Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film India, Problem Misoginis, dan Pelecehan terhadap Perempuan

13 Desember 2019   20:10 Diperbarui: 17 Desember 2019   21:55 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan Film Daar yang diperankan Shah Rukh Khan| Foto: Bollywoodlife

Sebagai wanita, Leena Yadav seolah merasakan bagaimana anasir misoginis masih mendominasi film Bollywood. Seakan ingin "bertobat" dari karya sebelumnya berjudul "Shabd" pada tahun 2005, dalam "Parched" ia sungguh-sungguh memberontak.

"Parched" adalah kisah tiga orang wanita yang hidup dibawah tekanan dari kuatnya arus paternialistik di sebuah desa di India. Karakter Lajjo yang diperankan Radhika Apte adalah sebagai gambaran yang ekstrem itu.

Lajjo dikisahkan adalah seorang istri yang selalu mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya baik secara fisik maupun batin. Ia pun tidak pernah mengalami kepuasan batin selama menjalin rumah tangga. Kehidupan seksualnya pun begitu hambar.
Lajjo juga disalahkan karena tidak memiliki keturunan.

Suatu saat, lantaran rasa berontak dan naluri sebagai manusia yang ingin merasakan kepuasan seksual ia lalu mencoba banyak hal baru. Termasuk mencoba berhubungan intim sesama jenis.

Akhirnya, ia juga memutuskan berhubungan intim dengan seseorang dan merasakan orgasme pertama kali seumur hidupnya selama pernikahan. Tentu saja, peran Lajjo yang dibebankan kepada Radhika Apte membuat aktris favorit saya itu harus tampil sensual, hingga telanjang di depan kamera. Film "Parched" yang masuk sebagai nominasi film terbaik dalam Toronto Film Festival, mendapat kritik tajam di negara-nya.

Adengan Lajjo memang tidak harus ditiru, tapi secara substantfi, itu adalah pemberontakan dari film india yang kerap menunjukkan anasir misoginis dan bias gender.

Bahkan, ketika sutradara Sanjay Leela Bhansali, dengan asyik mengangkat puisi tahun 1540 karya Malik Muhammad Jayasi dalam sebuah film berjudul "Padmavaat", adalah bentuk perlawanan terhadap misoginis itu sendiri.

"Padmavaat" bercerita tentang ratu cantik bernama "Padmavati" yang digilai oleh raja bernama "Khilji". Meski sudah memiliki suami, Khilji tetap saja ingin mepersunting gadis yang namanya tenar karena kecantikannya itu. Bahkan, menurut ramalan, jika Khilji mempersunting Padmavati maka ia akan menjadi raja yang tiada tanding.

Sampai disitu, kita melihat bagaimana wanita dijadikan sebuah subjek. Tidak dihargai, bahkan disamakan dengan benda yang bisa direbut dari tangan suami orang. Istilah jawa-nya merusak "Pagar Ayu". Tapi akhir film ini, menunjukkan bagaimana wanita India sejatinya punya harga diri.

Setelah sang suami meninggal lantaran dibunuh Allauddin Khilji, Padmavati lebih memilih "jauhar" atau membakar diri. Daripada ia hidup tunduk dibawah lelaki yang sudah merusak cinta-nya mending ia membakar diri-nya demi harga diri.

Tentu saja "Padmavat" adalah antitesa dari film India yang mengusung anasir misoginis. Bagaimana tidak, Allauddin Khilji karena saking cintanya kepada Padmavat, harus menerjukan ratusan ribu pasukan untuk menyerang kerajaan. Hidup kelaparan beberapa hari karena tidak ada makanan, hingga merendahkan diri untuk bertemu suami Padmavaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun