus Sadli mulai dipersidangkan. Ia didakwa melanggar pasal 45 A ayat 2 Jo pasal 28 ayat 2, pasal 45 ayat 3 jo pasal 27 ayat 3 UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Apa yang dialami oleh Sadli ini mendapat respon dari Anggota DPR RI, Masinton Pasaribu. Dalam keterangannya di media massa ia menyayangkan sikap kepolisian setempat yang menggunakan undang-undang ITE untuk menjerat Sadli.
Padahal, kata Masinton, penerapan UU ITE itu harus dilihat terlebih dahulu konteksnya, dan tidak bisa asal menerapkan pada karya jurnalistik.
Masih menurut politisi PDI Perjuangan itu, pers tidak bisa dihalangi kerja jurnalistiknya dengan ancaman pidana, selama berita yang ia tulis memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik.
Ada banyak hal yang harus dilalui oleh pelapor sebelum melaporkan ke jalur pidana, seperti penggunaan hak jawab atau menyampaikan keberatan ke dewan pers.
Kasus Sadli ini bisa menjadi preseden buruk bagi jurnalis yang ada di daerah. Kepala daerah, harusnya tidak "baperan" dan cepat panas telinga manakala ada karya jurnalistik yang mengkritisi kebijakannya.
Terlebih, jika tindakan itu sampai merugikan keluarga sang jurnalis sebagaimana dialami Marfuah yang harus kehilangan pekerjaannya. Kini Marfuah harus pulang ke rumah orangtuanya, lantaran sudah tidak lagi bekerja. Ia dan Sadli memiliki anak berusia 2,5 tahun.
Harus disadari bahwa menjadi seorang kepala daerah yang merupakan pejabat publik harus siap dikritik. Sebab, namanya kebijakan tidak bisa memuaskan banyak orang. Apalagi, kebijakan yang diambil justru dianggap meresahkan masyarakat.
Maka, peran pers sebagai salah satu pilar demokrasi adalah melakukan kontrol terhadap kebijakan baik di tingkatan kepala daerah hingga presiden.
Sepanjang tidak menyerang pribadi, seperti yang dialami oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan atau Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, kritik terhadap kebijakan kepala daerah adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi.
Sepanjang sepengetahuan penulis, Presiden RI Joko Widodo tidak pernah melaporkan jurnalis atau membredel media massa yang mengkritisi kebijakannya.
Sikap gentle presiden harusnya bisa menjadi contoh dan tauladan bagi kepala daerah agar tidak baperan dan gemar melaporkan jurnalis ke jalur pidana karena sebuah berita.
Apalagi, jika sebuah berita berharga nyawa. Hal itu sangat miris, lantaran tugas jurnalistik tak lain adalah tugas mulia dalam memberikan informasi akurat kepada publik.
Penulis berharap, kasus di Pemerintah Kabupaten Buton Tengah tidak terjadi di daerah lainnya. Kepala Daerah tidak seharusnya baper dengan berita. Menjabat sebagai kepala daerah harus siap menerima kritik dan masukan dari masyarakat. Termasuk kritik dalam bentuk karya jurnalistik. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H