Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bahkan untuk Jembatan yang Mau Roboh Tak Dianggarkan oleh Pemerintah Daerah

13 November 2019   21:10 Diperbarui: 13 November 2019   21:12 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada waktu bersamaan, saat publik resah dengan keberadaan  Jembatan Kedung Kandang, pembahasan di gedung legislatif  juga ramai. Topiknya adalah anggaran untuk Mega Proyek untuk pembangunan Gedung Megah 8 lantai yang diberi nama "Malang Creative Centre". Calon Mahakarya dari Pemkot Malang itu, rencananya menelan anggaran sebesar Rp 185 miliar yang dianggarkan dalam dua tahun. Pada tahun 2020 sebesar Rp 125 miliar dan tahun setelah Rp 60 miliar.

Melihat dua fakta tersebut di atas, mungkin Anda masyarakat di luar Kota Malang bisa merasakan apa yang sedang kami rasakan. Untuk nyawa tak ada anggaran. Bangunan megah digelontor dana ratusan miliar rupiah.

Sebagai warga negara, akhirnya saya harus menelusuri aturan terkait dengan penganggaran. Alasan Pemkot Malang yang mengatakan jika Jembatan Muharto tidak masuk dalam RKPD memang sesuai dengan aturan hukum administrasi. Namun, pertanyaannya adalah, apakah tidak ada celah hukum untuk menganggarkannya?

Apakah ini bentuk kehati-hatian, karena ketika dianggarkan tidak sesuai prosedur maka akan berujung pada pelanggaran administrasi hingga sampai kasus hukum?

Apakah hukum se-kaku itu sehingga kini hingga satu tahun mendatang masyarakat yang melintas harus was-was karena kekuatan jembatan hanya ditambah penyangga saja? Pertanyaan itulah yang kemudian menjejelali otak saya untuk dicarikan jawaban dan solusinya.

Tentu kita masih ingat ketika Presiden RI, Joko Widodo, marah besar karena sistem birokrasi Indonesia yang ruwet menyebabkan investor lari dari Tanah Air. 

Mereka justru menuju negara tetangga seperti Vietnam, dan sebagainya. Rasa marah presiden, bisa saya rasakan ketika prosedur mengalahkan kepentingan besar bersama. Apalagi yang menyangkut nyawa.

Bukan sekali saja presiden marah karena melihat ada ketidakberesan yang ada. Contoh lain, Presiden Joko Widodo juga marah lantaran ada sekolah ambruk di Pasuruan Jawa Timur. Terakhir, Presiden juga naik pitam karena di akhir tahun masih ada tender pekerjaan proyek sekira Rp 31 Triliun.

Kemarahan Presiden RI mari kita renungkan secara substantif. Pemimpin negara ini saja, dengan gagah berani melakukan tindakan tegas jika mengetahui ada hal yang tidak beres terjadi. Sistem administrasi dan tata cara penganggaran sesuai dengan aturan perlu ditegakkan. Tapi lebih dari itu semua, kepentingan masyarakat luas adalah yang utama harus diperjuangkan.

Bahkan, dalam agama saja ketika ada hal yang sifatnya darurat, maka bisa "menabrak" aturan pakem yang sudah diperintahkan. Puasa Ramadan itu wajib. 

Tetapi ketika ada keadaan darurat, semisal seseorang sakit parah, maka puasa itu bisa ditunda di hari yang lain. Dalam kaidah Ushul Fiqh misalnya, kita juga mengenal "Ad dharurot tubikhul mahdurot" yang arti bebasnya kira-kira: "kondisi darurat membolehkan sesuatu yang dilarang".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun