Mohon tunggu...
Mubas Sahmi Ilyas
Mubas Sahmi Ilyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mubas Sahmi Ilyas, alias Muhammad Abbas Busro lahir di Bangkalan, 09 Desember 1988 M. Ia adalah sastrawan muda pesantren. Pernah mengenyam pendidikan agama di PP. Al-Hasyimiyah (Sekarang Nurul Hasyim), Modung, Bangkalan, PP. Darul Falah, Bangsri, Jepara, dan PP. Sidogiri, Kraton, Pasuruan. Pernah aktif menjadi Pustakawan Perpustakaan Sidogiri (2007-2010), Ketua Omim (Organisasi Murid Intra Madrasah) Aliyah Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri (2012-2013), Wakil Kepala Badan Pers Pesantren Pondok Pesantren Sidogiri (2013-2014), Staf Redaksi Majalah MAKTABATUNA (2009-2010), Pimpinan Redaksi Buletin NASYITH (2011-2012), Redaktur Pelaksana Rubrik Sastra Majalah IJTIHAD (2011-2012), Pimpinan Umum dan Editor Majalah IJTIHAD (2012-2013), Redaktur Pelaksana Buletin Istidlal (2015-2016), Pemimpin Redaksi Buletin al-Ummah (2015-2016), dan Editor Buletin al-Ummah (2016-sekarang). Ia mengaku mulai terjun dalam dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku kelas 1 Tsanawiyah Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Ia juga sempat menduduki juarai I kategori Lomba Insya’ Arabi (penulisan karya tulis ilmiyah berbahasa Arab) di Hari Jadi ke-272 Pondok Pesantren Sidogiri. Karya-karyanya bertebaran di media-media pesantren, mulai dari puisi, cerpen, esai, artikel, dan sebagainya. Kini ia hanya mengisi hari-harinya dengan bermain-main dengan keyboard dan mengembara dalam dunia imajinasi. Bagi yang ingin mengirimkan kritik dan saran, bisa menghubunginya melalui: 1) Pin BBM: 565A40BD; 2) Email: mubas.sahmiilyas@gmail.com; 3) Facebook: www.facebook.com/mubas.sahmiilyas; 4) Twitter: www.twitter.com/MubasSahmiIlyas; kompasiana: www.kompasiana.com/mubas.sahmiilyas; dan 5) Blog: www.mubassahmiilyas.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ratapan Kertas

10 Mei 2017   11:26 Diperbarui: 10 Mei 2017   11:54 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu aku sedang bercengkrama dengan teman-teman. Seperti biasa, kami selalu begadang sampai akhir malam. Aku memang lebih suka menghabiskan malam dengan sebuah cengkrama. Cengkrama yang hanya memperbincangkan hal-hal yang tak berharga. Tak berguna. Meski di tangan kami sambil ada kitab, yang sesekali aku pandangi di saat Pengurus mengontrol. Biasanya sampai setengah empat. Sampai anak-anak bangun semua. Lalu ikut hadiran ke Masjid. Untuk salat jamaah dan I’tikaf. Mulai dari tahajjud, witir, hingga salat fajar. Itupun karena peraturan Pondok. Bukan kehendak sendiri. Ya, bukan karena nurani. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara tangisan yang sangat memilukan. Sebuah ratapan yang membuat suasana menjadi risuh. gaduh. Aku terperanjat sembari berucap;

“Suara apa itu, Ri?” Tanyaku sama Huri, temanku. Cengkrama itu berhenti. Mereka berusaha menyimak suara yang kudengar.

“Mana?” Jawabnya sembari mengangkat tangannya sejajar denga telinga.

“Itu…” Suaraku agak ditekan.

“Mana bro? Ndak ada suara apa-apa.” Timpal Komar.

“Itu… Masak kalian ndak dengar sih…?

“Emang suara apa sih?” Huri kembali bertanya.

“Suara orang nangis…” Jawabku. Singkat.

“Ah, kamu jangan main-main! Lah wong lagi sepi kayak gini, bilang ada orang nangis.” Ujar Komar.

“Suara hantu, kali.” Huri menimpali.                                                     

“Masak kalian ndak dengar sih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun