Imunitas kedaulatan negara merupakan salah satu prinsip dasar hukum internasional yang telah tertanam sejak lama. Prinsip ini menyatakan bahwa negara berdaulat tidak dapat diadili di pengadilan negara lain tanpa persetujuannya. Imunitas ini melindungi negara dari campur tangan asing dalam urusan internalnya dan memungkinkan negara untuk menjalankan fungsi pemerintahannya dengan bebas.Â
Namun, dalam era globalisasi yang semakin kompleks, prinsip imunitas kedaulatan negara dihadapkan pada dilemma bagaimana menyeimbangkan kedaulatan negara dengan tanggung jawab internasional yang semakin meningkat.Â
Pada satu sisi, imunitas kedaulatan negara merupakan pilar penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan internasional. Tanpa imunitas, negara akan mudah menjadi sasaran tuntutan hukum dari negara lain, yang dapat menghambat pelaksanaan kebijakan luar negeri dan mengganggu hubungan antar negara.
 Misalnya, jika negara A dapat mengadili negara B atas pelanggaran hak asasi manusia di wilayahnya, maka negara B akan merasa terancam dan mungkin akan mengambil tindakan balasan yang dapat memicu konflik.
Di sisi lain, imunitas kedaulatan negara juga dapat menjadi penghalang bagi penegakan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang serius, korban seringkali kesulitan untuk mendapatkan keadilan karena negara pelaku tidak dapat diadili di pengadilan internasional. Hal ini menimbulkan ketidakadilan dan dapat memicu ketidakpercayaan terhadap sistem hukum internasional.Â
Dilema ini semakin kompleks dengan munculnya berbagai isu global seperti perubahan iklim, terorisme, dan kejahatan transnasional. Dalam menghadapi isu-isu ini, negara-negara dituntut untuk bekerja sama dan bertanggung jawab secara kolektif.
Meskipun imunitas kedaulatan negara merupakan prinsip penting dalam hukum internasional, prinsip ini tidaklah mutlak dan perlu terus dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam era globalisasi, negara-negara dituntut untuk bertanggung jawab secara kolektif dalam mengatasi berbagai isu global.Â
Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk menyeimbangkan kedaulatan negara dengan tanggung jawab internasional agar tercipta sistem hukum internasional yang adil, efektif, dan berkelanjutan. Imunitas kedaulatan negara berfungsi sebagai perisai hukum yang melindungi negara dari intervensi asing dalam urusan domestik. Konsep ini berakar dalam pengakuan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengatur urusannya sendiri tanpa campur tangan luar.
Historisnya, pengakuan terhadap imunitas kedaulatan negara mulai berkembang pada abad ke-19, terutama dengan munculnya negara-negara modern dan sistem hukum internasional. Namun, pasca Perang Dunia II, isu-isu yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan perang telah memperumit pemahaman kita tentang imunitas.Â
Kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran berat oleh negara-negara tertentu telah menimbulkan pertanyaan serius mengenai sejauh mana imunitas dapat diterapkan tanpa mengorbankan keadilan.Â
Dilema utama yang muncul adalah antara menjaga kedaulatan negara dan memenuhi tanggung jawab internasional, namun di sisi lain negara berhak untuk melindungi diri dari intervensi asing, tetapi ketika negara melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tanggung jawab internasional untuk melindungi warga sipil menjadi semakin mendesak.
Ketika sebuah negara terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, imunitas kedaulatan sering kali digunakan sebagai perisai. Contoh yang mencolok adalah situasi di Sudan di bawah kepemimpinan Omar al-Bashir, yang menghadapi tuduhan genosida, meskipun ada upaya dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili al-Bashir, imunitas kedaulatan negara membuat proses tersebut menjadi sangat rumit, hal ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip imunitas dapat berkontribusi pada ketidakadilan dan ketidakmampuan untuk menuntut pertanggungjawaban atas kejahatan internasional.Â
Hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Imunitas Negara dan Aset-aset Negara, memberikan panduan tentang penerapan imunitas. Namun, tidak semua negara telah meratifikasi konvensi ini, dan interpretasi mengenai imunitas kedaulatan seringkali bervariasi.Â
Di satu sisi, negara-negara kecil dan berkembang dapat menggunakan prinsip ini untuk melindungi diri dari tekanan internasional, sementara di sisi lain, negara-negara besar mungkin menggunakan imunitas untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan mereka.
Konsep tanggung jawab untuk melindungi (R2P) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 2005 memberikan kerangka kerja untuk menanggapi pelanggaran hak asasi manusia yang serius. R2P menegaskan bahwa jika sebuah negara gagal melindungi rakyatnya dari kejahatan berat, komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk campur tangan, ini menciptakan ketegangan dengan prinsip imunitas kedaulatan, karena intervensi dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan negara yang bersangkutan.Â
Untuk mengatasi dilema antara kedaulatan dan tanggung jawab internasional, diperlukan pendekatan yang lebih humanis.Â
Pertama, perlu adanya peningkatan kesadaran dan pendidikan mengenai hukum internasional di kalangan pejabat negara dan masyarakat sipil, dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hak dan kewajiban dalam konteks global, negara-negara dapat lebih siap untuk menghadapi tantangan yang muncul.Â
Kedua, dialog internasional yang konstruktif antara negara-negara, terutama dalam konteks lembaga internasional seperti PBB, harus didorong. Kerjasama dan negosiasi dapat membantu menemukan solusi yang menghormati kedaulatan negara sambil tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. K
etiga, reformasi hukum internasional yang lebih komprehensif mungkin diperlukan untuk mengatasi batasan-batasan dalam penerapan imunitas kedaulatan. Ini termasuk peninjauan kembali terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dan pengembangan norma-norma baru yang dapat menangani situasi di mana pelanggaran hak asasi manusia terjadi.
Imunitas kedaulatan negara adalah prinsip yang penting dalam hukum internasional, tetapi dilema antara kedaulatan dan tanggung jawab internasional tidak dapat diabaikan. Dalam era global yang semakin kompleks, negara-negara harus berusaha untuk menemukan keseimbangan antara melindungi kedaulatan mereka dan memenuhi tanggung jawab terhadap warga negara dan komunitas internasional.Â
Dengan pendekatan yang tepat, dialog yang konstruktif, dan reformasi hukum yang diperlukan, kita dapat berharap untuk menciptakan dunia di mana kedaulatan negara dan tanggung jawab internasional dapat berdampingan dengan harmonis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI