Warga yang merasa dekat dengan sekolahan tidak bisa mendaftarkan anaknya karena masalah teknis di lapangan. Beberapa masyarakat lalu menggelar aksi protes dengan mendatangi kantor wakil rakyat di Kota Malang.
Hal itu direspon oleh para legislator. Mereka berpendapat, agar sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, tidak harus "mutatis mutandis" dilaksanakan sesuai arahan menteri. Harus ada kearifan lokal yang diakomodir.
Secara niat baik, sistem zonasi itu berniat agar pendidikan suatu daerah bisa merata. Sekolah unggulan tidak hanya di satu atau dua lembaga saja, melainkan merata. Niat ini mulia, namun terganjal masalah teknis di lapangan.
Begitu pula pada niatan sertifikasi ini. Ada banyak hal yang harus dipikrkan secara teknis agar tidak timbul masalah di lapangan. Pasangan yang hendak menikah bukan saja pasangan baru. Perawan dan Perjaka. Tapi juga pasangan yang sudah bercerai dan hendak menikah lagi. Atau pasangan yang hendak poligami.
Di Kabupaten Malang misalnya, hingga Maret 2019 ada sekitar 2.677 berkas cerai yang masuk ke Pengadilan Agama setempat. Artinya akan ada 5.354 orang dengan status "cerai" yang tertera dalam KTP. Secara niat baik, sertifikasi nikah diharapkan bisa meminimalisir anga tersebut. Tapi lagi-lagi jika teknis pelaksanaan di lapangan kacau, maka sebanyak 5.354 orang ini akan kesulitan menikah lagi karena tak lulus sertifikasi.
Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, terkait dengan wacana sertifikasi nikah ini berpendapat agar kebijakan itu diambil secara substantif, agar kualitas rumah tangga pasangan suami-istri di Indonesia bisa makin membaik dari waktu ke waktu. Karenanya, sekali lagi jangan sampai niat baik, terganjal permasalahan teknis di lapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H