PENDAHULUAN/APERSEPSI
Fenomena generasi milenial adalah pembahasan yang unik dan banyak dibicarakan. Di tengah transformasi digital, kehidupan generasi milenial tidak bisa terlepas dengan kehidupan teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Namun, generasi milenial diidentikkan sebagai generasi yang acuh terhadap persoalan politik, diantaranya menjadi warga negara yang tidak ikut berpatisipasi dalam menggunakan hak pilihnya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu).
![Perseteruan di tingkat elite membuat generasi milenial semakin acuh dengan politik.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/23/perseteruan-demokrat-ahy-moeldoko-605970378ede4833e47fefb2.jpg?t=o&v=770)
![Polarisasi Pemilu menguras energi yang begitu besar bagi bangsa](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/23/jokowi-vs-prabowo-605972938ede4815872ff522.jpg?t=o&v=770)
"Bagi anak muda, politik seperti sesuatu yang jauh di luar planet bumi. Padahal, generasi milenial memiliki karakter yang lebih berani, ngomong apa adanya, berani menilai. Dulu zaman saya tidak berani menilai yang senior." Ayu Utami (Penulis)
Jumlah generasi milenial dan Gen Z di Indonesia menurut hasil Sensus Penduduk 2020 (SP 2020) oleh Badan Pusat Statistik adalah 53,81 persen atau separuh lebih dari jumlah penduduk di Indonesia. Adapun jumlah penduduk Indonesia menurut Badan Pusat Statistik adalah 270,20 juta jiwa (Sensus Penduduk 2020). Artinya, sekitar 145 juta jiwa merupakan penduduk dengan usia muda (generasi milenial dan Gen Z). Penggolongan "generasi milenial" dengan "Gen Z" dilakukan berdasarkan rentang umur. Penduduk generasi milenial adalah penduduk yang berusia 24-39 tahun, sedangkan penduduk generasi Z adalah penduduk yang berusia 8-23 tahun.
Untuk generasi milenial sendiri berjumlah sekitar 70 juta jiwa atau sekitar 25,87 persen. Angka tersebut tentunya merupakan angka yang besar sebagai lumbung suara ketika Pemilihan Umum. Selain memiliki populasi yang besar, generasi milenial juga merupakan penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa sehingga suara dari generasi milenial sangatlah diperlukan.
![Data Sensus Penduduk 2020 oleh BPS](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/23/sensus-penduduk-2020-60599e418ede48766f5dd973.jpeg?t=o&v=770)
Penggunaan media digital dan generasi milenial adalah dua hal yang tentunya tidak dapat dipisahkan di era digitalisasi ini. Generasi milenial dikenal sebagai generasi yang paling banyak mengakses internet dalam keseharian mereka. Akan tetapi penelitian di negara-negara besar seperti Amerika dan Inggris, generasi milenial kurang tertarik berpartisipasi dalam organisasi relawan, dan juga kurang terlibat secara sosial dan politik (Little, 2009). Bagaimana dengan generasi yang sama di Indonesia?
Menurut penelitian, mayoritas generasi milenial di Indonesia menganggap topik politik merupakan topik yang "biasa saja". Sementara sisanya, generasi milenial yang mengikuti penelitian menyatakan bahwa topik politik merupakan topik yang menarik.
Bagaimana dengan saya sendiri selaku penulis?
Sebagai warga negara yang sudah memiliki hak pilih, saya sendiri beranggapan bahwa topik politik bisa jadi merupakan topik yang biasa dan juga dapat menjadi topik yang menarik. "Biasa saja" di sini artinya adalah politik merupakan sebuah dinamika, perseteruan di antara elite misalnya, itu merupakan sebuah hal yang "biasa", politik memang penuh dengan kepentingan.
Topik politik bisa menjadi pembahasan yang menarik apabila dinamika-dinamika tersebut dapat menjadi rumusan atas apa yang terjadi. Misal, polarisasi politik yang dianggap "biasa" dapat menjadi menarik apabila kita dapat mengambil pelajaran di dalamnya. Output dari ini adalah kita dapat menghindari fanatisme di dalam politik, kita dapat menggunakan hak pilih dan memberikan suara kepada mereka yang layak menduduki jabatan di bidang eksekutif ataupun di bidang legislatif.
KESADARAN BERPOLITIK PADA GENERASI MILENIAL
Ada banyak cara yang dapat dilakukan setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Menurut Teorell, et al, (2007) partisipasi politik warga diantaranya dengan memberikan suara dalam Pemilu/Pilkada, mengirim surat/pesan kepada pemerintah, ikut dalam aksi protes atau demonstrasi, menjadi anggota partai politik, menjadi anggota organisasi kemasyarakatan, mencalonkan diri untuk jabatan publik, memberikan sumbangan kepada partai atau politisi, hingga ikut dalam acara penggalangan dana (Morrison, 2016).
Jika dihubungkan dengan perkembangan zaman saat ini, partisipasi politik generasi sekarang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya yang terbilang masih konvensional misalnya dengan melakukan aksi demontrasi dengan turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi. Meski aksi ini masih juga dilakukan namun dengan jumlah yang tidak banyak. Partisipasi politik dewasa ini lebih banyak di melalui internet dan media online. EACEA (2012) menyebut partisipasi politik generasi muda masa kini memiliki sifat cenderung lebih individual, spontan, ataupun berdasarkan isu tertentu.
Contoh sederhana adalah ketika kegiatan Pemilu Serentak 2020 yang berlangsung di masa pandemi, partisipasi politik generasi milenial lebih cenderung terpengaruh pada isu yaitu pandemi Covid-19. Meski terbilang sukses, Pemilu 2020 masih menyisakan PR terutama mengenai partisipasi politik (penggunaan hak pilih) pada generasi milenial. Generasi milenial yang biasanya cenderung acuh dengan Pemilu tiba-tiba dibuat ramai ketika pembahasan Pemilu dikaitkan dengan isu kesehatan (pandemi). Banyak di antara pemilih pemula (termasuk penulis) memilih untuk golput alias tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2020. Selain karena isu pandemi, isu lain adalah soal estafet kepemimpinan (sosok) yang memang belum bisa menandingi calon petahana. Misalnya Pemilu di Kabupaten Serang yang lalu, sosok Ratu Tatu adalah sosok yang punya elektabilitas kuat dan sulit ditandingi. Paslon lawan pun seperti kalah "pamor" dibandingkan Ratu Tatu. Akhirnya, banyak generasi muda yang memilih acuh karena mereka yakin bahwa calon petahana akan menang (seperti anggapan penulis juga). Prediksi itu ternyata benar, Pasangan Calon Ratu Tatu - Panji Tirtayasa memenangkan Pemilu 2020 dengan perolehan 64.4 persen (428.297 suara).
![Pertarungan Pilkada Kab.Serang 2020](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/26/tatu-vs-nasrul-ulum-605de6a2d541df573544a283.jpg?t=o&v=770)
Kilber, et al (2014) menyebutkan bahwa karakteristik yang terbentuk pada generasi milenial atau generasi Y adalah kecanduan internet, percaya diri dan harga diri tinggi dan lebih terbuka dan bertoleransi terhadap perubahan. Sedangkan Lyons (2004) mengungkapkan bahwa generasi milenial memiliki karakteristik pola komunikasinya yang sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi.
Sementara hasil riset Ali dkk (2017) juga menyebutkan bahwa salah satu karakteristik generasi milenial kelas menengah urban adalah generasi yang connected. Mereka merupakan generasi yang pandai bersosialisasi, terutama dalam komunitas yang mereka ikuti. Selain itu, mereka juga berselancar di sosial media dan internet. Karakter milenial ini, banyak dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan teknologi, khususnya gadget dan internet.
Media digital yang merupakan teknologi baru yang canggih yang merupakan konvergensi antara media dan teknologi (Folkerts, et al, 2008). Jika generasi milenial banyak menggunakan media digital, itu juga karena mereka lahir dan tumbuh pada era dimana internet masif digunakan (Lyons, 2004). Ali (2017) menyebutkan bahwa generasi milenial tumbuh bersama dengan mulai berkembangnya internet. Bagi generasi milenial, internet sudah menjadi kebutuhan pokok, setara dengan kebutuhan dasar akan sandang, pangan dan papan.
![Media digital dan generasi milenial](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/26/didco-membangun-loyalitas-merk-bersama-generasi-milenial-thumbnail-605deacc8ede487d520b8b52.png?t=o&v=770)
Jak Pat App (2015) pernah melakukan penelitian tentang “Preferensi Politik Generasi Millennial”. Hasilnya mengungkapkan bahwa generasi milenial memandang politik sebagai kekuasaan (26 8.75 %), korupsi (24 8.08 %), kotor (21,07%), pemerintahan (15,05%) dan partai (11,37%). Apatisme berpolitik generasi ini sangat tinggi, yakni mencapai 62,63% tidak mau mengikuti perkembangan isu politik terkini. Hasil riset Jak Pat ini tidak jauh berbeda dengan fakta bahwa sikap apatis politik di kalangan generasi muda masih cukup tinggi, karena pandangan mereka yang menyamakan politik identik dengan korupsi dan bersifat kotor.
Padahal jika merujuk pada konsep partisipasi politik yang dikemukakan oleh Bourne (2010), bahwa setiap warga (termasuk generasi milenial) di negara demokrasi dapat melakukannya sebagai kegiatan pribadi untuk memengaruhi keputusan pemerintah. Bentuk partisipasinya pun beragam antara lain terlibat dalam arena publik untuk mempromosikan dan menyampaikan tuntutannya kepada siapa saja yang ingin mendengarkan. Atau menjadikan lembaga pembuat undang-undang (legislatif) atau lembaga eksekutif sebagai target pesan politik yang ingin disampaikan (Back, et al, 2011).
Kenyataan yang ditemui, bahwa generasi milenial tidak terlalu tertarik untuk berpartisipasi secara politik. Namun ada hal yang menarik yang perlu diperhatikan bahwa perjumpaan generasi milenial dengan media digital menghadirkan pola komunikasi yang tidak lagi menggunakan pola konvensional. Karena itu perlu menggunakan media sosial untuk melakukan pendekatan terhadap generasi ini. Sandforth dan Haworth (2002) menegaskan bahwa melalui partisipasinya dalam politik, generasi milenial tidak hanya menginginkan perubahan, namun juga berharap menjadi agen perubahan dengan cara mereka sendiri.
Apalagi generasi milenial adalah adalah agen perubahan bangsa. Partisipasi mereka dalam dunia politik diharapkan akan membawa perubahan dalam demokrasi. Sebaliknya, generasi milenial yang apatis dan tidak peduli terhadap politik serta berbagai kebijakan pemerintah, akan membuat demokrasi tidak berkembang. Karena itu diperlukan partisipasi para pemuda untuk menjadikan negara maju. Sandford dan Haworth (2002) menyatakan bahwa di tengah meningkatnya apatisme terhadap iklim politik, memaksa generasi milenial untuk berputar haluan menjauh dari politik. Namun, generasi milenial sekarang berpandangan bahwa sikap tersebut harus diubah salah satunya dalam bentuk gerakan relawan atau menjadi aktivis dengan fokus pada upaya memajukan kehidupan masyarakat.
Gun Gun Heryanto (dalam liputan6, 2016) menjelaskan bahwa interaksi dan ekspresi partisipasi generasi milenial telah mengkonfirmasi adanya fenomena demokrasi siber (Cyberdemocrazy). Fenomena ini ditandai dengan empat faktor penting yaitu:
- Trend global dalam mempraktikkan model demokrasi partisipatoris.
- Komunikasi politik interaktif.
- Konflik sering kali dimediasi oleh pengguna informasi berbasis teknologi komunikasi.
- Transformasi politik yang terhubung ke internet dan memberi akses pada informasi yang bersifat personal.
Gun Gun berharap partisipasi generasi Y tidak hanya semata-mata soal pemilu saja, tetapi menjadikan media sosial sebagai ruang publik baru. Karakteristik generasi milenial yang menjadi pengontrol dan penekan ini seharusnya diarahkan ke ruang publik baru sehingga menjadi pengontrol yang strategis.
RESOLUSI POLITIK GENERASI MILENIAL: STOP APATISME POLITIK
Untuk menciptakan generasi milenial Y yang lebih aktif dalam berpartisipasi politik, perlu pendekatan berbasis komunal. Ada peran yang sangat penting untuk membangun komunitas, tidak hanya berbasis fisik tetapi juga secara online. Selain itu, dari komunitas harus ada upaya lebih konkrit dan inisiatif untuk diskusi di media sosial. Kemudian terhubung kembali dengan realitas. Realitas disini adalah mengumpulkan orang dalam mengkritisi kebijakan publik. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2017) yang menyebutkan bahwa dalam perspektif komunikasi politik, apa yang dilakukan oleh generasi milenial dengan menggagas gerakan kerelawanan (komunitas baik secara online maupun nyata) merupakan indikasi kesiapan mereka sebagai aktor politik. Wujud aktor politik tersebut adalah sebagai aktivis, yang menjembatani kepentingan masyarakat dengan kandidat yang mereka usung, serta untuk mencapai proses berdemokrasi yang lebih jujur, adil, dan transparan. Generasi milenial, melalui partisipasinya dalam politik, tidak hanya menginginkan perubahan, namun juga berharap menjadi agen perubahan dengan cara mereka sendiri.
Dukungan dan partisipasi politik generasi milenial ini akan terbentuk jika terus menerus terpapar media digital yang berisikan sosialisasi atau informasi/berita tentang kampanye mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang positif. Mengingat generasi ini adalah mayoritas pengguna media digital (internet, media sosial dan lain sebagainya). Sosialisasi tersebut bisa dalam bentuk film, pesan teks yang menarik serta video digital di media sosial maupun media online lainnya. []
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI