Baru-baru ini, berita tentang seorang driver ojol di Medan yang meninggal dunia karena kelaparan mengguncang banyak orang. Bayangkan, di kota sebesar Medan, di tengah hiruk-pikuk dan gedung-gedung tinggi, ada seseorang yang kehilangan nyawanya hanya karena tidak punya uang untuk makan.Â
Di era modern ini, saat kita bisa memesan makanan dalam beberapa klik di aplikasi, masih ada orang yang secara tragis tidak bisa merasakan hal yang sama. Kematian driver ini bukan sekadar tragedi personal; ini adalah cerminan dari kegagalan sistem sosial kita.
Kamu mungkin bertanya-tanya, bagaimana mungkin kelaparan masih bisa terjadi di zaman sekarang? Bagaimana bisa seorang yang bekerja keras, yang keluar rumah setiap hari untuk mencari nafkah, tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar seperti makan? Di sinilah kita harus menghadapi kenyataan pahit: sistem sosial kita sering kali tidak mampu melindungi mereka yang paling rentan.
Kesenjangan yang Semakin Melebar
Mari kita jujur. Kemiskinan dan ketidaksetaraan bukanlah fenomena baru di Indonesia. Namun, saat kita membicarakan tentang kota besar seperti Medan atau Jakarta, sering kali ada anggapan bahwa mereka yang tinggal di kota besar pasti lebih sejahtera. Faktanya, kesenjangan antara yang mampu dan yang tidak mampu semakin nyata. Mereka yang bekerja di sektor informal, seperti driver ojol, sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Ketika pendapatan mereka tidak pasti, mereka sering kali terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit ditembus.
Baca juga:Â Mengubah Luka menjadi Kekuatan
Sistem sosial kita, yang seharusnya melindungi mereka dalam situasi seperti ini, justru sering kali tidak hadir. Jaring pengaman sosial yang ada seringkali tidak cukup kuat atau terlalu birokratis untuk diakses oleh mereka yang paling membutuhkan. Seorang driver ojol yang kehilangan nyawanya karena kelaparan adalah contoh nyata dari kegagalan sistem yang tidak dapat menyediakan dukungan mendasar bagi warganya.
Solidaritas yang Mulai Memudar
Indonesia dikenal dengan budaya gotong-royongnya. Di banyak komunitas, solidaritas sosial adalah benteng terakhir bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Namun, seiring dengan modernisasi dan urbanisasi, nilai-nilai ini tampaknya semakin pudar. Di kota-kota besar, kita sering kali hidup dalam "gelembung" kita sendiri, lebih sibuk dengan urusan pribadi daripada memperhatikan tetangga di sekitar. Padahal, dengan memperkuat solidaritas sosial dan kepedulian terhadap sesama, banyak tragedi seperti ini bisa dicegah.
Kamu mungkin ingat, dalam budaya kita dulu, ada istilah "pager mangkok" di mana tetangga saling berbagi makanan. Ini adalah bentuk nyata dari gotong-royong yang kini mungkin mulai memudar di masyarakat perkotaan. Ketika solidaritas ini hilang, mereka yang rentan semakin tersisih. Mereka tak hanya menghadapi ketidakpastian finansial, tetapi juga kehilangan dukungan sosial yang bisa menjadi jaring pengaman terakhir.
Kebijakan Pemerintah: Cukupkah?
Tentu saja, pemerintah juga memegang peran penting dalam mengatasi masalah ini. Program bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) memang sudah ada, tetapi apakah program-program ini sudah menjangkau mereka yang paling rentan, seperti para pekerja informal? Apakah bantuan yang diberikan sudah cukup untuk memastikan tidak ada lagi orang yang harus kelaparan?
Kematian driver ojol ini menimbulkan pertanyaan yang mendalam: seberapa efektifkah kebijakan pemerintah dalam melindungi warganya dari kemiskinan ekstrim? Apakah bantuan yang ada cukup fleksibel dan mudah diakses oleh mereka yang bekerja di sektor informal? Atau, apakah ada celah besar dalam kebijakan ini yang membuat orang-orang seperti driver ojol jatuh melalui retakan sistem?
Baca juga: Bahaya Nomophobia: Mengapa 'No Signal' Lebih Menakutkan dari Kehilangan Pekerjaan?
Kamu mungkin setuju bahwa pemerintah perlu memperbaiki dan memperkuat sistem perlindungan sosial. Program-program bantuan perlu lebih terarah dan mudah diakses oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Selain itu, dibutuhkan kebijakan yang bisa memberikan stabilitas ekonomi bagi para pekerja informal. Bukan hanya bantuan sesaat, tetapi juga dukungan yang berkelanjutan, seperti akses kesehatan dan pekerjaan yang layak.
Langkah Nyata yang Bisa Kita Ambil
Namun, tidak adil jika kita hanya menyalahkan pemerintah atau sistem. Sebagai masyarakat, kita juga memiliki peran penting. Mungkin ini saatnya untuk merevitalisasi kembali semangat gotong-royong di komunitas kita. Mulailah dengan hal-hal kecil. Perhatikan tetangga sekitarmu, terutama mereka yang mungkin berada di posisi sulit. Jika kita semua mengambil sedikit tanggung jawab untuk peduli terhadap sesama, kita bisa mencegah tragedi seperti ini terjadi lagi.
Kamu juga bisa terlibat dalam organisasi atau gerakan sosial yang berfokus pada pemberdayaan mereka yang kurang beruntung. Banyak komunitas yang melakukan inisiatif swadaya untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dari dapur umum hingga bantuan sembako, ada banyak cara untuk berkontribusi.
Menutup Celah Ketidakpedulian
Kematian akibat kelaparan di tengah kota besar bukanlah sesuatu yang bisa kita abaikan. Ini adalah panggilan untuk lebih peduli, untuk lebih memperhatikan mereka yang ada di sekitar kita, dan untuk mendorong perubahan dalam sistem sosial kita yang saat ini masih terlalu lemah untuk melindungi yang rentan. Kamu dan saya memiliki peran dalam memastikan kejadian tragis ini tidak terulang lagi. Mari kita kembali mengedepankan gotong-royong, memperkuat solidaritas, dan mendorong perubahan yang nyata, baik di tingkat masyarakat maupun kebijakan.
Kita tidak bisa membiarkan lebih banyak nyawa hilang hanya karena mereka tidak punya cukup uang untuk makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H