Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Tiru Film Gagal, Anggaran Besar Belum Tentu Hasil Maksimal

8 November 2019   13:39 Diperbarui: 8 November 2019   13:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: News.Id

Era teknologi dan informasi membuat masyrakat makin mudah mengakses segala hal yang ingin diketahui termasuk sektor anggaran. Masih segar dibahas dan hingga kini menjadi bahan diskusi, yakni rencana anggaran Pemprov DKI Jakarta yang cukup fantastis untuk pengadaan lem aibon hingga alat tulis kantor. Nilainya tak main-main. Sampai ratusan miliar rupiah.

Bahkan, di Kota Malang tempat saya tinggal, publik juga tak mau ketinggalan memantau rencana anggaran pemerintah daerah pada tahun 2020.

Sebagian masyarakat, dengan semangat kritisnya kini sedang ramai "menggugat" urgensi membangun gedung Malang Creative Centre (MCC) dengan anggaran sebesar Rp 185 miliar.

Beberapa masyarakat berpendapat, jika MCC yang rencananya dibangun delapan lantai itu, belum mendesak dan dibutuhkan. Alasannya, program ekonomi kreatif Kota Malang masih sumir, dengan atmosfer pegiat ekonomi kreatif yang kurang bergeliat.

Sebagian lagi, memandang jika anggaran sebesar itu harus lebih di fokuskan untuk penanganan berbagai masalah sosial atau pembenahan fasilitas publik.

Maklum saja, meski menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur, Kota Malang masih saja dipenuhi jalan berlubang di berbagai titik. Belum lagi, ada satu jembatan di kawasan Kecamatan Kedung Kandang, rawan roboh karena struktur bangunannya sudah tak memadai lagi. Ribuan orang melintas jembatan itu tiap harinya.

Tapi hingga RAPBD Tahun 2020 disahkan, Pemerintah Kota tetap kokoh mempertahankan membangun MCC. Jembatan itu konon kabarnya hanya direkontruksi menggunakan dana tak terduga di APBD Tahun 2020 yang jumlahnya tak seberapa. Padahal, untuk urusan nyawa.

Pendapat paling keras, yakni pembangunan MCC yang katanya masih tanpa kajian itu, bisa mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) "berkunjung" kembali ke kota pendidikan.

Saya dan publik Kota Malang mungkin masih trauma agar kasus 41 mantan Anggota DPRD Kota Malang ditangkap KPK karena terkena kasus suap dana APBD tahun 2016 tak terulang kembali.

Segala pendapat dan kritik publik Kota Malang yang deras itu bertemu dengan persoalan politik anggaran di lembaga legislatif Kota Malang yang makin menghangat. Bahkan, baru-baru ini Ketua DPRD Kota Malang disomasi oleh mantan anggota DPRD Kota Malang atas pernyataannya di media massa terkait MCC. 

Ketua DPRD Kota Malang mengatakan jika proyek MCC sudah dianggarkan oleh Mantan Anggota DPRD periode sebelumnya dan saat ini pihaknya sudah tidak bisa mengotak-atik lagi Ranperda APBD Tahun 2020.

Kalimat ekstrim yang dilontarkan Ketua DPRD dan menyinggung perasaan mantan anggota dewan yakni adanya pengkondisian yang sudah dilakukan oleh dewan pada periode sebelumnya untuk proyek MCC.

Sontak, seakan berbalas pantun, mantan anggota dewan dengan langkah cepat melayangkan somasi kepada Ketua DPRD atas pernyataanya, serta sesumbar akan membawanya ke ranah hukum jika pernyataan itu tidak segera dicabut.

Walaupun, anggota DPRD punya hak imunitas, namun Ketua DPRD meminta maaf dan mencabut pernyataannya itu.

Di luar segala macam kisah dibelakang rencana pembangunan Gedung MCC itu, ada hal yang perlu dicermati. Proyek dengan nilai fantastis belum tentu berujung manis.

Sama halnya dengan dunia film. Biaya produksi besar belum tentu menghasilkan keuntungan besar. Proyek dan film dalam satu konteks tertentu sama-sama memiliki tujuan dan visi di belakangnya, meski beda secara substantif.

Proyek pemerintahan visi-nya adalah output maksimal untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Produksi film, tujuannya adalah meraup keuntungan dan rating sebanyaknya.

Dalam sejarah perfilman, ada sejumlah film berbiaya besar namun gagal total dalam meraup keuntungan. Padahal sejumlah nama besar disematkan dalam film tersebut.

Ambil contoh film "The 13th Warrior" yang dibintangi oleh aktor kawakan Antonio Banderas. Berbiaya 160 juta US Dolar, film ini justru tak laku dipasaran. Salah satu kritik pada film ini adalah lemahnya naskah dan minimnya plot yang menggugah selama film.

Sama halnya, film berjudul "47 Ronin" yang dibintangi Keanu Reeves juga gagal dipasaran. Menghabiskan biaya produksi sekitar 2,5 triliun rupiah film ini tak balik modal dengan pendapatan sebesar Rp 1,2 triliun rupiah. Film ini dinilai kurang original sehingga publik merasa kecewa dengan garapan film itu.

Paling tragis adalah film berjudul "Mars Need Moms". Kerugian film ini masih menjadi rekor buruk bagi rumah produksi Walt Disney. Bagaimana tidak, bermodalkan biaya produksi Rp 2,2 triliun, namun hanya bisa meraup penghasilan Rp 300 miliar.

Lagi-lagi masalah persiapan dan naskah film yang kurang matang, jadi faktor kegagalannya di pasaran.

Belajar dari berbagai kegagalan itu, nampaknya, ada satu kesimpulan yang bisa diambil. Biaya fantastis belum tentu berbuah manis. Kondisi seperti itu bisa saja ada banyak faktor dan salah satunya adalah perihal konsep dan perencanaannya.

Bandingkan misalnya dengan film fenomenal berjudul Joker. Tak banyak kocek dirogoh untuk pembuatan film tersebut, namun penghasilannya sangat fantastis. Kekuatan film Joker yang diperankan Joaquin Phoenix tak lain adalah keseriusan dalam hal perencanaan serta penulisan naskah yang kuat.

Sama halnya, dalam bidang pemerintahan seluruh proyek pasti diawali dengan perencanaan dan skala prioritas. Maka dari situ munculah berbagai istilah seperti Detail Engineering Design (DED) atau Feasibility Study (FS). Bahkan, juga ditambah kajian lain termasuk kajian Analisis Dampak Lalu Lintas (Amdal Lalin) dan Analisi Dampak Lingkungan Hidup, kajian ekonomi, sosial dan sebagainya. Berbagai kajian ini penting sebagai prolog untuk disampaikan kepada publik terkait pentingnya suatu pekerjaan proyek tertentu, alasan kenapa harus dibangun dan tujuan serta output kepada masyarakat.

Berbagai kajian lantas menimbulkan perdebatan baik secara akademis maupun politis dalam pembahasan antara legislatif dan eksekutif. Pembahasan tersebut harusnya berujung pada dua hal. Proyek diterima, atau ditangguhkan sementara waktu karena masih ada prioritas tertentu yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Kembali ke kasus MCC di Kota Malang. Beberapa Anggota DPRD Kota Malang merasa tidak pernah mendapatkan paparan menyeluruh soal rencana pembangunan MCC dengan biaya fantastis. Bahkan para wakil rakyat bersikap realistis dengan menanyakan peran dan hal yang sudah dilakukan untuk pengembangan ekonomi kreatif. Artinya, harus ada kajian dan perencanaan yang jelas terkait dengan gedung MCC, sebelum digelontorkan anggaran ratusan miliar rupiah untuk pembangunannya.

Sebuah harian cetak lokal di Kota Malang, sempat membandingkan anggaran untuk pembangunan gedung kreatif antara di Kota Malang dan Kota Bandung. Jika Kota Malang membutuhkan Rp 185 miliar, maka Kota Bandung cukup menggelontorkan anggaran sekitar Rp 40 miliar untuk membangun gedung kreatifnya. Pembandingan ini bisa saja setara dengan contoh film gagal berbiaya besar, dengan film Joker yang minim biaya namun hasilnya maksimal.

Malang, 8 November 2019  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun