Mohon tunggu...
Muchamad Dani Andrean
Muchamad Dani Andrean Mohon Tunggu... Mahasiswa - #MDAndrean

" Menulis adalah dua kali membaca." (Gol A Gong)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Stop Apatisme Politik: Menumbuhkan Kesadaran Politik pada Generasi Milenial

26 Maret 2021   21:58 Diperbarui: 26 Maret 2021   22:06 1424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Data Sensus Penduduk 2020 oleh BPS

Jak Pat App (2015) pernah melakukan  penelitian tentang “Preferensi Politik Generasi Millennial”. Hasilnya mengungkapkan bahwa generasi milenial memandang politik sebagai kekuasaan (26 8.75 %), korupsi (24 8.08 %), kotor (21,07%), pemerintahan (15,05%) dan partai (11,37%). Apatisme berpolitik generasi ini sangat tinggi, yakni mencapai 62,63% tidak mau mengikuti perkembangan isu politik terkini. Hasil riset Jak Pat ini tidak jauh berbeda dengan fakta bahwa sikap apatis politik di kalangan generasi muda masih cukup tinggi, karena pandangan mereka yang menyamakan  politik identik dengan korupsi dan bersifat kotor.

Padahal jika merujuk pada konsep partisipasi politik yang dikemukakan oleh Bourne (2010), bahwa setiap warga  (termasuk generasi milenial) di negara demokrasi dapat melakukannya sebagai kegiatan pribadi untuk memengaruhi keputusan pemerintah. Bentuk partisipasinya pun beragam antara lain terlibat dalam arena publik untuk mempromosikan dan menyampaikan tuntutannya kepada siapa saja yang ingin mendengarkan. Atau menjadikan lembaga pembuat undang-undang (legislatif) atau lembaga eksekutif sebagai target pesan politik yang ingin disampaikan (Back, et al, 2011).

Kenyataan yang ditemui, bahwa generasi milenial tidak terlalu tertarik untuk berpartisipasi secara politik. Namun ada hal yang menarik yang perlu diperhatikan bahwa perjumpaan generasi milenial dengan media digital menghadirkan pola komunikasi yang tidak lagi menggunakan pola konvensional. Karena itu perlu menggunakan media sosial untuk melakukan pendekatan terhadap generasi ini. Sandforth dan Haworth (2002) menegaskan bahwa melalui partisipasinya dalam politik, generasi milenial tidak hanya menginginkan perubahan, namun juga berharap menjadi agen perubahan dengan cara mereka sendiri. 

Apalagi generasi milenial adalah adalah agen perubahan bangsa. Partisipasi mereka dalam dunia politik diharapkan akan membawa perubahan dalam demokrasi. Sebaliknya, generasi milenial yang apatis dan tidak peduli terhadap politik serta berbagai kebijakan pemerintah, akan membuat demokrasi tidak berkembang. Karena itu diperlukan partisipasi para pemuda untuk menjadikan negara maju. Sandford dan Haworth (2002) menyatakan bahwa di tengah meningkatnya apatisme terhadap iklim politik, memaksa generasi milenial untuk berputar haluan menjauh dari politik. Namun, generasi milenial sekarang berpandangan bahwa sikap tersebut harus diubah salah satunya dalam bentuk gerakan relawan atau menjadi aktivis dengan fokus pada upaya memajukan kehidupan masyarakat.

Gun Gun Heryanto (dalam liputan6, 2016) menjelaskan bahwa interaksi dan ekspresi partisipasi generasi milenial telah mengkonfirmasi adanya fenomena demokrasi siber (Cyberdemocrazy). Fenomena ini ditandai dengan empat faktor penting yaitu:

  1. Trend global dalam mempraktikkan model demokrasi partisipatoris. 
  2. Komunikasi politik interaktif. 
  3. Konflik sering kali dimediasi oleh pengguna informasi berbasis teknologi komunikasi.  
  4. Transformasi politik yang terhubung ke internet dan memberi akses pada informasi yang bersifat personal. 

Gun Gun berharap partisipasi generasi Y tidak hanya semata-mata soal pemilu saja, tetapi menjadikan media sosial sebagai ruang publik baru. Karakteristik generasi milenial yang menjadi pengontrol dan penekan ini seharusnya diarahkan ke ruang publik baru sehingga menjadi pengontrol yang strategis.

RESOLUSI POLITIK GENERASI MILENIAL: STOP APATISME POLITIK

Untuk menciptakan generasi milenial Y yang lebih aktif dalam berpartisipasi politik,  perlu pendekatan berbasis komunal. Ada peran yang sangat penting untuk membangun komunitas, tidak hanya berbasis fisik tetapi juga secara online. Selain itu, dari komunitas harus ada upaya lebih konkrit dan inisiatif untuk diskusi di media sosial. Kemudian terhubung kembali dengan realitas. Realitas disini adalah mengumpulkan orang dalam mengkritisi kebijakan publik. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2017) yang menyebutkan bahwa dalam perspektif komunikasi politik, apa yang dilakukan oleh generasi milenial dengan menggagas gerakan kerelawanan (komunitas baik secara online maupun nyata) merupakan indikasi kesiapan mereka sebagai aktor politik. Wujud aktor politik tersebut adalah sebagai aktivis, yang menjembatani kepentingan masyarakat dengan kandidat yang mereka usung, serta untuk mencapai proses berdemokrasi yang lebih jujur, adil, dan transparan. Generasi milenial, melalui partisipasinya dalam politik, tidak hanya menginginkan perubahan, namun juga berharap menjadi agen perubahan dengan cara mereka sendiri. 

Dukungan dan partisipasi politik generasi milenial ini akan terbentuk jika terus menerus terpapar media digital yang berisikan sosialisasi atau informasi/berita tentang kampanye mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang positif. Mengingat generasi ini adalah mayoritas pengguna media digital (internet, media sosial dan lain sebagainya).  Sosialisasi tersebut bisa dalam bentuk film, pesan teks yang menarik serta video digital di media sosial maupun media online lainnya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun