Pertanyaan itu mendadak muncul saat saya membaca berbagai berita dan informasi, terkait rencana aturan sertifikasi nikah yang diusulkan Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy.
Isu ini menyita perhatian masyarakat, dan banyak menjadi bahan pembicaraan di media sosial. Intinya, pasangan yang akan menikah nanti diwajibkan mengikuti pelatihan pranikah.
Lebih tegas lagi sebagaimana dikutip dari berbagai media online, Muhadjir Effendy menegaskan jika pasangan yang belum lulus mengikuti bimbingan pranikah atau sertifikasi siap kawin tak boleh menikah.
Alasan diberlakukan sertifikasi ini beragam. Mulai dari melindungi kesehatan reproduksi hingga kematangan seseorang yang akan mengarungi bahtera rumah tangga.
Tak salah, jika kemudian muncul berbagai pikiran "nakal". Bagaimana jika hendak "menikah lagi"? Apakah sertifikasi ini masih diperlukan? Ataukah tidak perlu, dan hanya sebatas formalitas saja? Toh mereka yang hendak menikah lagi, sudah punya pengalaman dalam menjalani rumah tangga.
Frasa menikah lagi yang saya sebut itu, tidak bermakna tunggal, yakni poligami. Melainkan juga bagi pasangan yang sudah bercerai dan akan memulai kehidupan baru dalam rumah tangga. Sebab, biasanya pasangan yang sudah bercerai dan memulai kembali berumah tangga, juga dilabeli telah "menikah lagi".
Atau bisa juga pasangan "Isbat" atau yang sudah lama menikah tapi tidak mendapat surat resmi. Kondisi ini baru terjadi akhir-akhir ini di Lampung. Sebanyak 100 pasangan mengikuti sidang itsbat nikah, karena selama ini tidak mampu mengurus akta nikah, akta kelahiran dan dokumen lainnya.
Jika sertifikasi nikah itu dianggap sebagai syarat mutlak bagi pasangan yang hendak menikah secara resmi yang ditandai dengan adanya buku nikah, apakah pasangan yang nikah isbat itu wajib menjalani proses sertifikasi?
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan orang yang selama hidupnya kerap nikah dan bercerai. Apakah masih bisa lulus sertifikasi nikah jika ia hendak menikah lagi. Mengingat rekam jejak-nya yang cukup buruk dalam menjalani rumah tangga. Atau kalau mau analogi agak ngawur, ya bisa dikatakan mereka itu ibarat "residivis" dalam urusan rumah tangga.
Apapun pertanyaan tersebut, maka saya tidak ingin terjebak dalam substansi apakah sertifikasi nikah itu perlu atau tidak. Pada dasarnya, pernikahan itu adalah bentuk komitmen antara dua insan yang disatukan dan dipertemukan oleh rasa cinta.
Lalu, rasa cinta itu dijawantahkan dengan sikap tanggung jawab, saling menghormati peran masing-masing dan juga membangun komunikasi yang baik diantaranya keduanya.
Indonesia memang menganut azas monogami. Tapi, tidak menutup kemungkinan seseorang untuk menjalani kehidupan berpoligami. Ada tata cara tersendiri dalam berpoligami secara sah dan perkawinannya dicatat oleh negara. Banyak contoh yang dipublikasikan media massa terkait poligami ini. Wakil rakyat kita saja, di DPR RI ada yang secara sah berisitri lebih dari satu.
Lalu apakah bagi pasangan yang hendak poligami, masih perlu ikut sertifikasi? Apakah materinya sama dengan mereka yang hendak menikah? Atau ada materi tambahan? Bahkan, bisa juga nanti ada sertifikasi nikah bagi pasangan yang hendak poligami. Pertanyaan yang sama juga bagi pasangan isbat atau juga janda atau duda yang hendak kembali mengarungi rumah tangga.
Atau misalnya begini, apakah sertifikasi ini hanya diikuti sekali saja seumur hidup seperti kita membuat Kartu Tanda Penduduk? Jika ada pasangan cerai lalu menikah lagi tak harus ikut lagi sertifikasi atau jika ada pasangan yang hendak poligami, misalnya maka ia tinggal menunjukkan sertifikasi nikah lama yang sudah dimilikinya?
Saya berharap jika memang aturan ini disahkan, maka tidak terjebak pada sifatnya yang formal belaka. Tapi lebih substantif lagi. Mencegah kekerasan dalam rumah tangga, meminimalisir tindakan perselingkuhan, menegaskan kewajiban suami dalam menafkahi wanita dan kewajiban istri dalam rumah tangga perlu diformulasikan lebih substansial.
Asal dapat sertifikasi, lalu bisa menikah, dan tidak mendalami materi secara substantif juga akan menjadi dampak negatif. Misalnya saja, pasangan suami istri mendapat  sukses memperoleh sertifikasi nikah. Dalam perjalanannya, ternyata sang suami digugat cerai istrinya lantaran suka main tangan. Apakah lalu lulus sertifikasi menjamin hal itu?
Lagi-lagi niat baik Menteri PMK soal sertifikasi itu jangan sampai dikalahkan atau terjebak pada skala yang sifatnya adminsitratif belaka. Ia harus masuk pada ranah substansinya.
Hal lain selanjutnya yang perlu ditelaah adalah kesiapan. Baik penyelenggara negara maupun masyarakatnya. Apakah warga Indonesia sudah siap dengan syarat perkawinan harus menyertakan sertifikasi nikah? Dampak apa yang nanti timbul dari sertifikasi tersebut?
Misalnya, pada masyarakat yang masih memegang erat kebudayaan. Dimana warga masih percaya hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Lantaran proses sertifikasi nikah yang memakan waktu cukup lama, hingga sampai melewati batas waktu hari baik yang sudah dihitung oleh ahlinya, juga akan menimbulkan permasalahan di lapangan.
Gagal nikah karena hari baik sudah terlewati dan penyebabnya adalah proses sertifikasi yang memakan waktu, bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi dengan baik.
Karenanya, ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan dan mendapat kajian sebelum kebijakan dilontarkan kepada publik. Saya berharap, sebelum kebijakan ini disahkan dan dijalankan, maka secara teknis harus dipikirkan dengan baik.
Sebagaimana saat Muhadjir Effendy menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ada kebijakan sistem zonasi agar pendidikan bisa merata di suatu daerah. Kota Malang, adalah daerah yang menerapkan kebijakan ini secara total. Hasilnya, banyak aduan.
Warga yang merasa dekat dengan sekolahan tidak bisa mendaftarkan anaknya karena masalah teknis di lapangan. Beberapa masyarakat lalu menggelar aksi protes dengan mendatangi kantor wakil rakyat di Kota Malang.
Hal itu direspon oleh para legislator. Mereka berpendapat, agar sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, tidak harus "mutatis mutandis" dilaksanakan sesuai arahan menteri. Harus ada kearifan lokal yang diakomodir.
Secara niat baik, sistem zonasi itu berniat agar pendidikan suatu daerah bisa merata. Sekolah unggulan tidak hanya di satu atau dua lembaga saja, melainkan merata. Niat ini mulia, namun terganjal masalah teknis di lapangan.
Begitu pula pada niatan sertifikasi ini. Ada banyak hal yang harus dipikrkan secara teknis agar tidak timbul masalah di lapangan. Pasangan yang hendak menikah bukan saja pasangan baru. Perawan dan Perjaka. Tapi juga pasangan yang sudah bercerai dan hendak menikah lagi. Atau pasangan yang hendak poligami.
Di Kabupaten Malang misalnya, hingga Maret 2019 ada sekitar 2.677 berkas cerai yang masuk ke Pengadilan Agama setempat. Artinya akan ada 5.354 orang dengan status "cerai" yang tertera dalam KTP. Secara niat baik, sertifikasi nikah diharapkan bisa meminimalisir anga tersebut. Tapi lagi-lagi jika teknis pelaksanaan di lapangan kacau, maka sebanyak 5.354 orang ini akan kesulitan menikah lagi karena tak lulus sertifikasi.
Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, terkait dengan wacana sertifikasi nikah ini berpendapat agar kebijakan itu diambil secara substantif, agar kualitas rumah tangga pasangan suami-istri di Indonesia bisa makin membaik dari waktu ke waktu. Karenanya, sekali lagi jangan sampai niat baik, terganjal permasalahan teknis di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H