Aku sangat kagum dengan orang tua renta itu. Meski ia sudah tua renta, tapi tetap eksis menulis sebuah karya. Sedang aku. Aku yang sudah mondok beberapa tahun ini belum juga bisa melahirkan satu karya sekalipun. Padahal, fasilitas komputer di Pondok sangatlah memadai. Sedang ia, meski harus susah payah menulis dengan sebatang kayu, dan tentunya masih harus mengolah tinta itu hingga benar-benar bisa digunakan, akan tetapi tetap tidak mau berhenti menulis sebuah karya. Aku tertegun. Tercenung. Mematung.
“Aaawww…!!!” Tiba-tiba lantai yang kupijaki retak, hingga aku masuk ke dalam. Curam. Seperti sebuah jurang. Beberapa menit, belum juga sampai pada dasarnya. Sedang aku terus berteriak. Berteriak. Dan berteriak. Dan “Plak!” Sebuah tangan mendarat di pundakku.
“Ada apa bro? Kok teriak-teriak dari tadi?” Ternyata Huri, temanku.
“Sebenarnya ada apa?” Aku balik bertanya. Keringatku terus merembas dari dahiku. Nafasku semakin memburu.
“Kesetanan, kali!” Komar menimpali.
Aku hanya terdiam. Kuamati sekujur tubuhku masih tetap dengan posisi yang tadi. Aku sama sekali tidak beranjak dari cengkrama itu. Bahkan dengan posisi duduk yang masih sama. Bersila. Teman-teman memandangiku dengan raut wajah yang aneh. Mungkin, karena tingkahku yang juga aneh. Bagaimana tidak? Aku telah mengalami perjalanan yang begitu panjang dalam kurun waktu yang kira-kira tidak sampai satu menit. Ah, benar-benar aneh…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H