Malam itu aku sedang bercengkrama dengan teman-teman. Seperti biasa, kami selalu begadang sampai akhir malam. Aku memang lebih suka menghabiskan malam dengan sebuah cengkrama. Cengkrama yang hanya memperbincangkan hal-hal yang tak berharga. Tak berguna. Meski di tangan kami sambil ada kitab, yang sesekali aku pandangi di saat Pengurus mengontrol. Biasanya sampai setengah empat. Sampai anak-anak bangun semua. Lalu ikut hadiran ke Masjid. Untuk salat jamaah dan I’tikaf. Mulai dari tahajjud, witir, hingga salat fajar. Itupun karena peraturan Pondok. Bukan kehendak sendiri. Ya, bukan karena nurani. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara tangisan yang sangat memilukan. Sebuah ratapan yang membuat suasana menjadi risuh. gaduh. Aku terperanjat sembari berucap;
“Suara apa itu, Ri?” Tanyaku sama Huri, temanku. Cengkrama itu berhenti. Mereka berusaha menyimak suara yang kudengar.
“Mana?” Jawabnya sembari mengangkat tangannya sejajar denga telinga.
“Itu…” Suaraku agak ditekan.
“Mana bro? Ndak ada suara apa-apa.” Timpal Komar.
“Itu… Masak kalian ndak dengar sih…?”
“Emang suara apa sih?” Huri kembali bertanya.
“Suara orang nangis…” Jawabku. Singkat.
“Ah, kamu jangan main-main! Lah wong lagi sepi kayak gini, bilang ada orang nangis.” Ujar Komar.
“Suara hantu, kali.” Huri menimpali.
“Masak kalian ndak dengar sih?”
“Ada-ada saja kamu…!” Ucap Komar.
“Uuuhhh…! Apa sih maksud mereka? Bilang aja kalo ndak peduli.” Gumamku dalam hati. Kesal.
Aku beranjak dan meninggalkan tempat cengkrama itu. Aku melangkah gontai mencari suara tangisan yang sempat membuatku pilu itu. Sebuah suara ratapan yang benar-benar membuat gendangan telingaku seakan mau pecah. hancur. Ya, mau retak. Lagkahku terus menyusuri lorong-lorong kecil depan asrama. Ah, sebuah keanehan dan keajaiban tiba-tiba mendarat di atas kepalaku. Absurd. Ya, very impossible. Hatiku benar-benar tidak percaya, ternyata suara itu muncul dari Perpustakaan. “Ah, ada apa ya?” Batinku. Penasaran.
Aku berlari-lari kecil mendekatinya. Ah, kenapa teman-teman yang sedang duduk di sekitarnya tetap tenang-tenang saja? Mereka sedang asyik bersilat lidah. Entah, apa yang sedang mereka diskusikan? Tapi bila kulihat dari gaya ngomongnya, karena memang suara mereka tidak kedengaran, kalah dengan suara gaduh dari dalam Perpustakaan, sepertinya mereka hanya bincang-bincang hal-hal yang tidak ada gunanya. Meski di tangan-tangan mereka ada sebuah kitab. Camilan, kopi dan batang rokok yang menemani mereka, membuat suasana mereka lebih asyik. Hingga sama sekali tidak mempedulikan hal yang terjadi di sekitarnya; tangisan yang benar-benar memilukan.
Kini langkahku sudah sekitar dua meter di depan Perpustakaan. Langkahku berhenti. Aneh. Sebuah pertanyaan mendarat di kepalaku. Aku teringat sesuatu. Ya, bukankah jarum jam sudah menunjukkan jam 2.30 pagi. Tapi kenapa Perpustakaan masih buka? Di tambah suara gaduh di dalam yang seakan membuat gedung tua itu mau roboh. Ah, sebenarnya ada apa? Kembali aku lanjutkan langkahku untuk memasuki mulut pintu. Ah, ini lebih aneh lag. Suasana Perpustakaan sama sekali tidak ada orang. Langkahku terus menyusuri ke ruangan kitab dan buku. Ah, ini benar-benar aneh. Ternyata suara tangisan itu bersumber dari kitab dan buku.
Aku heran berbaur takut. Absurd. Mereka sumua hidup dan mengeluarkan air mata. Mereka menangis tersedu-sedu. Seperti seorang pria yang sedang meratapi kepergian kekasihnya. Tangisnya semakin pecah. Aku semakin gemetar. Melangkah kecil. Pelan. Sangat pelan. Bahkan lebih pelan dari jarum jam yang menunjukkan detik. Beberapa langkah. Akhirnya, aku berdiri tegak di depan sebuah lemari kitab. Aku pandangi sebuah kitab yang paling bagus dengan penuh penghayatan. Sepertinya nyaris tidak pernah terjamah. Aku buka raknya. Dan, aku angkat tanganku. Pelan. Gemetar. Kujamah sampul kitab itu.
“Aaawww…!!!” Aku terpelanting sangat jauh. Jauh sekali. Beberapa menit belum sampai ke sebuah lantai. Mataku terus terpejam. “Aaawww…!!!” Teriakku semakin mengeras. Aku benar-benar takut. “Ada apa gerangan?” Batinku.
“Bruak…!” Tubuhku remuk. Retak. “Ah, sakit…!” Lama aku merintih kesakitan. Sepertinya tidak ada orang. Kubuka mata. Pelan. Kulihat langit begitu terang. Tidak seperti sebelumnya. Petang. Kini ada rembulan purnama. Tidak seperti sebelumnya. Di mana bulan sabit masih bersembunyi di balik awan pekat. Gelap. “Ah, aku ini ada di mana?” Batinku.
Kucoba berdiri. Ah, masih sakit. Setelah tegak bediri, hatiku kembali diselimuti suasana yang aneh. Bahkan lebih aneh dari sebelumnya. Kini aku terdampar di sebuah dunia lain. Tanah yang kupijaki sama sekali tidak pernah aku kenal. Lebih usang. Tidak berpaving seperti sebelumnya. Leih berantakan. Bangunan kuno berdiri tegak di sekelilingku. Hanya ada damar talpek. Tidak memakai lampu listrik. Kuamati, ada sebuah bangunan yang berada tidak begitu jauh di arah samping kananku. Seperti sebuah Perpustakaan. Ya, di depan bangunannya tertulis dengan jelas. Ah, tapi ini Perpustakaan mana? Rasanya aku tidak pernah menemukan Perpustakaan seperti ini dari sebelumnya. Tapi suasananya lebih hidup. Lebih ramai dan padat dengan pengunjung. Meski bangunannya lebih kecil dan sempit bila dibanding dengan bangunan yang kulihat sebelumnya.
Mataku terus menyapu ke seluruh arah. Sambil sesekali melangkahkan kaki menuju ke arah pintu masuk. Sampai di mulut pintu, langkahku berhenti. Kuamati mereka sangat menikmati hidangan kitab dan buku yang ada di depan mereka. Meski warnanya lebih lusuh dan usang. Mungkin karena sering dijamah. Dan memang kitab dan bukunya tidak sebagus yang biasa kulihat sebelumnya. Ditambah lagi banyaknya pengunjung yang menikmatinya. Menjamahnya. Dan membelai-belainya dengan mesra. Hingga secara fisik, kitab dan buku itu jauh lebih jelek dari pada kitab dan buku yang kutahu sebelumnya. Anehnya, nampaknya mereka tambah menyayangi kitab yang sudah agak berantakan itu.
Mataku terus menyapu ke setiap ruangan. Ah, di ruangan lain kudapati seorang tua renta yang sedang duduk menghadap kiblat. Kuamati rambutnya sudah memutih. Jenggotnya yang sejajar dengan dadanya juga memutih. Bahkan tak kudapati sebenang rambutpun yang berwarna selain putih. Rupanya ia sedang menulis dengan menggunakan tinta. Bukan menggunakan pena instant seperti yang kutahu sebelumnya. Tapi hanya sebatang kayu dengan bentuk yang mengkerucut di ujungnya. Sesekali sebatang kayu itu dikasih minum air tinta, lalu ia melanjutkan menulis.
Aku sangat kagum dengan orang tua renta itu. Meski ia sudah tua renta, tapi tetap eksis menulis sebuah karya. Sedang aku. Aku yang sudah mondok beberapa tahun ini belum juga bisa melahirkan satu karya sekalipun. Padahal, fasilitas komputer di Pondok sangatlah memadai. Sedang ia, meski harus susah payah menulis dengan sebatang kayu, dan tentunya masih harus mengolah tinta itu hingga benar-benar bisa digunakan, akan tetapi tetap tidak mau berhenti menulis sebuah karya. Aku tertegun. Tercenung. Mematung.
“Aaawww…!!!” Tiba-tiba lantai yang kupijaki retak, hingga aku masuk ke dalam. Curam. Seperti sebuah jurang. Beberapa menit, belum juga sampai pada dasarnya. Sedang aku terus berteriak. Berteriak. Dan berteriak. Dan “Plak!” Sebuah tangan mendarat di pundakku.
“Ada apa bro? Kok teriak-teriak dari tadi?” Ternyata Huri, temanku.
“Sebenarnya ada apa?” Aku balik bertanya. Keringatku terus merembas dari dahiku. Nafasku semakin memburu.
“Kesetanan, kali!” Komar menimpali.
Aku hanya terdiam. Kuamati sekujur tubuhku masih tetap dengan posisi yang tadi. Aku sama sekali tidak beranjak dari cengkrama itu. Bahkan dengan posisi duduk yang masih sama. Bersila. Teman-teman memandangiku dengan raut wajah yang aneh. Mungkin, karena tingkahku yang juga aneh. Bagaimana tidak? Aku telah mengalami perjalanan yang begitu panjang dalam kurun waktu yang kira-kira tidak sampai satu menit. Ah, benar-benar aneh…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H