Malam itu aku sedang bercengkrama dengan teman-teman. Seperti biasa, kami selalu begadang sampai akhir malam. Aku memang lebih suka menghabiskan malam dengan sebuah cengkrama. Cengkrama yang hanya memperbincangkan hal-hal yang tak berharga. Tak berguna. Meski di tangan kami sambil ada kitab, yang sesekali aku pandangi di saat Pengurus mengontrol. Biasanya sampai setengah empat. Sampai anak-anak bangun semua. Lalu ikut hadiran ke Masjid. Untuk salat jamaah dan I’tikaf. Mulai dari tahajjud, witir, hingga salat fajar. Itupun karena peraturan Pondok. Bukan kehendak sendiri. Ya, bukan karena nurani. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara tangisan yang sangat memilukan. Sebuah ratapan yang membuat suasana menjadi risuh. gaduh. Aku terperanjat sembari berucap;
“Suara apa itu, Ri?” Tanyaku sama Huri, temanku. Cengkrama itu berhenti. Mereka berusaha menyimak suara yang kudengar.
“Mana?” Jawabnya sembari mengangkat tangannya sejajar denga telinga.
“Itu…” Suaraku agak ditekan.
“Mana bro? Ndak ada suara apa-apa.” Timpal Komar.
“Itu… Masak kalian ndak dengar sih…?”
“Emang suara apa sih?” Huri kembali bertanya.
“Suara orang nangis…” Jawabku. Singkat.
“Ah, kamu jangan main-main! Lah wong lagi sepi kayak gini, bilang ada orang nangis.” Ujar Komar.
“Suara hantu, kali.” Huri menimpali.
“Masak kalian ndak dengar sih?”